Beberapa Hal yang Membuat Saya Hilang Respek pada Orang Baru

Ilustrasi. - Forbes


Dalam interaksi sosial, tentu kita membutuhkan manusia lain.

Hubungan kita dengan orang lain adalah timbal balik. Artinya, kita pasti membutuhkan orang lain dan orang lain pun membutuhkan kita juga. Kadang, dalam interaksi sosial kita akan bertemu dengan orang baru dikenal.

Entah relasi teman, pekerjaan, saudara, tetangga, atau yang lain. Terlebih, dengan adanya media komunikasi yang sangat pesat saat ini akan jauh lebih mudah berkenalan dengan orang baru. Kita akan lebih mudah mendapatkan kenalan baru saat ini dibandingkan saat media surat POS dulu.

Saya sendiri senang berkenalan dengan orang baru. Saya mendapatkan tantangan untuk menjalin komunikasi yang positif demi tujuan bersama. Dalam waktu belakangan ini, saya banyak mendapatkan relasi dari pekerjaan saya terutama ekspansi bisnis yang saya kembangkan.

Meski demikian, ada kalanya saya harus sedikit menjaga jarak dengan beberapa tipe orang yang yang memiliki sifat tertentu. Saya paham bahwa manusia tiada yang sempurna. Ada saja kekurangan pada diri manusia. Semisal, saya sendiri memiliki kekurangan yang mudah panik jika ada seuatu yang tidak sesuai rencana. Kekurangan ini saya coba untuk saya kurangi dengan melatih tenang ketika kepanikan dan keadaan gawat terjadi.

Tidak hanya itu, saya juga kadang menjalin komunikasi dengan orang lain jika saya memiliki sifat buruk semacam itu. Biasanya, saya meminta mereka untuk menenangkan atau mengiatkan saya. Dengan begini, saya mencoba tidak untuk mengingkari sifat buruk saya, tetapi saya coba untuk perbaiki.

Nah, sayangnya, ada beberapa sifat yang membuat saya berjarak dengan orang baru. Terutama, orang baru kenal yang menjalin hubungan bisnis dengan saya.

Pertama, tidak tepat waktu.

Saya adalah tipe orang yang on time. Tanpa ampun sejak kecil saya terbiasa on time dan mengerjakan segala hal sesuai peruntukannya. Watunya A yang mengerjakan A, waktunya B ya mengerjakan B. Waktunya bertemu X di jam YYY maka saya harus melakukannya tepat waktu. Saya berprinsip ketika ada satu saja kegiatan saya yang tak sesuai rencana waktunya, maka segalanya akan kacau.

Prinsip ini terdengar sangat berlebihan terutama saat saya menyadari bahwa saya hidup di Indonesia yang terkenal dengan jam karetnya. Kadang, saya malah ditegur rekan karena terlalu on time. Lha kok?

Sebenarnya, saya menoleransi keterlambatan jika waktu molornya hanya sekitar 10-15 menit. Lebih dari itu, saya akan memberi lampu kuning. Yah paling tidak satu jaman lah. Saya akan melihat kembali bagaimana usaha yang bersangkutan pada pertemuan selanjutnya. Jika terlambat lagi dengan alasan yang tidak masuk akal, maka mohon maaf saya akan memberi jarak.

Prinsip tepat waktu juga saya terapkan dalam mengelola konten blog dan You Tube. Saya sudah punya jadwal tertentu kapan menulis, menyunting gambar, menyunting video, mengalih suara, dan mengunggah konten. Makanya, saya tidak mau jam-jam saya ketika membuat konten diganggu selain alasan gawat darurat.

Kedua, tidak tepat janji

Tidak tepat waktu biasanya dibarengi tidak tepat janji. Entah janji melunasi hutang, janji mengerjakan tugas, atau janji bertemu. Apesnya, saya sering kali kena prank seseorang yang mengajak bertemu. Pernah suatu ketika ada seorang rekan yang meminta tolong saya untuk membuat blog.

Yah kalau cuma membuat postingan, mengedit gambar, dan sebagainya bisa lah saya mengajari. Saya pun datang ke tempat janjian di sebuah kafe. Semenit dua menit dari waktu janjian ia tak datang. Sejam lebih saya menunggu tak nampak batang hidungnya. Hingga saya tahu dari status WA-nya ia sedang berada di sebuah tempat rekan-rekannya untuk healing. Lah!

Akhirnya saya pulang dan memutuskan untuk menjaga jarak dengannya. Meski ia berulang meminta saya untuk mengajarinya tetapi tidak begitu saya gubris. Percuma juga kan jika bertemu orang yang tidak tepat janji. Yah minimal memberi kabar jika pertemuan tak jadi diadakan. Kalau begini kan saya jadi rugi waktu juga. Yang awalnya ikhlas untuk memberi bantuan malah jadi kesal.

Ketiga, tidak jujur pada hal sepele

Asli, watak ini merupakan watak yang membuat saya menjaga jarak dengan orang yang baru saya kenal. Saya pernah ketemuan di warteg dan kita makan bersama. Kebetulan, kami membayar makanan kami masing-masing.

Saat makan, saya masih ingat dia mengambil lebih dari 5 gorengan. Antara 9 sampai 10. Nah ketika membayar, ia malah berkata pada penjual warteg hanya mengambil dua gorengan. Saya mau mengingatkan kok ya gimana masih orang baru nanti ramai. Untungnya, saya tidak berkeinginan bertemu lagi dengannya dengan alasan yang akan saya ceritakan selanjutnya. Saya tak enak pada penjual warteg tersebut dan ketika saya makan lagi, maka saya bayar kekurangannya dan mengatakan kemarin lupa.

