Si Biru Sayang Si Biru Malang


Beberapa hari yang lalu terjadi demo besar-besaran disertai aksi mogok yang dilakukan oleh sopir angkot di kota saya.
Demo tersebut diinisiasi oleh kebijakan pemerintah kota yang bermaksud menerapkan sistem one way (satu arah) di beberapa jalan protokol. Kebijakan seperti ini telah diterapkan di beberapa jalan lain yang setiap hari mengalami kemacetan parah. Meski baru pada tahap uji coba, namun para sopir angkot biru tersebut tidak bisa menerima kebijakan ini. Mereka beralasan akan kesulitan mencari penumpang jika kebijakan tersebut akan diterapkan.
Disadari atau tidak, angkot adalah satu-satunya angkutan massal yang beroperasi di kota saya. Mengingat tidak adanya bis kota yang beroperasi, angkot menjadi tumpuan bagi masyarakat Kota Malang yang tidak memiliki (tidak bisa mengendarai) sepeda motor/mobil dalam menjalankan aktivitasnya. Bagi saya yang mengidap agyrophobia, angkot pernah menjadi harapan saya untuk melakukan kegiatan di luar rumah sebelum berani mengendarai sepeda motor. Meskipun keberadaannya sangat penting, beberapa tahun belakangan ini eksistensinya semakin terancam. Bahkan kalau disamakan dengan flora/fauna, angkot berada dalam taraf yang terancam kelestariannya.
Banyak masyarakat yang enggan menggunakan angkot dan lebih memilih kendaraan pribadi. Beberapa alasan yang mendasari keputusan masyarakat ini memang cukup masuk akal dan realistis. Meskipun disayangkan juga karena jika keputusan ini lebih banyak yang mengikutinya, maka angkot akan semakin terpinggirkan dan jalanan akan semakin macet.
Pertama, masalah waktu tempuh yang tidak bisa diprediksi. Memang jalanan sering macet dan tentunya angkot tidak bisa jalan dengan leluasa. Namun, kegiatan ngetem (berhenti mencari penumpang) yang dilakukan sopir dalam waktu yang cukup lama membuat kesabaran penumpang akan habis. Saya sering mengalami hal ini saat masuk kuliah semester pertama dulu. Saat itu saya menjadi penumpang pertama sebuah angkot menuju kampus pada pukul 06.00 pagi. Dan angkot ngetem hingga hampir pukul setengah 7, lalu dilanjutkan dengan berjalan sangat pelan karena penumpang juga belum penuh. Padahal pukul 7 pagi saya ada kuliah. Bisa dibayangkan betapa galaunya saya di angkot sambil komat-kamit berharap keajaiban terjadi. Perjalanan sejauh 4 km itu ditempuh dalam waktu 25 menit. Total, saya menghabiskan hampir satu jam di angkot.
Kebiasaan seperti inilah yang menjadi kelemahan utama angkot. Para penumpang sering tidak bisa memprediksi waktu perjalanan mereka. Mungkin kalau perjalanan pulang tidak masalah, tapi kalau perjalanan berangkat beraktivitas akan membuat penumpang berpikir ulang. Sopir angkot sering menunggu hingga penumpang penuh baru akan berangkat. Menurut saya, memang tak salah ada kegiatan ngetem ini mengingat sopir juga butuh penumpang. Namun, yang harus diperhatikan adalah jangan sampai juga mengorbankan penumpang. Paling tidak, ada pengaturan waktu antara satu sopir dengan sopir lainnya saat ngetem. Sebenarnya peraturan ini sudah ada. Saya pernah membaca peraturan mengenai ngetem ini saat duduk di bangku depan. Peraturan tersebut memberikan toleransi ngetem maksimal 10-15 menit bagi sopir. Penuh atau tidak penuh maka sopir harus berjalan.
