Bromo; Kini Ku hadir Kembali

Sudah empat tahun berlalu sejak saya pertama kai mengunjungi Gunung Bromo



Kalau dulu saya ngegembel pergi ke Gunung Bromo bareng teman-teman kuliah naek motor, kini saya beserta rekan-rekan kerja ke sana dengan Hardtop. Ada uang sih, haha. Bagi saya, Bromo itu indah. Tapi tidak untuk dikunjungi berkali-kali. Gak tau kenapa, mungkin karena melihat panjangnya perjalanan dan kondisi medan yang cukup ekstrim, saya jadi gak terlalu antusias pada perjalanan kedua kali ini.Tapi mau gimana lagi, lha dibayari, rugi kan kalau gak ikut?

Tidak seperti perjalanan saya sebelumnya, perjalanan kali ini melewati rute Jabung (Malang)-Nongkojajar-Penanjakan-Bromo. Kalau dulu saya melewati Lawang-Purwosari-Gondangwetan-Puspo-Tosari-Penanjakan. Wah rutenya saya belum tahu, jadi saya sekalian kepo.

Berangkat pagi buta dari Malang, perjalanan cukup lancar. Saya mulai merasakan sensasi adrenalin, ketika hardtop yang kami naiki mulai membelah daerah pegunungan di perbatasan Jabung-Nongkojajar. Jalannya aduhai. Lanjut ke daerah Nongkojajar, mata dimanajan dengan aneka pemandangan khas pegunungan, lengkap dengan aktivitas warganya. Bagi saya, Nongkojajar itu unik. Daerahnya cukup sulit untuk didiami, menurut saya sih. Tapi rumah-rumah penduduk cukup banyak, mengikuti lanskap pegunungan. Saya jadi inget temen SMA yang rumahnya di sana, pulangnya sebulan sekali cuy.

Deretan rumah warga di Nongkojajar


Lama sekali perjalanan yang kami lalui. Teman satu geng di hardtop mulai ber ah-uh kapan sampainya. Saya yang males berkomentar, Cuma menyarankan buka aja peta, sayang kan HP canggih gak dimanfaatkan, betul? Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah pasar yang ramai, yang saya yakini Pasar Nongkojajar. Dan ternyata benar. Kata sopirnya, sebentar lagi sampai. Meski begitu, bagi saya, sebentar adalah kata yang relatif.

Mobil lalu bergerak membelah jalan. Lama-kelamaan tikungannya makin tajam. Kalau diukur, bisa 180 derajat memutarnya. Kadang sopir memberi tanda agar pengendara pada arah yang berbeda bisa mengambil ancang-ancang.

Eh benar juga, saya sudah melihat jalan yang pernah saya lalui bersama teman-teman kuliah dulu. Ternyata ada pertigaan yang menghubungkan jalan yang saya lalui kali ini dengan jalan yang saya lalui dulu. Ah so sweet.

Dan akhirnya saya menemukan pintu masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Kami rehat sebentar untuk makan pagi. Agak telat sih, tapi daripada perut kosong. Hari itu cukup banyak pengunjung yang masuk karena hari minggu. Belum lagi, ada even nggowes (bersepeda) membelah jalan TN BTS. Wow, keren. Kuat ya.

Setelah puas makan, perjalanan dilanjutkan. Dan sampailah kami di puncak penanjakan. Sayangnya, kabut tebal sedang beraksi, jadi tak ada satupun pemandangan yang bisa disaksikan. Bahkan, rekan saya sempat berujar, ngapain sih ke sini, lihat apa. Lha???

Saya lalu menjelaskan sebenarnya ini adalah titik tertinggi jika kita ingin melihat rangkaian pegunungan di TN BTS. Di sini kita bisa melihat Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Semeru, dll. Saya lalu menunjukkan posisi gunung-gunung tersebut pada peta beserta potret saya saat ke sini. Lha mereka pada ngiri.

Kabut tebal di Penanjakan


Yah tapi karena sudah kadung jauh-jauh ke sana, jadi kami pun berfoto-foto dengan berlatar belakang......kabut. meski begitu, Alhamdulillahnya saya gak kena AMS (Altitude Mountain Sickness) padahal ketinggiannya udah mau 3000an meter dpl. Oke narsis selesai.

