Kisah Kuto Bedah, Bekas Pusat Kerajaan Singosari
A : Halloo… Brodin..!?
B : Oh, halo Ashar.., da'ramma kabarra?
A : Alhamdulillah sehat. Sakalangkon. Ba'en da'remma keya?
B : Pada saean. Ce' bannya'en ban-gibanna. Da'emma'a reya?
A : Engko' entarra da' romana tang anom reh.
B : O, da'iyya ya.
Berhubung sejak 1254 Kutobedah tak lagi menjadi pusat kerajaan, maka daerah ini perlahan mulai surut. Tak lagi penting. Baru pada masa Pemerintahan Kadipaten Malang, yakni pada masa Adipati Rangga Tohjowo (sekitar 1600 Masehi), daerah ini kembali menjadi pusat pemerintahan.
B : Oh, halo Ashar.., da'ramma kabarra?
A : Alhamdulillah sehat. Sakalangkon. Ba'en da'remma keya?
B : Pada saean. Ce' bannya'en ban-gibanna. Da'emma'a reya?
A : Engko' entarra da' romana tang anom reh.
B : O, da'iyya ya.
![]() |
Perumahan padat penduduk di Kuto Bedah, Kelurahan Kotalama, Kota Malang yang mulai dicat warna biru AREMA |
Saya mengunyah sempol, jajanan khas Kota Malang dengan lahap
sambil duduk manja di sebuah pos kamling yang tak jauh dari sebuah pasar. Di depan
saya, dua orang bercakap-cakap dengan bahasa yang tak saya mengerti. Entah apa
yang mereka bicarakan. Saya seperti terasing di tengah kerumunan
orang-orang di sekeliling saya. Padahal, saya sedang berada di kota sendiri. Menikmati
minggu pagi di sebuah pasar yang sangat ramai. Pasar Kebalen namanya. Setelah menghabiskan sempol, saya sejenak berjalan di sekitar pasar tersebut.
Meski mayoritas orang Malang adalah suku Jawa dengan ciri
khas Arek Malang (Arema), namun di pasar ini, orang yang bersuku Jawa dan
bertutur kata bahasa Jawa bisa dihitung jari. Penduduk di daerah sekitar pasar
tersebut mayoritas adalah suku Madura. Setiap hari, mereka menggerakkan denyut
nadi perekonomian bagian tengah timur kota ini. Sebuah daerah yang banyak orang
tidak tahu merupakan bekas dari sebuah istana/pusat Kerajaan Singosari. Kuto Bedah,
nama daerah itu.
Kuto Bedah adalah sebuah daerah yang sekarang masuk wilayah
Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedungkandang. Wilayah ini juga termasuk sebagian
wilayah Kelurahan Polehan, Kecamatan Blimbing, dan daerah timur Kelurahan
Jodipan yang sekarang terkenal dengan kampung warna-warninya. Jika ingin
mengunjungi daerah ini, maka kita bisa memulai dari Klenteng En Ang Kiong yang terletak di timur Pasar Besar Malang. Di dekat
klenteng ini, ada Pasar Kebalen tadi dan mulai tampak pemukiman padat penduduk
yang berada di perbukitan tepi sungai.
Ciri khas dari daerah ini adalah letaknya yang berada
diantara tiga sungai besar, yakni Sungai Brantas, Sungai Bango, dan Sungai
Amprong. Pertemuan tiga sungai itu menyebabkan daerah ini cukup strategis jika
digunakan untuk pertahanan sebuah negara. Kuto Bedah dilindungi parit alam
berupa aliran sungai tadi dan parit buatan yang menghubungkan sungai-sungai
tersebut.
