Mengapa saya Tidak Bakat Jualan?

Ilustrasi. - Dok Istimewa


Itu pertanyaan yang sering saya ajukan dalam diri.

Entah mengapa, ketika saya mencoba berjualan barang, entah pakaian, makanan, atau apapun, saya selalu gagal. Rasanya untuk mencoba lagi saya sudah mundur teratur. Tidak minat dan lebih memilih melakukan kegiatan lain.

Kegiatan jualan ini sudah saya geluti sejak sekolah dulu. Saya pernah jualan reseller gantungan kunci dan semacam pot bunga kecil. Saya sih cuma mengambil barang dari teman. Lumayan, saya bisa mengumpulkan uang sekitar 50 ribu untuk satu kali mengambil barang.

Saya menjual ke teman-teman dekat saja. Beberapa diantaranya ke tetanga. Lah dalah karena beberapa pembayaran tersendat, akhirnya saya tidak balik modal. Malah nombok untuk mengganti uang pesanan.

Sejak saat itu, saya berpikir ulang jika ingin berjualan. Bukan menyerah duluan, rasanya saya tidak punya bakat untuk berjualan dan memulai usaha berdagang. Malah, saat saya ikut tes Tic di salah satu Lembaga konseling, saya juga tidak direkomendasikan untuk bekerja di dunia perdagangan, pemasaran, dan sejenisnya. Padahal, menurut tes tersebut, kreativitas saya cukup tinggi. Seharusnya saya bisa dong mengeksekusi berbagai kreasi jualan.

Salah satu penyebabnya adalah saya tidak terlalu bisa membaca peluang pasar yang ada saat ini. Kalau ditanya mau jualan apa, saya pasti lebih memilih menjadi reseller alias menjual barang jualan milik orang lain. Bukan menjual barang yang saya buat sendiri.

Tidak hanya itu, saya juga tidak bisa mengkalkulasi berbagai hitungan untuk berjualan. Semisal berapa modalnya, berapa keuntungannya, dan berapa lama saya bisa balik modal. Walau dulu pernah mendapat Pelajaran mengenai break event point (BEP) saat sekolah, nyatanya otak saya tumpul untuk kegiatan tersebut.

Pun demikian dengan kegiatan PKMK (Pekan Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan) yang pernah saya ikuti. Saya selalu tidak mau jika mendapat bagian penghitungan jualan. Beberapa PKMK yang berhasil didanai kepada tim saya, masalah perhitungan semuanya dikerjakan oleh teman saya. Saya kebagian masalah kandungan zat gizi dari makanan yang kami jual.

Saya menyadari, memang tidak semua orang tidak bakat jualan. Meski kata beberapa orang hal ini bisa diasah dan juga didasarkan faktor keberuntungan, tetapi saya kok eman jika mencoba terus sesuatu yang menurut saya akhirnya menemui kegagalan.

Untuk itulah, saya mencoba wirausaha lain dengan membuka bimbingan belajar. Sebenarnya, saya tidak memiliki usaha ini secara penuh hanya menjalankan milik beberapa teman. Sistemnya semi franchaise. Artinya, jika ada pihak yang berminat untuk membuka bimbel, maka kita siap membantu dalam berbagai hal. Mulai dari tenaga pengajar, perlengkapan, modul pembelajaran, dan beberapa pendukung lainnya.

Setiap pemilik nantinya boleh memberi nama, membuat logo sendiri, tetapi harus mengikuti beberapa aturan yang telah disepakati semisal harga. Nah, masalah harga ini jujur saya tidak bisa ikut andil karena memang saya akui untuk masalah seperti ini saya cukup payah. Saya serhakan pada ahlinya yakni teman saya yang memang lulusan S2 ilmu administrasi bisnis salah satu perguruan tinggi di luar negeri. Saya mah ngikut pokoknya.

Saya mendapatkan tanggung jawab untuk merekrut tenaga pengajar dan mengawasi operasional beberapa cabang bimbel yang sudah berdiri. Makanya, saya tidak pernah stay atau menetap di suatu tempat dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Walau tidak secara langsung menangani masalah keungan dan tetek bengeknya, tetapi saya banyak mengambil pelajaran mengenai jartuh bangunnya berwirausaha. Kadang ada saatnya di atas kadang di bawah. Bagaimana kita menjaga kualitas agar masyarakat tetap percaya dengan usaha kita. Bagaimana kita bisa bersaing secara sehat dengan usaha sejenis lainnya dan yang pastinya seberapa tahan usaha kita dengan perkembangan zaman.

Diantara semuanya yang paling penting dalam berwirausaha adalah tetap tenang mengendalikan keadaan terutama emosi. Seringkali saya terpancing emosi ketika ada beberapa hal yang menurut saya keadaan di beberapa cabang berada di bawah standar.

Belum lagi saat saya akan mengecek harus melalui daerah-daerah macet plus panas. Semisal, perempatan Gedangan, Sidoarjo yang dinobatkan sebagai salah satu perempatan jalan paling kusut dan panas se-Asia Tenggara. Beberapa kali saat saya menuju 3 cabang di daerah sana, ada saja hal yang tidak dijalankan dengan baik. Rasanya ingin misuh-misuh Cok di depan para tenaga kerja di sana. Namun, ya kalau cak cuk cak cuk diutamakan yang ada suasana tidak kondusif.

Makanya, saya lebih memilih melipir dulu ke minimarket atau ke tempat lain untuk membeli es agar lebih dingin. Lalu memberikan briefing kepada tim agar ada evaluasi ke depannya. Saya menyadari dengan begini, kegiatan wirausaha akan mengalami kemajuan karena kita sama-sama bisa mengeluarkan pendapat dan membahasa kekurangan yang ada. Kita juga bisa menyusun strategi agar bisa lebih baik lagi ke depannya.

Itulah pengalaman saya berwirausaha yang saya lakukan hingga sekarang. Ada banyak orang yang pontang-panting dari balik layar saat berwirausaha. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan sematan keberhasilan dan sejenisnya. Yang penting ada progres perbaikan setiap hari yang bisa dilihat secara nyata. Dan saya memilih untuk seperti itu.


Post a Comment

Next Post Previous Post