Sleman Sembada : Nikmat Candimu Melimpah Ruah Di Mana-mana (Bagian 1)

Add caption


Liburan kali ini saya sudah niat ke Jogja. Tapi, saya tak ingin seperti kebanyakan orang yang berlibur ke Jogja. Belanja, ke malioboro, ke Parangtritis, dll. Saya ingin sekali pergi ke candi-candi. Maklum, kalau boleh disebut saya adalah candinolog. Orang yang suka sekali ke candi untuk sekedar berziarah dan melihat masa lampau serta mengagumi keindahan di dalamnya, meskipun saya tak terlalu paham lebih detail mengenai masalah percandian.


Sayapun menjadi backpacker ecek-ecekan naik Malioboro Ekspres dari Malang. Saya pilih penginapan berupa sebuah dorm hostel khusus backpacker di kawasan Caturtunggal, Depok, Sleman. Sengaja saya pilih tak dekat dari pusat kota Jogja karena saya memang nawaitu ingin ke candi-candi di Sleman yang terkenal dengan kota “Seribu Candi”.

Awalnya, saya ingin sewa motor untuk berkeliling Sleman, terutama daerah Prambanan dan Kalasan. Namun, karena momen liburan ini benar-benar peak season, maka tak ada motor yang bisa saya sewa. Ya sudah, saya akhirnya memanggil tukang ojek onlen yang sekarang lagi in. Meski saya tahu pasti ini akan menguras banyak uang, tapi demi hasrat saya yang tependam maka saya pilih alternatif ini. Sekedar informasi, harga sewa ojek di Jogja yang saya naiki adalah Rp. 2 per meter. Jika abang ojek menunggu kita, maka akan dikenakan tarif tunggu sebesar Rp. 20.000 per jam.

Hari kedua di Jogja baru saya mulai tur ini. Saya minta jemput pukul 8 pagi agar bisa mengunjungi banyak tempat. Saya bilang ke abang ojeknya kalau saya mau ke candi-candi. Terserah yang mana dulu yang penting nanti terakhir di Candi Prambanan yang sudah tourisity. Abang ojek pun menyanggupinya. Beliau pun lalu menjelaskan candi-candi apa saja yang ada di Sleman. Ada yang bercorak Hindu dan juga Buddha.

Candi Sambisari

Trip dimulai dari Candi Sambisari. Dari arah Ringroad Utara, kami menuju kawasan Lotte Mart. Kemudian, abang ojek mengarahkan motor ke a rah Jalan Selokan Mataram. Saat masuk ke dalam gang, papan petunjuk candi sudah tampak. Rupanya kami harus masuk sejauh sekitar 600 meter untuk sampai ke candi. Rupanya, candi ini berada di tengah permukiman. Sama halnya dengan Candi Singosari. Saat menengok dari pintu masuk, belum-belum saya sudah takjub dengan candi ini yang ternyata berupa komplek percandian. Kalau tak salah ada sekitar 4 candi, di mana satu yang paling besar. Kompleks percandian tersebut dibatasi oleh dua tembok yang mengelilinginya. Kalau melihat tembok candi ini, saya teringat permainan Red Alert  yang sering saya mainkan dulu. Sata saya ke sana, ada rombongan besar dari sebuah sekolah dasar. Rupanya, masih ada juga sekolah yang sadar untuk mengajak siswa-siswinya ke candi-candi seperti ini. Mudah-mudahan bisa ditiru ya?

Papan Nama Candi
 
Tampak depan


Tampak samping


Candi Kalasan

Nama Candi Kalasan taka sing bagi saya, karena saya punya saudara di Malang yang rumahnya berada di Jalan Candi Kalasan (lho maksudnya?). Dari Candi Sambisari, abang ojek mengarahkan m otornya kea rah jalan Solo-Yogya. Baru juga beberapa meter di papan petunjuk jalan tertulis besar Candi Kalasan. Sama besarnya dengan keterangan arah menuju Solo dan Surabaya. Dan lagi-lagi, saya dibuat terkejut ternyata candi ini sudah terlihat dari pinggir jalan raya karena menjulang tinggi.

Saat saya sudah mendekati pintu masuk, saya hanya bisa berkata wow, amazing. Keren abis dan membahana apalah pokoknya. Itu candi ya sepintas mirip candi di Kamboja yang ditumbuhi akar pohon. Dari bentuknya, sudah bisa saya duga candi ini bercorak Buddha. Dari keterangan yang saya baca, candi ini dibangun oleh Dinasti Syaliendra yang beragama Buddha. Dari candi ini bisa diketahui bahwa tanah Mataram saat itu mulai dikuasi oleh Dinasti tersebut, yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu. Hayo yang belum tau atau lupa, dibuka lagi gih buku RPUL atau buku sejaranya.