![]() |
Peta daerah Kuto Bedah dengan tiga sungai yang mengalir di sekitarnya |
Menilik strategisnya daerah ini, maka sumber sejarah
menyebutkan bahwa Kuto Bedah sebenarnya pernah digunakan untuk pusat pemerintahan
Kerajaan Singosari. Tepatnya, pada masa pemerintahan Ken Arok, sang pendiri
kerajaan. Ken Arok sendiri memerintah Singosari antara tahun 1182 (saat masih bernama
Tumapel) hingga terbunuh oleh Anusapati
tahun 1227. Daerah ini terus dijadikan pusat pemerintahan Singosari oleh
pengganti Ken Arok, yakni Anusapati dan Tohjaya. Hingga pada masa pemerintahan
Wisnuwardhana, tepatnya tahun 1254, ibukota kerajaan dipindahkan ke daerah
yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Bukti bahwa daerah Kutobedah pernah dijadikan pusat
pemerintahan terangkum dalam Kakawin Negarakertagama yang berbunyi:
“Suatu daerah di sebelah timur G. Kawi yang subur makmur// Di situlah putra Girindra menjadi seorang pemimpin// Menggairahkan budiman, menaklukkan para penjahat, mendirikan negara, semua rakyat patuh padanya// Ibukota negara bernama Kutharaja, Ranggah Rajasa nama gelarnya” (Peigeaud, 1960 : 45)
Sesungguhnya, jika membaca kakawin tersebut, tak nampak kata Kuto Bedah, di dalamnya. Yang
ada adalah Kutharaja. Bahkan nama Tumapel atau Singasari pun tak disebut. Inilah
yang masih menjadi misteri dari para peneliti sejarah mengenai lokasi persis
keraton/istana raja Singosari ini. Yang jelas, nama Kuto Bedah baru tampak pada
peta rupabhumi (candrasengakala) yang terbit pada 1811. Peta ini menggambarkan
daerah Kutobedah sebagai ibukota Kerajaan Singosari. Meski, banyak buku-buku
terbitan Belanda yang masih memakai Kutharaja/kutorejo untuk menyebut daerah
ini. Hingga kini, Kutobedah juga masih dipakai untuk menujuk kawasan padat
penduduk di Kelurahan Kotalama tadi.
![]() |
Salah satu gang masuk di Kuto Bedah yang menuruni bukit. Siapkan tenaga ekstra untuk kembali ke jalan besar |
Bukti arkeologis Kuto Bedah merupakan pusat Kerajaan Singosari adalah adanya
parit buatan dengan panjang galian 785 m dan lebar 12 meter. Ada dua buah
parit yang menghubungkan Sungai Brantas di sisi barat dengan Kali Bango di sisi
timur. Parit di sisi bagian utara sekarang digunakan untuk akses jalan menuju
Kali Bango sekarang digunakan untuk akses jalan menuju Kali Bango dan tempat pembuangan
sampah. Sedangkan parit yang mengarah ke Kali Brantas kini sudah dipadati
pemukiman penduduk.
![]() |
Buangan limbah domestik yang mengalir menuju Sungai Brantas. RTRW Pemkot Malang sedang mengusahakan salah satu kelurahan terkumuh di Kota Malang ini menjadi lebih baik |
Di dasar parit ditemukan bata-bata kuno yang ukurannya sama
dengan bata-bata di Situs Singosari. Raffles, Gubernur Inggris yang sangat
peduli dengan sejarah Pulau Jawa menemukan bahwa bata-bata kuno tersebut adalah
bekas reruntuhan benteng. Parit-parit tersebut adalah “barrier” guna
menghalangi pergerakan musuh. Bisa jadi, fungsinya mirip dengan apa yang pernah
saya baca ketika Rasulullah membuat parit untuk melindungi Kota Madinah pada
Perang Khandaq.
Bata-bata kuno juga ditemukan di tepi jalan kampung menuju
Kali Bango. Sebagian diantaranya dimanfaatkan warga untuk komponen bahan
bangunan rumah mereka. Itulah sebabnya jika kita datang ke perkampungan ini,
kita serasa berada di sebuah tempat yang mirip dengan bekas candi, seperti
Candi Borobudur. Naik dan turun.
![]() |
Rumah di Kuto Bedah yang menggunakan pondasi bekas bata kuno. |
Selain peninggalan berupa bata-bata dan parit, banyak
peninggalan sejarah di lingkungan Kuto Bedah ini. Diantaranya adalah arca
Boddhisattwa, sebuah arca indra, enam arca Brahma, dua puluh satu arca
Mahayogi, dua puluh empat arca Ganesha, lima belas arca raksasa, dua raca naga,
dua raca singa, dan beberapa arca berbentuk hewan lainnya. Sayang, arca-arca
tersebut banyak yang sudah raib.
Berhubung sejak 1254 Kutobedah tak lagi menjadi pusat kerajaan, maka daerah ini perlahan mulai surut. Tak lagi penting. Baru pada masa Pemerintahan Kadipaten Malang, yakni pada masa Adipati Rangga Tohjowo (sekitar 1600 Masehi), daerah ini kembali menjadi pusat pemerintahan.
Ada cerita unik lain mengenai Kuto Bedah yang berasal dari tradisi lisan. Cerita ini diceritakan turun temurun yang bernama Babad Malang. Dalam babad ini diceritakan,
akhirnya daerah Malang bisa ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram Islam. Cita-cita
Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram yang ingin menyatukan Jawa terhalang oleh
geografis daerah ini dan gigihnya masyarakat Malang yang tak sudi menjadi bagian
dari Kerajaan Mataram dan menjadi daerah Mataraman. Namun, akhirnya Kerajaan
Mataram mampu menjebol benteng pertahanan daerah Malang tepat di pusat
pemerintahannya. Makanya, daerah ini disebut Kuto Bedah (kota yang
dibelah/diobrak-abrik).
