Sholat Jumat Bareng Pendemo 4 November

Jujur sih, sebenarnya saya kurang begitu mengikuti up date perkembangan demo hari ini.




Apalagi, pagi tadi ada salah seorang anak Kelas 4 yang tertabrak sepeda motor dengan luka yang cukup parah. Jadi, pikiran saya sebagian besar di situ. Tapi entah kenapa, rupanya Allah SWT kok membuat saya harus “mengikuti” demo tersebut, meskipun tidak secara langsung.
 Sekolah saya berada tak jauh dari pusat kota, tepatnya kawasan Alun-alun Kota Malang, yang terdapat Masjid Agung Jami’ Malang. Tempat ini menjadi titik awal demo 4 November di kota saya, Malang. Tak hanya Jakarta, Malang juga menjadi salah satu kota aksi damai ini. Langkah saya menuju Masjid Jami’ bermula dari pencarian saya terhadap mesin ATM. Entah kenapa, saya memiliki hasrat untuk mengambil uang di ATM Pusat Perbelanjaan Sarinah, yang tak jauh dari komplek Masjid Jami’. Saya memiliki keinginan untuk memarkir kendaraan di sana lalu dilanjut sholat Jumat di Masjid Jami’ Malang sebelum kembali ke sekolah.

Saat perjalanan menuju ke sana, saya melihat barisan polisi berjajar di pinggir alun-alun. Pemandangan lalu memutih dengan ribuan orang yang berada di dekat sana. Saya sempat ragu apakah saya tetap Sholat Jumat di sana atau mencari masjid lain. Bukan apa-apa, hati saya masih belum sreg karena saya memang tak terlalu suka dengan keramaian massa yang banyak.

Akhirnya, saya pun memarkir motor di perbelanjaan Sarinah. Di sini juga banyak para pendemo yang memarkir motornya. Setelah selesai urusan memarkir motor, saya lalu bergegegas menuju Masjid Jami’. Tak seperti biasanya, jamaah masjid ini didominasi oleh para pendemo yang berbaju putih-putih, bukan para pekerja kantoran dan sekolah yang berada di dekat sana. Saya merasakan seperti mengikuti pengajian Riyatul Jannah atau Ar-Ridwan, dua pengajian akbar di kota saya yang pernah saya ikuti semuanya. Yah seperti layaknya pengajian pada umumnya. Mereka bergerumbul dalam satu kelompok sesuai daerah/komunitas masing-masing. Yang membedakan, mereka membawa spanduk berisi tulisan untuk melawan penistaan agama islam. Simbol-simbol perlawanan ini mereka simpan pada pojok-pojok di sekitar alun-alun. Karena akan beribadah, saya yakin, urusan itu pasti dinomersekiankan dulu.

Memasuki pelataran Masjid Agung Jami’ suasana semakin riuh. Tanpa dikomando, ribuan pendemo menyesaki bagian dalam masjid. Dalam sekejap, masjid ini sudah penuh sesak, tak tersisa sejangkal pun. Bahkan, banyak yang sholat di luar masjid. Alhamdulillah, saya masih mendapat tempat di serambi lantai 2. Posisi yang tepat untuk melihat keadaan dari luar.

Pemandangan dari serambi lantai 2 masjid


Khutbah pun dimulai. Khutbah kali ini bagi saya yang paling berkesan. Sang khotib menyerukan bahwa umat muslim saat ini sedang mengalami ujian kesabaran yang luar biasa. Ujian ini berupa dinistakannya agama islam untuk kepentingan tertentu. Ujian ini sebenarnya bisa menjadi tolak ukur keimanan umat islam. Maka dari itu, kita harus bisa menyikapinya dengan sabar luar biasa.

Nah sabar luar biasa ini yang saya tangkap bukan berarti kita pasrah dan sabar sesabar-sabarnya. Kita harus bisa mengendalikan emosi. Emosi adalah jurang kekalahan umat islam pada perang yang pernah terjadi, semisal perang Uhud. Pada perang itu, kita sudah tahu umat islam mengalami kekalahan karena tak bisa mengendalikan emosinya. Labil dengan keadaan sehingga kaum kafir Quraisy dengan mudah mengalahkan umat islam. Nah maka dari itu, umat islam harus bisa sabar sambil melakukan tindakan yang cerdas. Tindakan ini tak lain adalah mempererat ukhuwah islamiyah, karena bagaimanapun satu umat muslim dengan umat muslim lainnya adalah bersaudara. Jika umat islam bersatu, segala apapun masalah akan bisa dihadapi. Jangankan masalah penistaan agama sekecil ini, masalah perang dengan manapun umat islam akan bisa menang.


