Fanatik Sempit dan Keruwetan di Dalamnya

Ilustrasi. - Okezone.com

Apakah kalian fanatik terhadap sesuatu?

Entah klub sepak bola, artis, musisi, atau bahkan fanatik terhadap hal-hal yang mungkin tidak begitu antusias disukai oleh kebanyakan orang? Kalau saya sendiri saya akui cukup fanatik terhadap beberapa hal. Diantaranya adalah dunia kontes kecantikan, kereta api, dan beberapa hal lain. Dulu, saya juga sempat fanatik terhadap idol grup JKT48.

Saking fanatiknya, saya sampai rela untuk memiliki beberapa barang koleksi yang berbau JKT48. Mulai dari kaos, kalender, dan beberapa pernak-pernik lain. Saya juga rela datang ke Jakarta untuk menonton konser JKT48 secara langsung. Saya juga pernah datang ke Stasiun Yogyakarta demi menunggu kedatangan JKT48 yang menggunakan kereta api untuk acara Senbatsu (pemilihan umum member JKT48).

Saya merasa, paling tidak hampir setiap orang pernah melewati fasa ketika ia begitu fanatik terhadap sesuatu. Dalam perjalannnya, rasa fanatisme tersebut bisa saja semakin kuat dan bisa saja pudar dan akhirnya menghilang. Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan fanatisme seseorang terhadap sesuatu bisa menguat atau bahkan hilang. Mulai dari bertambahnya usia, kedewasaan, peristiwa tak mengenakkan, hingga menemukan fanatisme baru yang bisa jadi lebih bisa membuatnya lebih nyaman.

Saya sendiri mengalaminya ketika tak lagi begitu antusias mengikuti perkembangan JKT48 lagi. Alasannya, banyak member JKT48 yang graduate atau keluar dari JKT dengan berbagai alasan. Satu per satu member favorit saya pun keluar dan menyisakan member baru yang belum saya kenal. Belum bisa saya idolakan seperti member sebelumnya. Perlahan tapi pasti, saya tak begitu lagi tertarik dengan update perkembangan JKT48.


Dari Fans JKT48 Jadi Pageant Lover

Fanatisme saya pun kemudian bergeser menggemari kontes kecantikan alias beauty pageant. Frederika Alexis Cull adalah nama yang membuat saya kembali fanatik terhadap dunia ini. Meski sebelumnya saya mengikuti juga tetapi tidak sampai sefanatis sekarang.

Dalam dunia kontes kecantikan, fanatisme juga sangat kental. Ketertarikan seseorang terhadap kontestan, daerah, atau negara juga sangat terasa. Tidak jarang, gesekan antar pendukung kontes kecantikan sering terjadi.

Contoh nyatanya adalah gesekan antar pendukung Indonesia dengan Filipina. Bagai kucing dengan anjing, keduanya sulit sekali untuk akur. Walau tidak semua, tetapi kebanyakan pendukung kedua negara itu “baku hantam” di dunia maya. Mulai berperang komentar, berperang saling meretas akun media sosial, hingga melakukan penyuntingan gambar tak senonoh terhadap wakil dari lawan.

Bahkan, tak jarang kontestan dari dua negara itu harus speak up alias berbicara lantang untuk menyudahi pertikaian yang tiada henti. Mereka juga kerap foto bersama dengan akrab untuk membuktikan bahwa mereka saling mendukung dan bukan menjatuhkan. Beberapa waktu lalu, Miss Universe menayangkan diskusi menarik dari Miss Universe Indonesia, Laksmi Shari De Neefe Suardana dengan Miss Universe Filipina Celeste Cortesy tentang cyberbulling akibat fanatisme yang berlebihan ini.


Keduanya sepakat bahwa fanatisme seperti itu adalah sesuatu yang merusak. Padahal, mereka berkompetisi untuk saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Kampanye #kindnesscampaign yang digaungkan oleh Miss Universe pun seakan sebuah usaha berkelanjutan untuk mencegah fanatisme sempit ini yang merusak mental kontestan kecantikan dan menciderai semangat positif yang digalakkan oleh Miss Universe.

Fanatisme Sempit yang Merusak

Sayangnya, fanatisme sempit masih juga merasuk di hati sanu bari bangsa Indonesia. Beberapa waktu lalu, terjadi sebuah tawuran di dekat rumah saya, di kawasan Sukun, Kota Malang. Menjelang pagi, ratusan pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) membuat ulah dengan melempari rumah warga dengan batu.

Alhasil, warga pun melawan dan akhirnya timbul tawuran. Beberapa orang mengalami luka di bagian tubuhnya. Mulai kepala bocor, muka berdarah, dan lain sebagainya. Rombongan tersebut sedianya akan mengikuti sebuah acara yang entah acara apa di Kabupaten Malang.

Bagi saya, yang cukup disayangkan mengapa mereka memprovokasi warga dengan melempari rumah warga dengan batu? Kalau sekadar lewat saja bagi saya tak masalah. Meski berisik, kalau sambil menyanyi mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, mengapa harus melempari batu?

Saya memang sering mendengar fanatisme orang-orang yang tergabung dalam PSHT ini cukup tinggi. Saking tingginya, bisa jadi PSHT seakan menjadi nyawa mereka. Tidak boleh ada orang lain yang boleh menghina, merendahkan, atau pun meremehkan mereka. Jika sampai ada orang yang melakukannya, mereka tak segan akan balas melawan dan tak mustahil untuk merusak.

Meski begitu, kadang bukan saja kepada mereka yang menghina, tetapi kepada masyarakat biasa yang tidak salah apa-apa pun jadi sasaran. Masyarakat pun menjadi takut dan cemas untuk beraktivitas terutama Malam hari. Akhirnya, fanatisme berlebihan pun menjadi sesuatu yang memang mengerikan.

Tindakan Tegas Diperlukan

Anehnya, meski kejadian ini berulang terjadi di beberapa kota, tak tampak tindakan tegas dari para aparat. Mereka seakan dibiarkan saja bisa merusak apa pun yang dilewatinya. Tentu, hal ini sangat disayangkan mengingat jaminan keamanan warga adalah tugas mereka.

Tidak hanya itu, para petinggi PSHT pun seakan tutup mata. Mereka hanya mengimbau anggotanya untuk tidak melakukan konvoi lagi. Tidak ada tindakan tegas yang dilakukan. Bisa saja, kejadian ini akan terus berulang mengingat setelah kejadian ini, antara warga Malang dengan pendukung PSHT kerap beradu argumen di media sosial. Mereka juga siap berjaga-jaga jika terjadi keributan yang lebih besar lagi.

Susah dan ruwet memang jika mendalami sebuah fanatisme sempit yang hinggap pada seseorang. Belum lagi, jika fanatisme tersebut menganggap orang di luar kelompoknya adalah salah dan harus diperangi. Kalau sudah begini, sampai kapan konflik akan berakhir?  

1 Comments

  1. Fanatismd juga sering merusak persatuan dan kesatuan ya, Mas Ikrom. Contohnya, fanatik terhadap tokoh tertentu saat pemilihan pemimpin. Sedikit saja jagoannya dipojokkan mereka rela mati untuk membela. Mungkin itu yang disebut idola membabi buta. Padahal orang yang didukung tak kenal doi. Ha ha ...

    Maaf, Mas Ikrom. Belakangan ini blog saya bermasalah. Sering komentar teman2 tak muncul. (Tapi tidak semua) Termasuk komen Mas Ikrom barusan.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post