Mengatasi 'Inner Child' Demi Relasi Harmonis Keluarga dan Sesama

inner child
Ilustrasi. Shutterstock

One World One Dream
Let us share our hearts together all as one
In a place where we join in harmony

Lagu yang saya dengar setiap acara Miss World tuntas tersebut masih terngiang di hati saya. Meski sebenarnya lagu tersebut berkutat pada upaya dari kontes kecantikan itu untuk menjalin relasi dengan sesama, nyatanya sangat dekat dengan kehidupan saya.

Tak lain, saya merasa memiliki kesulitan dalam melakukan relasi atau hubungan dengan orang lain terutama dengan laki-laki. Jika boleh dikatakan jujur, saya hampir tidak memiliki teman pria yang dekat dengan saya.

Trauma Perundungan Saat Kecil

Dekat di sini bukan berarti layaknya hubungan homoseksual tetapi lebih kepada teman yang sering jalan bareng saya. Di usia yang bisa dibilang tak lagi muda, saya ternyata baru sadar tidak terlalu menjalin relasi baik dengan teman-teman pria. Kalau pun ada, jumlahnya bisa dihitung jari.

Sedikitnya teman pria yang saya punya bisa jadi disebabkan trauma masa lalu atau luka masa kecil yang saya pegang hingga sekarang. Sejak SD, saya kerap mendapatkan bully-an dari teman bermain di dekat rumah. Ketika saya bermain dengan teman laki-laki, saya selalu mendapatkan bully-an karena saya tidak gemar dan bisa bermain sepak bola.

Sebenarnya masalahnya sepele karena memang saya tidak suka sepak bola. Dipaksa dengan cara apapun, saya tidak menggemarinya. Saat itu, saya kerap dibully habis-habisan dan dikucilkan oleh teman-teman pria saya. Akhirnya, saya memilih bermain dengan teman wanita semacam lompat tali, engklek, dan permainan wanita lainnya.

Di sekolah pun saya demikian. Saya lebih memilih bermain dengan teman wanita dalam keseharian. Akibatnya, semakin besar saya malah lebih senang menjaliun hubungan pertemanan dengan teman wanita dibandingkan dengan pria. Saya bahkan punya geng dengan teman wanita di SMA dan bangku kuliah. Dalam satu geng tersebut, semua angotanya wanita kecuali saya sendiri.


 

Bisa jadi, luka yang saya bawa sejak kecil membuat saya menjaga jarak dengan teman pria. Bagi saya saat itu, teman pria adalah kompetitor dan bahkan musuh yang harus dijauhi. Keberadaan mereka tak lain hanya untuk membuat hidup saya sulit. Kalau tidak memberi bully-an, paling-paling mereka minta bantuan saya jika mereka butuh. Tak ada rasa kesetiakawanan sosial yang saya rasakan.

Berbeda dengan teman wanita, mereka lebih bisa saya ajak untuk berempati bersama-sama. Mereka juga bisa mengerti apa yang saya rasakan sehingga kerap membantu saya di kala kesultan. Sementara, saya tidak menemukan hal itu pada teman-teman pria saya.

Saat masih sekolah hingga kuliah, saya masih tidak menemukan kesulitan karena saya masih bisa berjalan bersama teman-teman wanita saya. Kami bahkan  memiliki jadwal khusus untuk karaoke, pergi ke salon, atau sekadar jalan-jalan.

Inner child Ingin Memiliki Teman dan Relasi Baik dengan Teman Pria

Nah, masalah muncul ketika saya sudah dewasa. Hampir semua teman wanita saya mulai menikah. Tentu, saya tak bisa lagi jalan bersama mereka. Saya sangat menghargai privasi mereka. Akhirnya, hubungan pertemanan kami mulai renggang dan tak lagi jalan bersama.

Akibatnya, saya mulai merasa kesepian karena tak ada teman lagi yang berjalan bersama saya. Meski mencoba untuk menjalin komunikasi dengan teman pria, nyatanya saya tak berhasil. Ada luka masa kecil yang masih saja timbul untuk menjalin hubungan tersebut. Padahal, jika dilihat ya hanya hubungan biasa. Semisal ngobrol, cuthat, atau hanya berjalan bersama melepas penat.

Selain itu, saya juga kesulitan menjalin komunikasi dengan orang baru jika orang tersebut adalah pria. Seringkali, saya sudah memiliki pandangan buruk jika hubungan kami, semisal hubungan bisnis akan merugikan saya. Pikiran semacam ini sebenarnya salah dan bermuara kepada inner child tadi yang menganggap para pria lain selain saya adalah kompetitor. Mereka tidak boleh tahu kelemahan saya sehingga saya terlihat tidak baik dan bisa jadi bahan ejekan atau bully-an bagi mereka.

Sebenarnya, beberapa rekan pria juga mulai mendekati saya untuk sekadar ngobrol. Entah kenapa, saya pun tidak menanggapi serius apa yang mereka utarakan. Kadang, saya masih ingin kembali memiliki banyak teman wanita seperti dulu. Namun, hal itu sangat mustahil karena mereka semua tentu sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing.