Keempat, too much of him/herself

Pernah tidak ketemu orang yang begitu sering menceritakan tentang dirinya. Tentang kehebatannya dan tentang apa yang sudah ia capai dan ia miliki. Dalam porsi yang wajar, bagi saya tak masalah. Saya pun kadang juga sering saling bercerita apa saja yang sudah saya dapatkan hanya dengan tujuan berbagi dan barangkali bisa saling memberi support.

Masalahnya, jika orang yang baru saya kenal terlalu banyak menceritakan dirinya sampai lupa membicarakan pokok masalah yang akan dibahas, rasanya saya juga harus sedikit menjaga jarak. Entah apa yang mendasarinya, saya kok malas saja meladeninya. Seakan membuang waktu saja. 

Nah, orang seperti ini juga orang yang sama dengan yang saya ceritakan sebelumnya. Jadi, saat makan di warteg, ia banyak sekali bercerita tentang apa saja yang ia capai. Saya sampai bingung mau menyelanya. Pendek kata, ia seakan sudah memiliki banyak capaian dan begitu hebat.

Lah, tapi kok engga jujur waktu beli gorengan????

Bagi saya, tindakan sederhana jauh lebih bermakna dibandingkan klaim pencapaian. Makanya, ketika saya tahu bahwa ia tak jujur saat membayar gorengan, rasanya respek saya hilang. Bak balon yang kempis… tiiuuuuuuung…. Oh jadi gini??

Kelima, mencela makanan

Asli, saya paling tidak suka dengan orang yang mencela makanan terutama orang yang baru dikenal. Bagi saya, makanan adalah berkah yang harus disyukuri. Seenggak enak apapun makanan, asal tidak beracun, kalau bisa jangan sampai mencela.

Lantaran, saya mengerti bagaimana proses memasak makanan sebegitu susahnya. Tidak bisa dalam semenit dua menit kecuali kalau masak sosis. Paling tidak, ya hargai lah. Saya sendiri kalau ada masakan tidak enak paling segera saya habiskan bagaimana caranya dan mencari makanan penutup yang bisa menetralisir makanan yang tidak enak tadi. Kalau tak ada, maka minum adalah solusi.

Nah ketika suatu pertemuan, ada seorang yang baru saya kenal menyerocos terus mengenai masakan yang ia santap. Padahal menurut saya sih enak-enak saja hanya sedikit asin. Mungkin karena jumlah kuahnya sedikit karena saat itu kami makan Mie Ayam.

Sepanjang makan, ia terus menyerocos dan berkomentar mengenai masakan yang menurutnya tidak enak. Bahkan, pemilik warung kelihatannya mendengar apa yang ia keluhkan. Rasanya saya ikut malu dan tak enak. Dan parahnya, kejadian ini terulang ketika kami bertemu lagi. Saat itu kami makan nasi goreng. Ia terus berucap sambal mengunyah makanan bahwa nasi gorengnya kurang inilah kurang itulah. Asli, selera makan saya langsung hilang. Kalau tidak ingat saya harus memiliki beberapa kesepakatan dengannya pasti sudah saya tinggal.

Itulah beberapa hal yang membuat saya tidak respek pada orang yang baru saya kenal. Kalau Anda sendiri bagaimana? Adakah sifat yang akan dihindari ketika bertemu orang baru? 

5 Comments

  1. Eh...sama. Misal aku ketemu sama orang yang ngemplang gorengan itu juga bakalan jaga jarak. Mending nggak usah temenan aja...

    Udah ngemplang, sombong...

    Males juga sama orang yang terlalu basa basi...nggak asik. Mending yang apa adanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. yg simpel aja ngemplang gimana klo hal besar ya mbak

      Delete
  2. Akoh kadang semacam nggak sengaja keceplosan mengkomentari makanan nih Mas, misal kurang enak, kurang garam.
    Makanya nih mulut sering saya wanti-wanti banget, setelah akhirnya ditiru sama anak saya yang pertama, dia juga sering banget frontal komentari makanan di depannya pulak, wakakkakaak.

    Tapi, emang faktor nggak sengaja sih, bukan mencela.

    Btw, yang lainnya saya banget.
    Kadang saya pikir, emang sayanya aja yang overthinking, kalau ketemu orang tuh rasanya saya berlebihan ngasih kesan yang wajib on time, janji wajib ditepati, dan lebih suka mendengarkan dulu sampai setidaknya saya tahu karakter lawan bicara saya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. klo engga kedengeran yg masak si gpp cuma klo keras banget kan jadi malu hahahah
      iya saya juga udah kebiasaan sejak kecilo on time apa apa kudu sesuai waktunya terbawa deh sampe sekarang

      Delete
  3. Saya termasuk orang yang sama dengan mas, tidak mengomentari makanan, apalagi pada saat sedang makan di sebuah tempat. Prinsipnya juga sama mas, karena itu bagi saya cuma ada dua kategori makanan, enak dan enak sekali.

    Kalau soal teman baru, hahaha.. itulah mengapa juga saya jarang bisa dekat dengan seseorang pada saat baru kenal. Biasanya saya mengambil jarak, semeter dua meter.. eh maksudnya beberapa lama untuk melihat perangai dia. Kalau memang pas, bisa lanjut, kalau nggak, ya bye bye saja.

    Bukan berarti ga berteman, tapi yah kadang cukup jadi kenalan saja.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post