Lekra dan Geger 1965, Kisah Para Seniman yang Tergulung Ganasnya Perpolitikan


Buku Lekra dan Geger 1965. Dok. Tempo

Penyebaran paham marxisme dan komunisme di Indonesia sudah diatur di dalam negara Indonesia.

Bahkan, dalam KUHP terbaru yang disahkan beberapa hari yang lalu, penyebaran paham marxisme dan komunisme bisa dipidana maksimal 4 tahun penjara. Tentu, aturan ini akan membuat orang-orang harus berpikir jutaan kali ketika ingin mempelajari paham-paham tersebut.

Berbicara mengenai paham marxisme dan komunisme, tentu kita tak bisa lekat dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi sayapnya. Diantara sekian organisasi saya PKI, ada salah satu yang cukup menarik perhatian. Apalagi kalau bukan Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA). Lembaga ini pernah menjadi lembaga seni yang cukup disegani. Tak sekadar lembaga seni, LEKRA juga tumbuh menjadi lembaga budaya yang berkembang amat pesat dan mewadahi hampir sebagian besar seniman tanah air.

Kisah LEKRA yang legendaris ini terangkum apik dalam Buku Lekra dan Geger 1965. Buku terbitan Tempo ini mengulas denyut kehidupan para seniman ketika lembaga ini masih berjaya hingga tergulung oleh samudra pembantaian massal berdarah pasca G30S.

Dimulai dari paparan mengenai geliatnya seni Indonesia yang bergelora awal 1960an. Berbagai pentas seni kala itu sangat masif dipertunjukkan karena euforia perpolitikan tanah air yang penuh propaganda anti nekolim.

Di desa, para aktivis wayang, ketoprak, ludruk, dan kesenian lain begitu semangat untuk melakukan petunjukan anit feodalisme. Para musikus menggubah lagu dan menghidupkan musik lokal. Pun dengan para sastrawan yang merangkai kata agar khalayak bisa menerima pesan mereka.   

Lekra bermula kala berbagai seniman berkumpul untuk membebaskan diri dari ketergantungan terhadap negeri penjajah. Lekra muncul untuk mengemban tugas penting mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi. Artinya, mereka tak ingin penetrasi budaya barat dengan mudah masuk ke Indonesia sehingga mengikis budaya lokal.

Pada mukadimah buku, disinggung kisah pendirian Lekra yang digawangi beberapa seniman ternama. Mulai AS Dharta, Henk Ngantung, Ashar, dan Nyoto. Nama terakhir ini adalah nama penting karena ia dianggap menjadi penghubung erat Lekra dan PKI. Meski banyak seniman Lekra menolak untuk terafiliasi dalam partai politik manapun, tetapi adanya Nyoto dalam Lekra membuat persepsi hubungan keduanya tak bisa dibantahkan.

Lekra pun tumbuh besar beberapa tahun kemudian. Saya baru tahu bahwa Balai Pemuda di Surabaya yang kini menjadi Alun-Alun Surabaya duluny adalah tempat untuk pertunjukan para seninam Lekra. Maklum, Surabaya adalah salah satu basis massa PKI yang sangat kuat kala itu. Beragam aksi kesenian digelar di sana hingga membuat Lekra sangat berpangaruh bagi warga Kota Pahlawan. Bisa dikatakan, Lekra dan Surabaya adalah dua hal yang saling mengisi.

Pertunjukan Lekra yang banyak mengangkat tema kaum marjinal seperti kaum buruh dan tani mendapatkan atensi yang luar biasa dari warga. Di beberapa kota, pertunjukan Lekra sangat ramai dan bahkan penuh. Nyawa kesenian yang dipertunjukkan amat kuat bisa jadi karena seniman Lekra harus memiliki prinsip yang jelas dan mengakar. Tidak sembarangan seniman bisa bergabung karena mereka harus paham untuk apa mereka berkarya.

Saya baru tahu dari buku ini bahwa Lekra juga yang memfasilitasi para seniman yang memiliki talenta akan mendapatkan fasilitas belajar ke luar negeri. Mereka bisa belajar di sana untuk mengembangkan diri. Salah satu negara yang menjadi jujugan para seniman Lekra belajar adalah Cekoslovakia yang kini sudah pecah jadi dua negara, Republik Ceko dan Slovakia.

Tenryata, biaya beasiswa tersebut berasal dari para donator asing yang berideologi serumpun. Contohnya adalah Lembaga seni dari negara-negara di Asia seperti RRC, Afrika, dan Amerika Latin yang berhaluan sosialis. Lekra pun menjadi contoh bagi partai politik agar memiliki Lembaga kebudayaan sebesar Lekra. Meski, banyak pendapat yang mengatakan bahwa Lekra tidak terafiliasi langsung dengan PKI.

Selain program beasiswa yang menarik banyak seniman, Lekra juga memiliki program Turba dan jurus 1-5-1. Turba merupakan singkatan dari turun ke bawah. Artinya, para seniman Lekra harus peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat bawah ketika menggelar sebuah pertunjukan.

