Mencegah KDRT dari Pertemuan Dasa Wisma

Ilustrasi - Bangka Post

 

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kian hari kian mengerikan.

Terakhir, kasus KDRT diakhiri dengan pembunuhan empat orang anak di oleh seorang ayah. Kisah tersebut juga termasuk kisah KDRT terhadap sang ibu yang konon katanya pernah melapor tetapi tidak digubris oleh pihak yang berwenang.

Berbagai pertanyaan pun muncul. Mengapa tetangga atau lingkungan sekitar tidak mengetahui adanya KDRT dengan akhir yang mengerikan tersebut? Di manakah peran mereka dalam mencegah agar nyawa empat anak yang tak berdosa melayang begitu saja?

Konsep KDRT Urusan Pribadi

Pertanyaan ini akan bermuara kepada konsep yang tertanam dalam sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa KDRT adalah urusan rumah tangga pribadi. Pihak lain tidak boleh ikut campur apalagi bertindak terhadap pelaku KDRT. 

Konsep ini berbanding terbalik dengan masalah perzinaan atau perselingkuhan. Masyarakat akan ramai mengarak atau menghajar pelaku keduanya. Namun, saat ada KDRT yang terjadi di lingkungan mereka, nyatanya banyak yang acuh. Tak peduli dan menganggap itu ranah pribadi yang tidak bisa dicegah atau dicampuri.

Kondisi semakin pelik tatkala ada perangkat pemerintahan yang juga turut melindungi pelaku KDRT. Semisal, jika pelaku KDRT dianggap orang terpandang dan berkontribusi kepada masyarakat sekitar, maka sebengis apapun ia melakukan KDRT terhadap pasangannya, maka masyarakat sekitar menganggap hal itu lumrah.

Tertutupnya Korban KDRT

Beberapa tahun yang lalu, ada sebuah kasus KDRT di sekitar wilayah saya. Walau korban hanya sekali mengalami penamparan di pipi, tetapi kekerasan verbal yang terjadi setiap hari tentu membuat mental korban mengalami masalah. Apesnya, KDRT tersebut ditutupi oleh sang mertua yang merupakan salah satu tokoh terpandang di lingkungan tempat tinggal saya.

Sang korban baru diketahui mengalami KDRT setetelah absen selama dua bulan dalam kegiatan Dasa Wisma. Saat itu, ada seorang bendahara Dasa Wisma yang menagih uang arisan kepadanya. Kala ia mengunjungi rumahnya, ternyata ia bercerita bahwa suaminya melarang ikut kegiatan Dasa Wisma dahulu.

Meski sempat mengelak apa alasannya karena mungkin takut, akhirnya ia mengaku bahwa mengalami kekerasan. Berkat bantuan beberapa ibu-ibu Dasa Wisma, akhirnya korban KDRT tersebut berhasil menceritakan keadaan yang sebenarnya hingga memilih untuk berpisah dari suaminya.

Dari pengalaman ini, ada satu pelajaran penting yang bisa dipetik. Ternyata, perkumpulan Dasa Wisma bisa menjadi salah satu upaya pencegahan KDRT. Dasa Wisma merupakan kumpulan ibu-ibu beranggotakan 10-20 rumah terdekat. Dasa berarti sepuluh dan wisma berarti rumah. Satu RT biasanya terdiri dari beberapa Dasa Wisma.

Dasa Wisma Ujung Tombak Pencegahan KDRT

Di bawah RT, Dasa Wisma menjadi ujung tombak dalam melakukan koordinasi antar warga. Jika dalam tingkat RT masih sulit dan lama, maka Dasa Wisma bisa lebih cepat melakukan berbagai hal seperti penyempaian infromasi penting dari pemerintah. Tidak hanya itu, masalah warga, mulai dari pembangunan dan tetek bengek lain biasanya timbul dari kegiatan Dasa Wisma. Termasuk, masalah KDRT.

Ketika acara Dasa Wisma yang digelar tiap bulan, ada saja update berita mengenai kehidupan warga yang menjadi anggotanya. Jika ada yang sakit, maka mereka akan menjenguknya. Jika ada yang mau menikah atau hajatan, maka mereka akan siap untuk membantu.

Nah, pada kasus KDRT, biasanya jika ada satu saja anggota Dasa Wisma yang tidak pernah datang, maka anggota lain akan menanyakan. Mereka akan akan mengirim salah satu anggotanya ke rumah yang bersangkutan ada masalah apa hingga mereka tidak datang Dasa Wisma. Jika sedang sibuk atau ada kegiatan lain, pasti yang bersangkutan akan mengatakannya.

Namun, dalam KDRT, kadang yang bersangkutan akan seperti menutup diri. Inilah yang semestinya menjadi salah satu screening dalam kegiatan Dasa Wisma untuk menemukan kasus KDRT. Terlebih, jika yang bersangkutan biasanya sering hadir dan ceria, maka tentu akan ada pertanyaan. Apa yang sedang terjadi dengan yang bersanhgkutan?

Dari sini, maka anggota dan pengurus Dasa Wisma bisa berkonsultasi dengan pihak yang berwenang. Mulai RT, RW, Babinsa, atau perangkat Kelurahan jika dirasa kasus KDRT yang ditemukan cukup mengkhawatirkan. Dengan begini, gerak cepat pencegahan kasus KDRT akan bisa maksimal.

Sayangnya, hingga kini belum ada peraturan dan penyusunan perangkat pencegahan KDRT di lingkungan Dasa Wisma. Padahal, di setiap Dasa Wisma sudah ada kader Posyandu yang secara berkala melakukan pendataan terhadap bayi dan anak. Dengan semakin maraknya kasus KDRT, sudah saatnya Dasa Wisma lebih diberdayakan. Agar tidak untuk kegiatan arisan semata, Dasa Wisma sebenarnya adalah ujung tombak pencegahan kasus KDRT lantaran lingkup kecil yang dinaunginya.

Tentu, adanya kader ini juga harus dibarengi dengan pelatihan dan aturan yang jelas. Tujuannya, agar tidak terjadi miskonsepsi mengenai batasan privasi kepada pelaku yang diduga melakukan KDRT. Pada beberapa daerah, malah sudah dibuat satgas khusus hingga tingkat RW. Jika satgas ini sudah terbentuk, maka penguatan kader di lingkup Dasa Wisma bisa dioptimalkan.

Kasus KDRT sering terjadi karena korban atau pelaku merasa sendiri dengan masalah yang mereka hadapi, terutama masalah ekonomi. Padahal, dengana danya Dasa Wisma, mereka sesungguhnya tidka sendiri. Jika ada masalah ekonomi, maka Dasa Wisma sebenarnya bisa membantu mencari solusi.

Semisal, jika pasangan tersebut membutuhkan bantuan modal atau pelatihan, maka mereka bisa merekomendasikan ke RT, RW atau bahkan sampai ke Kelurahan. Banyak sekali acara bina UMKM yang pesertanya direkomendasikan dari kegiatan Dasa Wisma. Tetangga saya malah pernah mendapat bantuan membuat mie pangsit dan gerobak hingga kini usahanya besar. Padahal, dulu  kegiatan ekonominya serba kesusahan.

Untuk itulah, pertemuan Dasa Wisma yang digelar rutin seyogyanya bisa menjadi ujung tombak pencegahan KDRT. Bagaimana pun, KDRT bukan masalah internal tetapi harus diselesaikan secara hukum.

Post a Comment

Next Post Previous Post