Empat Alasan Jogja Tak Lagi Menjadi Primadona Wisata


alasan wisata jogja sepi
Tugu Jogja

 

Libur lebaran kemarin seharusnya menjadi momen baik bagi pelaku wisata di Jogja.

Setelah sempat lesu akibat pandemi dan pencabutan PPKM, wisata di Jogja mulai menggeliat kembali. Aneka tempat wisata baru bermunculan dan kunjungan wisatawan mulai banyak. Namun ternyata, libur lebaran kemarin menjadi momen yang kurang baik bagi mereka. Alasannya, jumlah wisatawan yang datang ke Jogja menurun.

Sesuai dengan data dari Pemprov DIY, jumlah wisatawan yang datang ke Jogja hanya sebesar 70% dari target yang direncanakan. Artinya, jumlahnya meleset dari target sehingga beberapa pemilik penginapan mengaku sepi tamu meski sedang libur lebaran.

Tentu, ini cukup mengejutkan karena selama ini Jogja menjadi tujuan utama wisatawan dari luar kota untuk berlibur. Malioboro masih menjadi magnet utama Jogja dalam menarik wisatawan. Candi Prambanan dan sederet tempat lain juga menjadi tempat yang membuat banyak orang ingin ke Jogja.

Lantas, apa saja yang membuat Jogja tidak didatangi wisatawan sesuai target yang diharapkan?

Pertama, keamanan dan kenyamanan

Meski dikenal sebagai kota wisata, Jogja ternyata memiliki tiga masalah utama yang membuat wisatawan tidak aman dan tidak nyaman. Tiga masalah itu adalah parkir, klitih, dan harga makanan. Tiga masalah tersebut seakan menjadi bom waktu yang membuat orang luar kota tak ingin berkunjung ke Jogja. Terlebih, saat ini orang mudah mengakses media sosial sehingga pemberitaan negatif dari tiga masalah tersebut di Jogja kerap muncul.

Parkir menjadi momok wisatawan yang akan ke Jogja. Banyak sekali insiden penarikan karcis parkir yang tidak masuk akal. Semisal, pernah ada wisatawan mengeluh tarif parkir motor di sekitar Malioboro mencapai 15 ribu rupiah. Belum lagi parkir bus yang bisa lebih dari seratus ribu rupiah. 

Baca juga: Kotagede yang Bersejarah, Kotagede yang Terbelah

Mahalnya tarif parkir ini membuat orang berpikir ulang jika akan berwisata ke Jogja. Jika mereka harus merogoh kocek sepuluh ribu atau lebih untuk parkir saja, maka berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk parkir?

Klitih atau pembacokan di jalan menjadi masalah yang cukup serius. Sudah banyak korban berjatuhan baik warga lokal maupun wisatawan yang membuat mereka was-was keluar malam. Saya sendiri saat di Jogja dan tinggal di wilayah perbatasan dengan Magelang hampir setiap hari ada saja kasus klitih. Beberapa wilayah dengan konsentrasi klitih cukup tinggi berada di Sleman bagian utara dan perbatasan dengan Magelang. Namun, wilayah lain juga tak luput dari sasaran klitih.

Ada seorang rekan asal Bogor yang datang ke Jogja bersama pasangannya. Saat itu, mereka ingin menikmari sunrise di Borobudur dan naik motor dari Kota Jogja. Saat masuk wilayah Tempel, perbatasan Jogja dengan Magelang, mereka dikuntit oleh dua sepeda motor dengan 4 penumpang. Mereka hampir saja dibacok di kawasan Mertoyudan yang sudah masuk wilayah Magelang. Sekilas dari platnya, rekan saya bisa melihat jelas dua motor tersebut menggunakan plat AB yang merupakan plat DIY. Untung saja mereka segera menemukan SPBU dan berhenti di sana sampai matahari terbit.

alasan wisata jogja sepi
Nasi kucing, makanan yang bisa dibilang masih murah di Jogja.