Prinsip 1-5-1 memaksimalkan kerja kebudayaan dengan prinsip utama:

1. Meluas dan meninggi

2. Tinggi mutu dan ideologi dan mutu artistik

3. Tradisi baik dan kekinian revolusioner

4. Kreativitas individual dan kearifan massa

5. Realisme sosial dan romantik revolusioner.

Prinsip 1-5-1 ini bisa dipahami secara sederhana jika kita ingin karya kita banyak menjangkau kalangan masyarakat dan mendapat apresiasi, maka harus memiliki kualitas bagus. Pun dengan konten blog, You Tube, atau media sosial lain yang ingin berhasil dikenal saat ini. Konten tersebut harus memiliki unsur kekinian dan revolusioner alias up to date. Mampu memaparkan masalah yang terjadi dengan apik disertai kritik yang relevan. Satu hal yang paling penting, ide dan kreativitas adalah hal utama sebagai modal konten yang berkualitas dan memiliki nilai jual.

Walau tak terafiliasi dengan Lekra maupun PKI, tetapi saya mendapat banyak insight seputar pembuatan konten dari kisah Lekra ini. Mereka begitu apik meramu masalah sosial untuk ditunjukkan dalam karya seni yang mereka buat.


Selain prinsip 1-5-1, salah satu konsep yang membuat Lekra kuat adalah adanya disukusi. Saya senang dengan kisah dalam buku ini yang memaparkan mengenai disukusi serius soal sastra. Tak jarang, sesama seniman Lekra saling menghina tulisan. Walau terdengar tidak menyenangkan, tetapi dari disuksi tersebut akan menjadi semangat pembangun untuk menghasilkan karya yang lebih bagus lagi. Tak hanya disukusi sastra, seniman Lekra juga kerap melakukan diskusi buku. Suatu acara yang kini semakin lama semakin ditinggalkan.

Kisah tak kalah menarik dari buku ini adalah kisah mengenai Muhammad Arief. Ia adalah seniman Banyuwangi pencipta lagu Genjer-Genjer yang sangat fenomenal itu. Lagu yang mulanya digunakan sebagai protes atas pendudukan Jepang di Indonesia ini menjadi lagu penyemangat revolusioner saat tahun 1950-1960an.

Muhammad Arief mendirikan grup angklung Srimuda yang terdiri dari pemain angklung, sinden, dan penari. Grup ini berlatih di rumah Arief yang berada tak jauh dari pendopo Kabupaten Banyuwangi. Saat ke Banyuwangi dulu saya pernah menelusuri kampung M. Arief yang dulu begitu tersohor sebagai seniman Lekra. 

Relief seniman Banyuwangi di dekat rumah M. Arief, seniman Lekra.

Saat datang ke sana, saya mendapati sebuah relief bergambar seniman angklung yang sedang mengiringi penari gandrung yang asyik berlenggak-lenggok. Grup besutan M, Arief ini kemudian menjadi penarik massa PKI ketika ada tokoh PKI yang datang ke Banyuwangi. Antusiasme masyarakat Banyuwangi terhadap Lekra dan PKI sangat tinggi. Terbukti, saat Pemilu Lokal 1957 untuk pemilihan DPRD Banyuwangi, PKI berhasil meraih 13 dari 35 kursi yang diperebutkan.

Sebagai penutup dari buku ini diceritakan mengenai nasib seniman Lekra pada penghujung 1965. Ada yang hilang, dibunuh, atau dibuang ke Pulau Buru. Anak M. Arief berkisah, pada suatu siang di bulan Oktober 1965, sekelompok orang menyerbu rumah mereka. Sebenarnya, mereka sekeluarga sempat keluar menyelinap keluar. Saat kembali pulang, rumah sudah dalam keadaan hancur.

M. Arief pun langsung membakar koleksi bukunya, terutama yang isinya tentang ideologi kiri. Hanya tulisan lagunya saja yang tersisa. Keesokan harinya, ia ditangkap militer dan dimasukkan penjara. Berkali-kali ia berpindah tempat tahanan sebelum akhirnya berkahir di LP Lowokwaru, Malang. Seorang rekannya di Lekra mengisahkan M. Arief kerap melamun di dalam tahanan karena memikirkan nasib anggota sanggar keseniannya. Kenyataan pahit semakin dialaminya ketika lagu Genjer-Genjer dilarang untuk diperdengarkan saat Orde Baru.

Meski mengisahkan kisah dengan singkat karena gelapnya cerita akan segala hal di balik G30S, tetapi buku ini sangat layak dibaca karena ada banyak hikmah di dalamnya. Saya sangat banyak belajar dari seniman Lekra dalam membuat karya seni yang menyuarakan aspirasi masyarakat luas. Saya belajar ketika karya kita memang bagus dan dibutuhkan oleh masyarakat, maka dengan sendirinya karya kita akan mendapatkan apresiasi. 

Prinsip Lekra yang turun ke bawah untuk menghasilkan karya seni berkualitas dengan menyerap aspirasi masyarakat secara langsung di lapangan hingga kini saya adopsi untuk pembuatan konten vlog atau blog. Walau demikian, kisah Lekra mengajarkan saya dalam berkarya seni dan berkonten, menghargai seniman atau kreator lain yang tidak sejalan dengan kita adalah kunci.


Post a Comment

Next Post Previous Post