Mengatasi Inner Child

Untunglah, pada akhir pekan lalu saya mengikuti seminar singkat mengenai inner child yang diadakan ISB Community bersama Dandiah Care. Sebagai pemateri hadir Ibu Diah dan Bapak Dandi, pasangan suami istri yang sudah malang melintang di dunia psikologi terutama mengenai inner child.

Bu Diah dan Pak Dandi

Inner child merupakan pengalaman masa lalu yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian dengan baik. Orang dewasa bisa mengalami inner child baik berupa negatif maupun positif. Sebenarnya, pada porsi yang tepat, inner child ini dibutuhkan. Semisal, ketika bermain dengan anak atau melampiaskan hobi dalam porsi yang pas. Namun, jika inner child ini muncul pada waktu dan kadar yang tak pas, maka orangh dewasa tersebut akan kesulitan dalam berinteraksi dengan orang dan juga dirinya sendiri.

Adanya inner child berbeda dengan luka pengasuhan. Biasanya, luka pengasuhan timbul karena hak anak belum dipenuhi dengan baik. Luka pengasuhan biasanya akan timbul pada usia remaja semisal usia 15 tahunan. Sedangkan, inner chil bisa muncul saat dewasa ditandai dengan ada hal yang masih belum selesai saat yang bersangkutan masih anak-anak.

Inner child yang saya alami adalah ingin memiliki teman pria dan bisa bermain bersama mereka tanpa ada bully-an verbal terhadap saya. inner child ini sering keluar dengan mudah tersinggungnya saya ketika berkumpul dengan bapak-bapak yang sering mengelurkan jokes menusuk hati. Makanya, saya ingin sekali mengatasi inner child ini karena jika menikah saya akan sering berinteraksi dengan bapak-bapak. Semisal Bapak mertua, bapak-bapak di kampung, atau bapak-bapak lain. Jujur, kadang saya stress sendiri jika membayangkan berkumpul bersama mereka.

Para peserta seminar menyimak paparan dari Narasumber

Tak hanya itu, saya juga ingin memberi pengasuhan yang benar kepada anak saya nanti bagaimana berinteraksi dengan teman prianya jika anak saya lelaki. Dalam lubuk hati paling dalam, saya ingin memberikan pengasuhan yang tepat bagaimana ia bisa berinteraksi. Bagaimana saya menjalin hubungan dengannya nanti sehingga ia bisa bergaul dengan banyak orang terutama laki-laki tidak seperti bapaknya. Yang paling penting, saya ingin belajar bagaimana seorang laki-laki bisa meluapkan emosi yang tepat agar bisa tersalurkan dan tidak terpendam lama sehingga mengakibatkan trauma dan efek meledak. Hak ini juga penting didapat oleh anak laki-laki saya nanti.

Buku yang ditulis oleh Bu Diah dan Pak Dandi

Menurut Mba Diah, ada yang disebut usia masehi (usia sebenarnya) dengan usia usia mental. Banyak sekali orang yang sebenarnya sudah memiliki usia masehi matang tetapi tidak memiliki usia mental yang matang pula. Inner child yang timbul tadi adalah salah satu penyebabnya. Untuk saya sendiri, di usia masehi yang sudah matang, inner child berupa belum mampu meluapkan emosi yang tepat dan menjalin relasi dengan pria adalah salah satu yang menjadi PR tersendiri.

Saya masih sering berpikir ketika berkumpul dengan para pria, memori masa lalu ketika dibully habis-habisan timbul. Apalagi, jika lawan bicara saya memiliki sifat yang blak-blakan dan mengeluarkan jokes yang cukup menusuk. Saat itu, kadang saya merasa rendah diri dan memilih menarik diri dari pergaulan tersebut. Jika dibiarkan, hal ini cukup berbahaya karena saya tinggal dengan lingkungan dengan berbagai macam karekter.

Menurut Mbak Diah, setidaknya ada tiga kunci untuk mengatur inner child ini. Pertama adalah forgiveness atau memaafkan. Mencoba memaafkan apa yang sudah diperbuat orang lain terhadap kita dan memaafkan diri kita sendiri. Kedua adalah bersyukur. Meski sepele, hal ini susah dilakukan terutama jika ada pikiran merasa apa yang kita dapat tak sebaik orang lain. Ketiga adalah empowering yakni bagaimana kita memberdayakan diri semaksimal mungkin agar potensi dalam diri kita bisa tersalurkan dengan baik.