Kami melanjutkan perjalanan. Saya sudah mulai menyiapkan mental untuk melelui jalan horor menurun tajam. Perjalanan ini menuruni gunung Penanjakan. Ternyata jalannya tetep. Rusak. Haha. Sebenarnya sih, jalannay cukup sepi, tapi gabungan antara jakan rusak, turunanan tajam, dan tikungan melingkar yang bikin hati ini deg-degan. Beberapa saat kemudian, tampaklah rangkaian pegunungan yang saya ceritakan tadi. Rekan saya heran dan pada heboh, ya elah. Maklum, saya dulu juga begitu, ahaha.

Sampai di lautan pasir, kami rehat sebentar dan berfoto. Suasanyanya masih sama seperti saat saya dulu motoran. Bedanya, kali ini saya banyak menemukan orang (kaya) yang, entah sewa atau memang kepunyaannya mengendarai motor trail. Habis ada guidenya sih di sebelahnya. Gokilnya, rekan-rekan banyak yang mau foto naik motor itu. Duh.

Narsis dulu


Perjalanan dilanjut ke Gunung Bromo. Saat mulai masuk area, kami dikejar pasukan berkuda yang akan menawarkan kami jasa naik kuda. Duh bak putri raja di film-film Korea kalau dikejar-kejar gitu. Yang mengejar banyak pula, jadi settingannya seperti kenyataan, haha.

Mobil sampai di parkiran dan ternyata gunungnya masih jauh. Kalau dulu saya memarkir motor dekat dengan gunung, kini harus jalan dulu. Mana masih dikejar-kejar pasukan berkuda. Dan setelah berjalan jauh, kami tiba tepat di bawah gunung. Saya awalnya gak niat naik gegara inget besok hari senin, tapi mengingat sudah jauh-jauh ke sini ya marilah.

Dan ternyata, saya merasakan kecapekan amat saaat naik. Mungkin faktor U. Dulu saya kuat aja naik tanpa berhenti. Ini kok, baru sebentar jalan udah kerasa ngos-ngosan. Nafas gak bisa lega. Mungkin juga efek kurang olahraga ya. Duh.

Ngos-ngosan


Setelah menaiki ratusan anak tangga, saya sampai di puncak. Dan ternyata pemandangannya amsih indah. Pura orang-orang Tengger kelihatan asyik. Cuma, saya kok membaui bau belerang yang menusuk. Khas di lemari asam ruang praktikum. Memori saya langsung menuju saat kuliah, saat saya mau pingsan membaui bau serupa. Jadi, saya gak pingin lama-lama di situ. Tapi rekan-rekan amsih eksis aja. Ya sudah saya tunggu tak mau dekat-dekat bibir kawah.

Eksis di Puncak Gn. Bromo


Setelah puas, saya pun turun. Menikmati segelas teh hangat khas orang Tengger. Saya baru sadar, selain Gunung Bromo-nya yang dibagi rata 4 Kabupaten, orang Tenggernya juga. Lha ke mana aja.? Tapi, konsentrasi orang Tengger paling banyak ya yang di Sukapura, Probolinggo karena aksesanya paling mudah. Mbak-mbak penjual teh ini juga dari sana. Padahal, kalau saya lihat di peta, jarak desa orang Tengger anatara yang di Pasuruan, Probolinggo, dan Malang cukup jauh. Tapi mereka tetep kompak. Jadi pengen lihat pas upacara Kasada.

Puas menikmati makanan, kami rehat sholat dan berlanjut ke Bukut Tabi. Nah ini favorit saya. Kamipun melewati padang pasir yang luas, yang disebut kaldera. Dulu saya sampai jatuh lho di sini. Tapi gak sakit, yang ada malah ketawa. Kaldera ini juga jadi laboratorium yang pas buat memeprlajari suksesi alam. Dari yang Cuma lumut doang menjadi ada banyak spesies tumbuhan.

Lagi Galau...haha


Di bukit tabi, kami narsis sepuasnya. Saya suka suasananya bak di film Narnia. Cuma saya sudah menemukan banyak sampah di sana. Duh. Akhirnya perjalanan berakhir. Kami melewati Poncokusumo, melihat orang Tengger lagi di desa Ngadas.

Oke, meski bagi saya tidak untuk dikunjungi berkali-kali, tapi Bromo tetep asyik kok.




 *) Beberapa minggu kemudian feeling saya benar. Aktivitas Bromo meningkat. pengunjung dilarang masuk dalam radius sekian kilometer.

Post a Comment

Next Post Previous Post