Menghilangkan Umpatan J yang Susah Sekali

Serdadu Belanda melihat tank dengan umpatan J saat Agresi militer. - Dok istimewa.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Kawasan Arek, tentu susah sekali untuk tidak mendengar dan mengucapkan umpatan J.

Umpatan J ini adalah umpatan Jancok yang menjadi salah satu umpatan khas di daerah ini. Umpatan J menjadi umpatan yang seakan tidak bisa lepas dari orang-orang kawasan Arek. Perlu diketahui, kawasan Arek adalah kawasan yang berada di jantung dari Jawa Timur.

Kawasan ini meliputi Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan bagian barat, Mojokerto, Jombang, Malang Raya, dan sebagian Lamongan. Kawasan Arek dikenal sebagai kawasan dengan karakter orang Jawa yang tidak seperti orang Jawa pada umumnya.

Jika orang Jawa pada umumnya dianggap sebagai pribadi yang halus, sopan santun dalam berucap dan penuh dengan basa-basi, tidak dengan orang dari kawasan Arek. Walau kebudayaan Jawa masih cukup kental di sini, tetapi secara karakter, mereka cukup berbeda dengan orang Jawa kebanyakan terutama yang berada di jantung kebudayaan Jawa seperti Solo dan Jogja.

Orang Kawasan Arek akan cenderung blak-blakan, tidak suka basa-basi, dan kerap mengumpat dengan kata kotor, semisal kata J tadi. Tujuannya, tak lain untuk mengekspresikan diri dan meluapkan kekesalan di hati ketika sedang mengalami masalah atau berada pada kondisi yang tidak menguntungkan.


 

 

Semisal, ketika sedang berada di jalan raya dan tiba-tiba ada kendaraan yang menyerobot dari arah kiri. Tentu, umpatan J ini akan keluar dengan spontan. Tanpa rasa berat dan seakan menjadi sebuah kelumrahan. Pun demikian ketika sedang berjalan di sutu tempat dan tiba-tiba tersandung. Bukannya menguapkan kalimat istighfar, tetapi kata J ini akan menjadi kata yang kerap teruap dalam bibir. Entah bagaimana nanti malaikat di liang lahat menanyakan sebuah pertanyaan. Bisa-bisa kalimat J ini yang akan sering keluar.

Nah sebagai orang yang lahir dan besar di kawasan Arek, mau tak mau, suka tak suka saya setiap hari mendengar kata ini. Tak hanya orang yang tidak saya kenal, teman, saudara, atau bahkan saya sendiri akhirnya mengucapkan kata ini.

Terlebih, saat saya sering berada di jalan raya, maka orang yang kerap berinteraksi dengan saya adalah orang embongan alias orang jalanan. Mulai sopir bus, kernet, pedagang asongan, tukang parkir, dan lain sebagainya. Saya tidak bermaksud merendahkan pekerjaan mereka tetapi dengan seringnya saya berinteraksi dengan mereka, maka kata J ini kerap saya dengar.

Saya pun mendengar kata ini hampir di setiap saat saya bekerja untuk mengecek lokasi sebuah tempat. Ketika saya tertidur, kata J ini menjadi kata yang seakan sebuah alarm bagi saya untuk bangun. Pernah suatu ketika saat saya naik bus bumel ke Krian Sidoarjo dan tengah tertidur pulas. Tiba-tiba, bus hampir menabrak sepeda motor.

Tak lama, sopir dan kernet kompak meneriakkan kata J seperti paduan suara. Saking kerasnya, saya terbangun bukan lantaran bus yang mengerem mendadak. Namun, saya terbangun karena suara koor umpatan J tadi. Sampai saya seakan terhuyung akibat umpatan J itu.

Lambat laun, saya menjadi kerap mengumpat J di setiap kesempatan. Ketika saya bertemu pegawai kantor yang menguruzi perizinan tempat les dan yang bersangkutan berbelit-belit, saya pun mengumpat J. Ketika ada mobil yang hampir menyerempet saya saat menyeberang, maka saya pun mengumpat J. rasanya kalau tak meluapkan kekesalan dengan mengumpat J, kok aneh.

Padahal, saat kecil saya diajarkan untuk menjauhi umpatan ini karena artinya tidak baik. Kalau dilihat dari tata bahasa memang banyak pro kontra mengenai umpatan ini. Namun, arti umpatan J yang paling saya yakini adalah proses bersetubuh antara pria dengan wanita. Entah bagaimana sejarahnya kok bisa kata itu menjadi kata makian khas kawasan Arek, yang jelas kini sebagian besar orang di sini pasti pernah mengumpat atau mendengar umpatan ini.

Apesnya, saya susah sekali menghilangkan umpatan ini ketika menelepon atau berbicara dengan teman sebaya. Walau tidak bermaksud mengumpat, tetapi rasanya hambar pembicaraan tidak menggunakan umpatan J. Semisal, saat menyapa teman, saya tidak menggunakan nama, tetapi menggunakan umpatan J.

“Hai, Jancuk, gimana kabarnya?”

Tentu, jika saya menggunakan umpatan ini di kawasan Arek tak akan masalah. Orang akan bodo amat dan memang sudah terbiasa. Namun, saya harus mengerem menggunakan umpatan ini saat berada di daerah yang kultur kebudayaan Jawa dan sopan santunnya masih dijunjung tinggi. Jogja dan Solo misalnya.

Pernah suatu ketika, saat saya menunggu BST di sebuah halte, saya menelepon teman dan kerap mengumpat J dengan leluasa. Tak lama, ada ibu-ibu yang menegur saya karena saya menumpat dengan leluasa. Padahal, di sebelah saya ada anak-anak. Saya pun meminta maaf dan sejak saat itu tidak lagi menggunakan kata J di Jogja atau Solo. Ora ilok alias Pamali kata Orang Sunda.

Susah memang jika terbiasa menggunakan kata itu. walau sulit, kini saya mulai mengurangi dan bertekad untuk mengilangkan kata tersebut. Tentu, dengan kata-kata lain yang bermakna negatif seperti kata bedhes, gendeng, dan turunan kata J. Mulai jasik, jamput, dan sejenisnya.

Untuk kata gendheng sendiri bagi saya cukup susah. Kata ini sering dipakai orang dari Kawasan Arek untuk menyatakan ketakjuban akan sesuatu. Semisal:

"Gendheng, cek larange klambi iki!" (Wah, mahal sekali harga baju ini).

Orang dari kawasan Arek menganggap kata tersebut biasa dan hanya untuk menyatakan kekaguman. Masalahnya, orang Jawa Tengah dan DIY menganggap bahwa kata tersebut untuk menyatakan bahwa lawan bicaranya adalah gila. Gendheng memang artinya gila dalam bahasa Jawa.

Itulah mengapa saya mulai berusaha mengganti umpatan J dan kawan-kawannya dengan kalimat tayyibah. Selain mendapat pahala, lama-lama telinga risih juga mendengarnya. Lucunya, anak-anak dari DKI Jakarta terutama Jaksel malah mempopulerkan umpatan J. Walau terdengar aneh karena pelafalannya berbeda, sesungguhnya menggunakan umpatan J tidak pada tempatnya malah akan menimbulkan kesalahpahaman.      

Post a Comment

Next Post Previous Post