Pentingnya positive parenting

Tidak hanya itu, ada faktor egosentris dalam diri yang juga patut untuk dikendalikan. Selama ini saya hanya menuntut orang lain memberikan hal baik kepada saya terutama hubungan saya dengan pria. Padahal, dalam hubungan relasi, ada timbal balik yang penting. Semisal, hubungan saya dengan calon bapak mertua. Kadang saya menilai karena saya sudah memberikan yang terbaik untuk anaknya, maka ia juga harus memberikan yang terbaik pula pada saya versi saya sendiri. Padahal, hal itu tidaklah tepat karena tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Untuk itulah, saya sepakat dengan Mbak Diah bahwa kunci keberhasilan dari mengatasi inner child adalah hubungan intra personal atau hubungan dengan diri sendiri dulu. Sebelum menikah, saya ingin memperbaiki hubungan ini dulu agar hubungan saya dengan orang lain terutama dengan keluarga calon istri saya. Saya sadar, menikah di Indonesia tidak hanya menikah dengan pasangan saya tetapi dengan keluarga besarnya beserta drama-dramanya. Saya tak mau inner child yang masih ada dalam diri belum bisa terselesaikan dengan baik. Banyak sekali kasus percerian pasangan yang disebabkan hubungan relasi dengan keluarga pasangan tidak harmonis.

Hal penting lain adalah mengubah respon kita terhadap takdir. Selama ini, kadang saya cukup menyalahkan takdir mengapa ayah saya dulu melarang saya meluapkan emosi. Jadi, saya menekan emosi dalam waktu lama ketika dibully dan melampiaskannya dengan cara lain semisal merobek kertas, membanting barang,  atau menulis di media sosial. Takdir saya sudah seperti itu tinggal bagaimana saya bisa meresponnya dengan baik.

Untuk itulah, pelu memaafkan apa yang sudah dilakukan oleh ayah saya dulu dan tidak mengulanginya pada anak laki-laki saya nanti. Saya juga ingin mengubah mental saya yang selama ini menjadi korban bullyian menjadi menerima. Menerima bahwa yang terpenting sekarang adalah meluapkan emosi dengan tepat seperti pada Tuhan dan tidak larut dalam emosi tersebut seperti yang dikatakan Pak Dandi. Menurut beliau, tidak apa-apa laki-laki meluapkan emosi seperti menangis asal dilakukan di tempat dan orang yang tepat. Konsep ini yang akan saya ajarkan jika anak laki-laki saya nanti atau pun anak perempuan.

Proses ini memang membutuhkan waktu dan dengan niat kuat maka inner child yang saya miliki akan bisa saya kendalikan. Saya sepakat dengan kutipan dari Mbak Diah yang berbunyi:

Jika kamu terlahir dari bukan dari keluarga berlimpah cinta, pastikan keluarga berlimpah cinta itu lahir mulai dari keluarga kecilmu saat ini.

Bagi saya, keluarga yang berlimpah cinta akan menyebarkan cinta pula pada orang di sekitarnya. Kita akan yakin menjalin hubungan dengan sesama untuk kebaikan bersama. Seperti lirik lagu Miss World kembali:

Faith is the light like a star in the sky
It will burn forever strong and light the way for you and I.

 

3 Comments

  1. Saya juga nggak suka bola waktu kecil, bahkan benci banget sama bola.
    Gara-garanya, waktu kelas 1 SD kan, sekolah saya tuh ada lapangan bolanya di tengah-tengah gitu.

    Dan sering banget saya kena bola sampai keduduk gitu, kalau pas nyebrang lapangan di waktu istrahat, hahaha.

    Gara-gara itu, sampai ada pelajaran bola volly pun saya takut dan nggak berani main, nggak usah nanya deh nilai Olahraga saya jelek selalu :D

    Inner child memang bisa berasal dari mana saja ya, dan yang paling berbekas tuh bullying.

    Kalau saya juga sering di Bully, tapi saya memang sejak kecil selalu berontak kalau di bully, ya saya balas meski ujungnya saya nangis hahaha

    ReplyDelete
  2. Semangat mas💪💪, setiap orang punya luka yang disembunyikan. Saya juga punya masalah inner child yang cukup menganggu ketika dewasa, tapi belum selesai sampai sekarang dan jujur dampaknya nggak bagus banget. masih berusaha memperbaiki diri, apalagi sebentar lagi akan jadi orang tua, rasanya nggak mau anak merasakan hal yang sama dengan saya nantinya...

    ReplyDelete
  3. Sebagai cowok yang juga sempat kena rundung/bully, saya paham sih ketika memutuskan menjauh dari beberapa teman cowok, bahkan pada masanya jumlah teman akrab yang cewek jauh lebih banyak. Ya, bayangin aja, dari 20 teman cowok di kelas, cuma sreg sama 3 orang. Haha.

    Saya cukup beruntung bisa melarikan diri ke gim virtual dan komik pada masa itu, yang ternyata mengantarkan saya pada teman-teman cowok yang asyik dari kelas lain. Janjian main Dota bareng tiap pulang sekolah, misalnya.

    Sepakat soal memperbaiki hubungan dengan diri sendiri dulu. Kadang saya juga takut dengan sisi lain diri sendiri yang menurut saya itu menyeramkan. Apalagi kalau sifat sinisnya timbul ke permukaan. XD

    Semoga Mas Ikrom bisa semakin berdamai dengan diri sendiri, melupakan trauma masa kecilnya.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post