Masalah harga makanan juga kerap menjadi bumerang. Cukup banyak wisatawan yang datang kena getok harga tak wajar. Masak satu ayam goreng tanpa nasi dihargai 21 ribu rupiah? Begitu kata teman saya yang sedang makan di sekitar Maliboro. Makanya, jika kepepet lebih baik mencari Olive Chicken, Lesehan Aldan, atau Bale Bebakaran yang tersebar di seantero Jogja jika ingin mendapat harga wajar. Kalau saya memang sudah punya langganan warung yang murah seperti di Blok O, Condong Catur, Tamsis, atau Babarsari. Jadi, kalau mau makan ya langsung ke langganan saya.

Kedua adalah masalah macet

Macetnya Jogja sungguh minta ampun. Jalanan di Jogja memang sempit seperti di Malang yang juga dipadati pelajar dan mahasiswa. Nah, makin lama Jogja makin macet karena transportasi umumnya kurang berjalan maksimal.

Baca juga: Alasan Wisatawan Enggan Menggunakan Trans Jogja

Trans Jogja belum bisa diandalkan karena headway-nya lama. Belum lagi sopir yang kerap ugal-ugalan membuat warga dan wisatawan enggan menaikinya. Sejam lebih bisa habis untuk menunggu Trans Jogja saja. Makanya, ketika libur tiba, bisa dipastikan jalanan akan macet. Masalah kemacetan ini juga menjadi alasan orang mulai enggan ke Jogja. Ya masak dua hari lebih digunakan untuk terkena macet di Jogja?

alasan wisata jogja sepi
Kemacetan di Malioboro

Ketiga, Jogja mulai kehilangan ruh sebagai kota dengan wisata budaya. 

Mengapa bisa dikatakan seperti itu? Alasannya, pembangunan tempat wisata di Jogja kini berkutat pada tempat yang estetik dan instagramable. Kafe, tempat narsis di pinggir pantai dan gunung, dan tempat yang menawarkan spot berfoto lain menjadi sumber pembangunan wisata di Jogja dalam waktu beberapa tahun terakhir.

Wisata tersebut memang mendulang wisatawan dengan jumlah banyak. Bahkan, mereka harus antre dan membayar lebih demi bisa berfoto. Contohnya, ada wisata spot foto di pinggir laut Gunungkidul yang sempat viral karena harus antre berjam-jam untuk foto. Wisata ini menjual aneka spot menarik yang membuat gambar di Instagram menjadi oke. 

alasan wisata jogja sepi
Selasar Malioboro menjadi wisata narsis baru di Jogja. Kini orientasi pembangunan wisata di Jogja lebih mengutamakan spot foto.
 

Padahal, orang datang ke Jogja sebenarnya ingin mencari romantisme akan kota ini. Suasana pedesaan yang asri, kultur budaya yang khas, dan beberapa hal yang tidak didapatkan di tempat lain. Kalau tempat wisata spot foto atau kafe di kota lain juga banyak. Untuk apa jauh-jauh ke Jogja jika akhirnya berfoto di tempat seperti itu?

Faktor ini juga pada akhirnya membuat orang jenuh. Jogja telah kehilangan ruh yang memiliki daya tarik wisata dari kekayaan budayanya. Jogja tak seperti dulu lagi yang begitu bersahaja dan berubah menjadi Jogja yang mengejar konten fatamorgana.

Untung saja, masih ada beberapa pelaku wisata yang menjual paket wisata sejarah dan budaya yang kental dengan nuansa Jogja. Salah satunya adalah paket wisata keliling kampung-kampung di Jogja dengan sepeda. Bagi saya wisata ini sangat bagus karena wisatawan akan memiliki keunikan tersendiri yang akan didapatkan oleh wisatawan.

Keempat, naik daunnya beberapa kota di sekitar Jogja yang mulai menata wisatanya. 