Anak-anak melihat para pendemo. Bagi anak-anak, histeria massa adalah sesuatu yang menyenangkan


Isi khutbah ini membuat saya tidak mengantuk. Membuat pemikiran “sekuler” saya berkurang. Bukan apa—apa, saya termasuk tipe orang malas berdebat. Pasti kalah karena kemampuan saya seberapa. Mengapa saya sebut pemikiran saya “sekuler”? Karena saya ingin menempatkan agama yang saya anut pada porsi sesuai tempatnya. Hidup pada masyarakat yang heterogen, saya tak bisa sedikit-sedikit membawa nama agama. Meski begitu, ketika agama saya dilecehkan, saya juga marah. Tapi, saya punya cara marah yang lain. Sebagai seorang guru di sekolah negeri yang (alhamdulillah) 100% siswanya beragama islam, saya berusaha semaksimal mungkin mendidik anak-anak menjadi geberasi islam yang berkualitas. Penerapan nilai-nilai islam bisa dengan leluasa saya ajarkan di samping kemampuan di bidang pengetahuan umum. Saya ingin, anak-anak saya nanti bisa menjadi generasi islam yang luar biasa sehingga tak dilecehkan lagi oleh orang/umat nonislam. Tak ada lagi generasi islam yang korupsi, maling, teroris, urakan, mudah diadu domba, dll. Itulah cara marah saya. Saya bukan tidak mau ikut membela islam dengan demo karena bagi saya, tindakan itu sia-sia. Bagi saya, lho, bukan bagi para pendemo. Berapa waktu yang saya korbankan untuk meninggalkan anak-anak dan meninggalkan pekerjaan untuk anak-anak? Inilah jawaban bagi teman-teman yang alhamdulillah pernah mengecap saya sekuler dan liberal.


Pendemo bersiap-siap


Seusai khutbah, para pendemo mulai menata diri. Beberapa dari mereka membagikan pin 4 November. Teriakan Allahu akbar mulai menggema. Saya tambah merinding. Inilah islam sesungguhnya. Demo pun dimulai. Sayang, beberapa diantara pendemo masih tidak tertib dan harus diperingatkan berkali-kali oleh pemimpin mereka. Banyak yang keluar dari jalur yang seharusnya mereka lewati. Akibatnya, pengguna jalan menjadi korban.

Seruan pendemo anti-Ahok. Lho ada bapak guru pakai PGRI. Pak, kita demonya nanti tangal 25. (Siapin yel-yel naikkan Gaji GTT)

Inilah yang saya sesalkan karena masih banyak umat muslim yang bertindak primitif. Tindakan yang mencedarai umat islam lain. Sama halnya dengan ungkapan kebencian yang terus mengalir. Saya mengapresiasi teman-teman yang mendukung gerakan ini namun dengan cara yang baik. Tapi, saya sangat benci dengan umpatan, makian, hasutan, dan sejenisnya. Itu semua tak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bagi saya, para oknum tersebut bukanlah umat Rasulullah SAW. Selain itu, saya juga tak suka dengan para pengolok-olok demo, apalagi yang terlewat batas, seakan-akan dirinya sebagai “Allah SWT”. Tunggulah, azab pedih akan menimpamu, Nak. Kelakuan semacam ini juga bisa menimbulkan perpecahan. Beda pendapat silahkan, tapi mengolok-olok jangan.

Pendemo mulai bergerak lagi


Alhamdulillah, demo berjalan lancar. Dari layar kaca dan medsos, banyak aksi pendemo yang membuat saya bangga, semisal mereka memungut sampah dari buangan yang mereka hasilkan. Belum lagi, tindakan simpatik lain. Semoga kasus ini bisa segera selesai. Kita tak mau kan terus larut dalam masalah ini dan lupa untuk maju ke depan?

(Mohon maaf tidak mengutip ayat)
(Ternyata demonya ada yang rusuh, ya sudah saya mau tidur, sudah capek)
Sekian, mohon maaf lagi jika ada kesalahan karena tempatnya kebenaran adalah Allah SWT. Terima kasih.

Post a Comment

Next Post Previous Post