Beli Tiket Kereta dan Menginap di Hotel, Pengeluaran Terbesar yang Berulang




Saya bukan termasuk orang yang suka membeli barang mahal


Bahkan, saya lebih cenderung memilih barang yang murah tetapi berkualitas. Saya juga bukan termasuk orang yang gemar membeli barang jika tidak saya butuhkan. Kalau saya membeli suatu barang, maka otomatis barang tersebut memang saya butuhkan.

Barang yang saya beli kebanyakan adalah pakaian dan celana. Dibandingkan barang lain, saya lebih sering membeli celana karena ukuran perut saya yang tak kalah dengan ibu hamil. Semakin lama semakin buncit dan harus mengganti paling tidak tiap tahun sekali. Makanya, pengeluaran barang terbesar saya adalah membeli celana. Entah celana jeans, kain, atau celana yang saya gunakan untuk tidur.

Untuk barang lain pun saya juga tidak terlalu suka membeli jika memang tidak butuh. Ponsel pun baru saya beli ketika kejambret di Jakarta dan ketika saya ingin memulai nge-Youtube sehingga membutuhkan ponsel dengan kualitas yang lebih bagus. Sudah lebih dari setahun saya tak berganti HP dan berencana akan berganti beberapa tahun kemudian. Makanya, untuk urusan barang saya tidak terlalu banyak mengeluarkan uang.

Namun, berbeda halnya dengan tiket kereta api dan hotel. Rasanya, pengeluaran saya terbesar digunakan untuk kedua hal tersebut. Saya memang gemar mencoba beberapa perjalanan kereta api yang belum pernah saya rasakan. Terutama, kereta api jarak jauh kelas eksekutif dengan harga tiket yang lumayan mahal.

Beberapa tahun terakhir, saya memang menghabiskan banyak uang saya untuk keperluan tersebut. Perjalanan menuju dan dari Jakarta adalah perjalanan yang menghabiskan uang paling banyak. Maklum, saya memilih kereta api kelas eksekutif sebagai rekan perjalanan dengan alasan kenyamanan.

Dengan waktu perjalanan lebih dari 16 jam, rasanya saya tak kuat jika harus melakukannya dengan kereta api kelas ekonomi. Apalagi, kalau menggunakan kursi tegak 90 derajat dengan sensasi adu dengkulnya yang aduhai. Membayangkan saja saya sudah ngilu. Makanya, saya memilih menganggarkan uang lebih guna bisa naik kereta api kelas eksekutif.

Pengeluaran saya terbesar untuk tiket kereta api adalah untuk membeli dua tiket kereta api kelas eksekutif. Kedua kereta api tersebut adalah Bima dan Gajayana. Saya membeli tiket kereta api Bima dengan harga 520 ribu rupiah. Sedangkan, untuk kereta api Gajayana saya beli dengan harga sekitar 450 ribu rupiah. Dalam satu kali perjalanan, saya hampir merogoh kocek hampir satu juta.

Keputusan ini saya ambil karena sebelumnya saya menggunakan kereta api kelas ekonomi yang harganya jauh lebih murah. Keduanya adalah kereta api Jayakarta Premium seharga 240 ribu rupiah dan kereta api Majapahit seharga 210 ribu rupiah. Meski lumayan murah, punggung rasanya aduhai. Badan ngilu semua dan kaki saya kesemutan. Padahal, saat itu ada teman yang mengajak saya naik kereta api Matarmaja yang harganya cuma 104 ribu rupiah. Saat itu memang kereta ini masih disubsidi sehingga harganya jauh di bawah harga pasar.

Saya menolak ajakan tersebut karena bagi saya kereta tersebut tidak manusiawi. Bagaimana tidak, perjalanan 17 jam lebih harus adu dengkul dengan kursi yang lebih rapat. Jika kereta api Majapahit menggunakan konfigurasi kursi 2-2, maka kereta api Matarmaja menggunakan kursi 3-2. Makanya, saya memilih menambah 100 ribu agar tidak berdempetan lebih padat sehingga kaki dan badan saya kaku semua. Prinsip kenyamanan saya terapkan dalam melakukan perjalanan sehingga saya harus merogoh kocek yang jauh lebih mahal.

Meski mahal dan membuat kantong saya lumayan jebol, tetapi saya tidak menyesal membeli tiket kereta api kelas eksekutif. Pengalaman luar biasa dan kenyamanan yang saya rasakan sebanding dengan harga yang saya bayar. Dua kereta tersebut melaju kencang dan berhenti di stasiun tertentu saja. Saya bisa tidur dengan nyenyak tanpa terganggu apapun. Paling-paling, saya terbangun sebentar ketika ada suara pengumuman dari kondektur kereta api.

Beda halnya saat saya naik kereta api kelas ekonomi yang sering terbangun karena dengkul saya beradu dengan penumpang di depan. Kadang, saya tak sengaja menyandarkan kepala ke penumpang sebelah atau sebaliknya. Saat naik kereta api kelas eksekutif, saya bisa menyandarkan kepala di kursi yang bisa ditarik ke belakang.

Selain tiket kereta api, pengeluaran saya paling besar juga untuk memesan hotel untuk staycation. Saat pandemi melanda, rasanya malas untuk jalan-jalan jauh. Saya memilih untuk staycation di dalam kota. Makanya, saya memilih hotel berbintang sebagai sarana staycation.

Namanya juga hotel berbintang, tentu harganya lumayan mahal. Namun, saya membatasi bujet untuk menginap ini tidak lebih dari 300 ribu rupiah. Kebanyakan sih sekitar 200 ribu sampai 250 ribu rupiah. Saya biasanya memilih hotel di Surabaya yang sedang sepi dan butuh tamu sebagai tempat staycation. Alasanya, mereka kerap membanting harga kamar di luar nalar yang membuat saya masih bisa menjangkau penginapan tersebut.

Ada sebuah hotel yang harga kamar normalnya sekitar 500 ribuan. Namun, saat pandemi kemarin dijual hanya 200 ribuan. Saat menginap, kondisi pun sangat sepi sehingga aura mistis pun terasa. Akan tetapi, saya tidak kapok yang penting bisa melihat pemandangan Kota Surabaya dan mengerjakan apa yang bisa saya kerjakan.

Setelah pandemi mereda, harga kamar pun mulai naik lagi. Saya tak bisa merogoh kocek banyak lagi karena harganya di atas 300 ribuan. Ada sih beberapa hotel yang saat musim sepi menjual kamatnya murah tetapi sudah jarang. Akhirnya, saya memilih menyewa apartemen yang sepi sebagai tempat untuk staycatioan. Saya masih belum gemar berjalan di tempat wisata dengan alasan sudah nyaman seperti ini saat pandemi.

Jadi, meski tidak membeli barang dengan harga mahal, pengeluaran saya paling banyak adalah untuk tiket kereta api dan penginapan. Tanpa keduanya, mungkin saya sudah bisa beli mobil bekas yang harganya lumayan. Namun, saya tidak menyesal karena pengalaman berharga bisa saya dapatkan setelah menikmati kedua layanan tersebut.

Post a Comment

Next Post Previous Post