Kisah Kauman, Cerminan Toleransi Umat Beragama di Pusat Kota Malang

Bagi yang pernah mengunjungi atau tinggal di Kota Malang, pasti tahu bangunan satu ini

Masjid Agung Jami' Malang yang dibangun tahun 1875

Masjid Agung Jami’ Malang. Itulah namanya. Masjid yang terkenal karena berita tentang toleransi beragama ini berdiri kokoh hingga kini. Di sebelahnya, sebuah gereja kuno juga berdiri berdampingan. Ketika masing-masing umat merayakan hari besar agamanya, dua bangunan itu menjadi saksi indah bahwa di Kota Malang, gesekan antar agama adalah sesuatu yang sangat ‘mustahil’.

GPIB Immanuel yang berdiri di dekat Masjid Jami'


Dua bangunan itu terletak di sebuah tempat bernama Kauman. Secara administratif, Kauman adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Klojen, Kota Malang. Berbatasan dengan Celaket di sisi utara, Kidul Dalem di sisi timur, Kasin di sisi selatan, serta Bareng di bagian barat. Nama Kauman sendiri sebenarnya juga digunakan sebagai nama daerah di beberapa Kabupaten/Kota, semisal di Bojonegoro, Tulungagung, Jepara, dan lain sebagainya. Jika diartikan, Kauman bentukan dari dua kata, yakni “Kaum” dan “Iman”.

Para sejarawan memiliki beberapa pendapat mengenai perkembangan Kauman. Menurut Handinoto (1996:19) Kauman adalah daerah di sebelah barat Alun-alun Malang. Selain terdapat Masjid Jami’, di daerah ini juga digunakan sebagai tempat tinggal para pemuka agama yang terkait dengan aktivitas keagamaan di Masjid Jami’. Namun, ternyata Masjid Jami’ sendiri baru dibangun pada tahun 1875. Padahal, jauh sebelum aktivitas di masjid tersebut, perkampungan di daerah tersebut sudah ada, meskipun pusatnya bukan di daerah sekitar Masjid Jami’.

Perkampungan tersebut adalah Talon (kini dikenal dengan nama Talun). Nama Talon sendiri adalah nama perkampungan di bagian utara Kelurahan Kauman, yang berbatasan dengan Bareng, tempat Mal Olympic Garden (MOG) berdiri. Nama Talon tercantum dalam Prasasti Pamotoh, yang berangka  tahun 1198 M dan ditulis oleh Mpu Dawaman. Prasasti yang kini disimpan di dalam museum Mpu Tantular, Sidoarjo menceritakan bahwa ada seorang Rakryan Patang Juru yang bernama Dyah Limpa, diberi hadiah oleh Sri Maharaja. Hadiah tersebut beberapa daerah di Malang, dan Talon adalah salah satunya.  Dari prasasti tersebut, banyak pendapat bahwa daerah Talon telah ada sejak akhir abad XII.

Salah satu gang perkampungan padat penduduk di Talun


Nama Talun sendiri berarti kebun luar di tepi hutan yang belum lama dibuka. Penamaan ini memberi gambaran tentang pembukaan areal hutan untuk perkebunan serta pemukiman bagi para petaninya. Nama Talun juga tergambar pada lagu “Kidang Talun”, yakni penggambaran kijang yang hidup di tepian hutan. Meski sudah dihuni oleh peradaban manusia, daerah Talun kala itu bukanlah daerah yang ramai. Pemukiman yang ada hanya sebatas pada daerah  di sekitar kebun. Artinya, pemukiman di Talun hanya berisikan para petani saja yang juga merawat kebunnya. Talun baru menjadi ramai tatkala terjadi pemindahan pusat pemerintahan Katemenggungan Malang dari Madyopuro ke Jodipan (baca : Kampung Warna-Warni Jodipan, Kampung BersejarahPembentuk Kota Malang). Talun semakin ramai ketika pembangunan Alun-Alun Malang, beberapa tahun setelah pembangunan Masjid Agung Jami’. Pembangunan terus dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan menggeser perkampungan pribumi di sana untuk dijadikan loji bagi warga Belanda. Saya jadi teringat tentang kisah almarhum Kakek saya yang bercerita bahwa dulu sebenarnya keluarga besar kami tinggal di daerah Talun. Akibat tukar guling yang tidak adil oleh pemerintah kolonial (baca : digusur), akhirnya keluarga besar kami digantikan dengan sebidang tanah di sekitar daerah yang bernama Mergan, sekitar 2 kilometer dari Talun.