Masalah muncul ketika ada oknum sopir yang melakukan perjalanan di luar jadwal yang telah ditentukan. Sopir semacam ini biasanya ngetem dalam waktu lama. Seringkali juga karena ketahuan sopir lain yang sesuai jadwal, sopir nakal ini berkejar-kejaran dalam mengambil penumpang. Kalau sudah begini, maka penumpang harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Kegiatan ngetem ini juga berdampak terhadap ketersediaan angkot saat berada di jalan. Jadi, penumpang yang menunggu angkot lewat juga akan mengalami nasib sama dengan penumpang yang sudah berada di angkot. Sama-sama menunggu lama. Untuk angkot yang melewati jalan utama (main street) ketersediaannya cukup banyak. Namun tidak bagi angkot yang melewati daerah pinggiran kota dan perkampungan atau perumahan. Bisa dijamin, jumlah angkot yang ada sangatlah sedikit.
Kedua, tidak semua angkot tersedia di dalam terminal. Sebuah ironi yang cukup memprihatinkan. Saya sering mengalaminya saat baru pulang dari Surabaya. Dari Terminal Arjosari, yang merupakan pintu masuk arah utara, saya berniat menaiki angkot jurusan GA (Gadang Arjosari) yang melewati daerah di sekitar rumah saya. Tapi, saya tak menemukan satu pun angkot yang saya maksud. Padahal waktu masih sore hari. Angkot jurusan lain pun setali tiga uang. Hanya beberapa saja yang berada di terminal tersebut. Mau tak mau, saya harus naik angkot jurusan lain dan berganti dengan jurusan yang saya maksud di tengah jalan.
Kekosongan beberapa angkot ini disebabkan para sopir angkot mencari penumpang di luar terminal. Mungkin mereka berpendapat tidak akan mendapat banyak penumpang di terminal. Jadi, mereka mencari penumpang di jalan atau di terminal bayangan. Tindakan seperti ini sebenarnya sangat disayangkan karena masih banyak penumpang yang membutuhkan angkot di terminal. Terutama bagi penumpang dari luar kota yang masih belum tahu jalanan kota.
Ketiga, jam operasional angkot yang terbatas. Beberapa angkot menyudahi kegiatannya sebelum adzan maghrib. Jadi, selepas maghrib jangan berharap akan bisa menaiki angkot. Nah jam operasional ini rupanya menyesuaikan dengan jam anak sekolah. Setelah anak sekolah habis, maka angkot akan menyudahi kegiatannya. Keputusan semacam ini juga membuat rugi penumpang. Lagi-lagi, aksebilitas penumpang menjadi terbatas sehingga keputusan menaiki kendaraan pribadi pun diambil.
Keempat, yang tak kalah penting adalah ulah oknum sopir yang menarik tarif seenaknya. Pada perda yang telah disepakati, tarif angkot di kota saya adalah 3.000 rupiah jauh dekat untuk umum dan 2000 rupiah untuk pelajar. Namun, saya sering diminta sopir untuk membayar 5000 rupiah. Saat saya memberi uang pas 3000 rupiah pun sang sopir malah meminta saya menambahkan 2000. Lalu saya bilang kalau tarifnya kan hanya 3000, katanya sudah sore jadi ya 5000. Nah perilaku semacam ini juga membuat penumpang menjadi enggan untuk naik angkot. Belum lagi, sikap sopir yang kurang ramah memperparah penilaian penumpang.
Beberapa alasan di atas memang harus segera diatasi. Bukan apa-apa, karena angkot adalah satu-satunya transportasi massal yang sebenarnya sangat penting di tengah krisis BBM. Namun, seringkali pihak pemkot tak terlalu serius menanganinya. Bahkan yang sering terjadi adalah gesekan di antara keduanya. Padahal, jika dipikirkan matang-matang, angkot ini bisa menjadi mitra pemkot untuk mengatasi kemacetan. Pemkot pun sudah menyediakan halte-halte bagi angkot. Bila angkot bisa ditata dengan baik, maka tak mustahil meskipun kecil namun manfaatnya akan terasa. Sopir pun akan mendapat pemasukan yang cukup dan penumpang bisa menaiki angkot dengan nyaman. Belum lagi, saat ini sudah banyak angkot yang mengalami peremajaan dengan armada baru.
Semoga harapan ini bisa terwujud. Demikian semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.

Post a Comment

Next Post Previous Post