Saya paling suka memfoto candi model begini. Tertutup sedikit pohon. Eksotik. Btw itu ternyata ada pengunjung lain , xixi
Difotoin abang ojek xixi


Yang membuat saya takjub, di dinding candi terukir relief seperti  menggambarkan sebuha cerita kehidupan manusia dan dewa dengan detail. Sama halnya jika kita mengamati relief pada Candi Borobudur. Pemahatnya pasti professional. Kalau beliau hidup sekarang, pasti bakalan laris buat bangun tempat-tempat intagramable. Berjempol-jempol deh. Saying seribu sayang, pengunjung tak boleh naik ke dalam bilik candi. Mungkin dikhawatirkan akan terjaid kerusakan ya karena saya lihat banyak bagian yang sudah rusak. Tak apalah. Lagi-lagi, yang membuat saya miris kemungkinan saya adalah pengunjung pertama dan terakhir candi di hari itu (macam istri aja, hehe). Padahal, candi ini berada di jalan poros Yogya-Solo jalur antara Candi Prambanan dan Borobudur. Saya rasa, pihak pengelola wisata sejarah yang juga turut mengelola kompleas candi Boprobudur-Prambanan-Ratu Boko bisa memasukkan candi ini juga. Paling tidak mengajak wisatawan untuk mengunjunginya. Sayang kan candi sebagus ini cuma saya yang mengunjungi, hehe.

Candi Ratu Boko

Abang  ojek lalu membawa saya ke Candi Ratu Boko. Sebenarnya setelah saya merenung lebih dalam lagi harusnya saya ke sini terakhir bersama Candi Prambanan karena ada tiket terusan beserta diskon plus fasilitas pengantaran dan penjemputan dari Candi Prambanan. Tapi tak apalah, bersama abang ojek perjalanan tak kalah seru. Abang ojek memacu motornya kea rah Piyungan, tempat fitnah nasional berasal (saya tak mau meneruskan, pusing kalau bicara politik, hehe). Dari sini kami menuju Desa Bokoharjo. Baru sampai masuk desa eh ada perempatan beserta papan petunjuk arah. Dan pemirsa, kea rah kanan, kiri, dan lurus, semuanya ada candi. Malah ada yang dobel. Ya Tuhan, nikmat apa ini?

Pemandangan jalan menuju ratu Boko. Saat naik tak sempat foto, sibuk berpegangan mesra ke abang ojek


Menuju Candi Ratu Boko, perjalanan mulai berasa adrenalin. Kata Mbak T, Mahaguru saya dalam menulis dan traveling, adrenaline junkies. Jalan menanjak cukup curam. Bahkan sesekali terdapat tulisan anjuran untuk menggunakan gigi persneling satu ketika naik. Selepas beberapa saat, tibalah kami di sebuah tempat wisata yang sudah tertata rapi. Ada penginapan, restoran, gardu pandang, jogging track, dll. FYI, kompleks candi ini merupakan kawasan yang sudah terintegrasi dalam satu manajemen professional. Jadi, dibanding candi lain yang hanya perlu membayar 2000 rupiah atau cukup mengisi buku tamu saja, untuk masuk candi ini kita perlu mengisi kas sebesar 25.000. Haha cukup mahal ya. Tapi tak apalah demi melestarikan peninggalan bersejarah bangsa kita, uang itu saya keluarkan. Beli makanan di Mall aja bisa lebih dari itu, kenapa masuk ke candi kita masih pikir panjang?

Memandang alam dari atas bukit, sejauh pandang kulepaskan.....


Saat saya mau masuk pintu gerbang, mbak di loket heran kenapa saya datang sendirian kok tak bersama keluarga (saya tahu arah pembicaraan mbaknya, hehe). Saya jawab saya mau tur banyak ke candi-candi, jadi saya tak bisa toleransi waktu jika saya pergi bersama saya hanya dapat sedikit. Mbaknya hanya tersenyum.

Dan tibalah saya memasuki area sebenarnya yang ternyata sangat luaaaaaaaaas sekali, kalau tak salah sekitar 25 hektar.  Ada beberapa bagian dari kompleks situs ini. Ada keraton, pemandian, pendopo, pagar, dan lain-lain (saking banyaknya saya lupa). Dibangun saat Rakai Panangkaran (Dinasti Sanjaya) berkuasa, situs ini adalah salah satu warisan dunia UNESCO (bangga). Saya cukup lama berada di sini karena selain saya menikmati detail arsitektur situs ini, saya juga bisa melihat Kota Yogyakarta dari atas ketinggian. Kalau sudah begini, saya tak habis pikir, bagaimana ya orang dulu membangun mahakarya luar biasa seperti ini. Tapi yang pasti saya jadi bisa merenungi lagi mahakarya ini sebenarnya dibangun untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ya tidak?

Selangkah demi selangkah saya napaki situs ini. Sejepret demi sejepret saya ambil gambar. Kalau bisa, saya ingin di tempat ini lamaaaaa sekali. Hingga matahari terbenam pun tak apa karena katanya nagus sekali kalau sunset. Namun lagi-lagi saya dikejar waktu ya sudah. Saya pun lalu turun sekitar 30 menit kemudian. Menyisakan kekaguman di hati dan keinginan menapaki tempat itu kembali. Saat saya turun, abang ojek sudah siap dengan kereta kencananya membawa saya bernostalgia ke masa Kerajaan Mataram Kuno. Masa yang menurut saya paling misterius dan seperti di negeri dongeng meski karya nyata itu ada dan telah saya saksikan.


Go Narsis, Hukumnya wajib ain.

Gunung menjulang, berpayung awan....oh Indah pemandangan
Bagian ini disebut Paseban. Katanya sih semacam resepsionis gitu. Tempat tunggu tamu raja.
Bekas pemandian

Bagaimana petualangan saya selanjutnya?
Tunggu kelanjutannya ya…


Post a Comment

Next Post Previous Post