![]() |
Seorang ibu yang menggendong anaknya sedang meniti jembatan gantung yang berdiri di atas Sungai Brantas. Jika tak punya nyali, jangan coba-coba menaiki kendaraan bermotor di sini. |
Meski akhirnya menjadi bagian dari Mataram, hingga kini daerah
Malang tak berhasil dikuasai Mataram dari sisi “sosial-budaya” secara penuh. Terbukti,
Malang adalah Kawasan Arek yang memiliki kebudayaan sangat berbeda dengan
daerah Mataraman, baik dari bahasa, adat-istiadat, dan keseniannya. Serbuan migrasi orang-orang Madura secara
bertahap dengan jumlah signifikan ke kawasan ini juga akhirnya membuat Kuto
Bedah menjadi sebuah daerah yang unik di Kota Malang. Menjadi sejumput daerah
mayoritas berbahasa Madura, di tengah mayoritas penutur bahasa Jawa Arekan.
Baca Juga : Kawasan Arek, Orangnya Kasar-kasar?
Atiku rasane loro
Nyawang kowe rabi ro wong liyo
Nangis getih eluhku, remuk ajur rosoku
Kowe tego ninggal aku
Nyawang kowe rabi ro wong liyo
Nangis getih eluhku, remuk ajur rosoku
Kowe tego ninggal aku
Petikan lagu hits dari Nella Kharisma yang terdengar dari
sebuah acara hajatan dekat Pasar Kebalen membuyarkan lamunan saya akan kisah Kuto Bedah ini. Meski masyarakat
di daerah ini bercakap-cakap dalam bahasa Madura, namun mereka tetap memutar
lagu-lagu berbahasa Jawa untuk acara hajatan yang mereka gelar. Mereka juga bisa berbicara menggunakan bahasa Jawa Timuran (Arekan) dengan logat Madura kental.
Ah, andai saja daerah Kuto Bedah ini masih menyimpan sisa peninggalannnya, bukan tak mungkin akan menjadi sebuah situs terkenal yang sangat apik. Segagah Machu Picchu, atau kalau tidak seindah Istana Ratu Boko. Berdiri diantara aliran sungai dan parit, membelah bukit, dan berada di tengah modernitas Kota Malang yang semakin melesat ke depan. Sayang, jejak itu kini tak tampak lagi.
Ah, andai saja daerah Kuto Bedah ini masih menyimpan sisa peninggalannnya, bukan tak mungkin akan menjadi sebuah situs terkenal yang sangat apik. Segagah Machu Picchu, atau kalau tidak seindah Istana Ratu Boko. Berdiri diantara aliran sungai dan parit, membelah bukit, dan berada di tengah modernitas Kota Malang yang semakin melesat ke depan. Sayang, jejak itu kini tak tampak lagi.
Sumber
Tulisan :
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan
Desa-Desa Kuno di Kota Malang.
Asik ya, berati ini ga jauh dari klenteng ang kiong?
ReplyDeletecedek kok mbak
DeleteItu percakapan yang diawal tulisan walaupun nggak ngerti, tapi bisa hafal ya mas haha -_-
ReplyDeleteWah ternyata Kuto Bedah menyimpan banyak cerita sejarah ya mas. Kira-kira nama Kuto Bedah itu artinya apa ya mas? Hehe :D
reka ulang mas hehe
Deleteiyu sudah ada di bacaan kota yng terbelah
apa kampung ini bakal di cat warna warni ya? kampung seperti ini kudu dilirik sama disparnya biar bisa jadi potensi pariwisata.
ReplyDelete2018 insha allah jadi koh
DeleteAku coba terjemahkan lagunya :
ReplyDelete"Sakit hatiku, melihatmu menikah dengan org lain, sedih nangis darah, hancur rasaku, kau tega tinggalkan aku"
salah ya?
tepat sekali mbak
Deletekampungnya historis banget ya,,
ReplyDeleteiya mas
DeleteWah banyak cerita sejarahnya ternyata :)
ReplyDeleteiya mbak
Deletemenarik membaca soal Malang
ReplyDeletesaya sendiri lama tinggal di Malang tapi belum pernah mampir ke perkampungan ini
coba mampir ada banyak kuliner enak
DeleteKeren ulasannya mas, ini menarik buat dikunjungi
ReplyDelete