Solo, Purwokerto, dan Semarang adalah tiga kota utama yang bisa saja menggantikan Jogja sebagai tujuan wisata. Diantara ketiganya, Solo berpeluang paling besar karena mirip dengan Jogja memiliki kekayaan budaya dan warisan Kerajaan Mataram.

Solo mulai menata diri dengan transportasi umum yang handal melalui Batik Solo Trans. Wisatawan tak perlu menyewa motor dan bayar parkir jika ke Solo. Rute Batik Solo Trans sudah melalui sebagian besar tempat wisata di Solo. Mulai keraton, Pasar Klewer, museum, balaikota, benteng, PGS, dan lain sebagainya.

Baca juga: Cara Wisata Seharian di Solo Naik BST

Pembangunan Taman Pracima oleh KGPAA Mangkunegara X beberapa waktu lalu juga membuat banyak wisatawan ingin datang ke Solo. Adipati milenial ini begitu apik mempromosikan istananya sehingga banyak event digelar. Dari beberapa konten BST yang saya buat, sebagian besar menanyakan bagaimana cara menuju Puro Mangkunegaran dari stasiun dan terminal. Pembangunan Masjid Sheikh Zayed juga membuat banyak orang tertarik ke Solo. 

Penumpang BST menunggu bus yang akan mereka naiki. Tampak jadwal dan estimasi kedatangan bus yang membuat penumpang tak perlu menunggu lama.

Purwokerto juga tak mau kalah. Sejak adanya Trans Banyumas, banyak wisatawan mulai tertarik ke sana karena ongkos perjalannnya dirasa lebih murah. Bahkan, ada rute Trans Banyumas sampai ke lokawisata Baturraden di kaki Gunung Slamet. Beberapa pelaku wisata di Purwokerto juga serius menggarap ptensi wisata alam yang murah dengan kualitas terbaik.

Salah satu tempat wisata di Purwokerto yang dilewati angkutan pedesaan. Wisatawan bisa menggunakan angkutan ini dengan tarif 3.000 rupiah.

Tak kalah dengan kota lain, Semarang pun juga mulai menggeliat meski masih mengahapi masalah banjir. Revitalisasi Kota Lama yang cukup sukses juga menarik banyak wisatawan terutama anak muda datang ke sana. banyak penginapan murah tersedia di sekitar kota lama yang bisa dijangkau dengan jalan kaki atau Trans Semarang. Jika ingin ke Semarang atas, Trans Semarang dan Trans Jateng juga siap mengantarkan. Wisatawan bisa turun di halte yang berada tak jauh dari pintu masuk tempat wisata.

Bus Trans Semarang dengan nyaman melewati kawasan Kota Lama Semarang.
 

Ketiga kota tersebut belum semacet Jogja dan memiliki transportasi umum yang bisa diandalkan. Dua hal ini menjadi modal penting karena lama-lama orang akan jengah jika mau berwisata terkena macet. Selain itu, banyak orang ingin merasakan suasana baru dengan berwisata selain ke Jogja. Makanya, kunjungan wisata di kota tersebut semakin meningkat.

Semua kini kembali kepada pemangku kepentingan di Jogja. Jika mereka mau menerima kritik dan keluhan terutama dari wisatawan, maka mereka bisa berbenah. Jika tidak, maka siap-siap saja tiga kota tersebut bisa menjadi Jogja selanjutnya atau bahkan ada kota lain yang menarik untuk dikunjungi.

1 Comments

  1. Berita Klitih di Jogya memang bikin ngeri, takut juga kalau misalkan aku pas malem keluar malam gitu pas traveling. Kudu was was tiap jam, tiap menit kayaknya.
    Duluuu aku pernah menghabiskan lebaran di Jogya, mungkin tahun 2011, memang padat, tapi mungkin ga sepadet sekarang.

    Dan solo atau semarang sepertinya lebih nyaman ya kalau soal "tingkat kepadatan" wisatawan

    ReplyDelete
Next Post Previous Post