Daerah JL AR, Hakim dengan latar Gunung Kawi. Menurut prasati pamotoh, Talun adalah salah satu daerah di sisi timur Gunung Kawi yang diberikan Maharaja kepada salah seorang Rakai (pemimpin sebuiah wilayah).


Dari fakta adanya perkampungan Talun yang lebih dulu ada sebelum pembangunan masjid Jami’, maka nama Kauman diyakini baru digunakan sejak pembangunan  masjid tersebut. Artinya, Kauman adalah nama baru, menggantikan  Talun, yang hanya tersisa sebagai daerah bagian dari Kauman.

Mencermati arti dari Kauman, daerah ini sebenarnya pernah menjadi tempat berkembangnya dua agama besar, yakni Islam dan Kristen. Pembangunan Masjid Agung Jami’ menjadi bukti, Kauman adalah daerah basis islam. Apalagi, masjid ini menjadi pusat kegiatan agama islam di Kota Malang, sejak awal berdirinya. Berbagai kegiatan mulai pengajian pagi, sholat berjamaah, TPA/TPQ, hingga acara haul para kyai/habib semarak sampai saat ini.

Namun, pemerintah Kolonial juga pernah gencar melakukan kristenisasi di daerah Kauman. Pada tahun 1912 dibangun sebuah Gereja Protestan (kini GPIB Immanuel) di pojok barat alun-alun, di utara Masjid Jami’ seperti yang saya gambarkan sebelumnya. Keberadaan gereja ini mencitrakan dominasi ritual Barat (Kristen) terhadap ritual pribumi (Islam). Menara gereja yang menjulang tinggi seakan merengkuh masjid. Bangunan masjid seakan kerdil dengan dua menara di sisi kanan-kirinya. Belum lagi, muncul gerakan penginjilan yang gencar dilakukan di sekitar alun-alun  Malang medio tahun 1930-an. Gerakan ini baru berhenti setelah kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942.

Dua bangunan tempat ibadah yang saling berdampingan


Meski memiliki sejarah toleransi yang tidak mengenakkan, kini Kauman bisa dikatakan menjadi contoh bagi keberagaman agama di Indonesia. Setiap minggu pagi, ratusan jemaat gereja GPIB Immanuel khusuk menjalankan kebaktian. Pun demikian dengan jemaah Masjid Agung Jami’ yang sering mengadakan pengajian akbar. Ketika malam natal tiba, di depan Masjid Agung Jami’ terisi kendaraan para jemaat gereja. Saat Shalat Ied, ribuan jemaah tumpek blek di depan gereja. Semua berlangsung indah, tanpa ada gesekan sama sekali.

SDN Kauman 1 yang baru saja memenangkan lomba Budaya Mutu Tingkat Nasional, meraih adiwiyata Nasional, berdiri di tengah kerukunan umat beragama.


Saat melintas daerah Kauman setiap hati, saya senang dan bangga. Ada daerah di Kota saya yang punya sejarah panjang dan kini bisa menjadi contoh yang baik bagi banyak orang, terlebih yang sering mengaku “kaum yang beriman” namun memiliki sentimen “anti iman” tertentu.
Inilah Kauman, tempat “Kaum yang Beriman” sesungguhnya.
Terimakasih, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.

Sumber :
Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang : Disbupar Kota Malang.

Handianoto dan Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsiterktur Kolonial di Malang. Surabaya-Yogyakarta : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Univ. Kristen Petra dan Penerbit Andi.   

Post a Comment

Next Post Previous Post