Melintasi Seribu Stasiun, Memaknai Pembangunan Transprortasi Rel yang Menjadi Harta Karun

Cover buku

Pembangunan transportasi kereta api menjadi salah satu sejarah peradaban bangsa Indonesia yang tak bisa dilupakan.

Itulah sebabnya, perjalanan kisah mengenai berbagai hal tentang kereta api menjadi kisah yang patut disimak generasi masa kini. Stasiun, tempat kereta berhenti untuk menaikturunkan penumpang menjadi saksi bisa perjalanan kisah transportasi sepur ini. Stasiun menjadi urat nadi bagi aktivitas perkeretaapian yang merupakan faktor keberhasilan pejalanan kereta.

Memotret 1.000 stasiun merupakan sebuah karya apik dari wartawan Kompas, J. Osdar saat mengikuti perjalanan dinas Direktur Utama PT Kereta Api Persero, Edi Sukmoro (saat beliau masih menjabat) di Pulau Jawa. Seribu stasiun dianalogikan seperti lawang sewu, sebuah bangunan pariwisata yang dikelola PT KAWIS (KA Wisata) di Kota Semarang, kota pertama kali jalur kereta api dibangun.

Buku setebal 118 halaman ini memang lebih banyak menyuguhkan kisah dari bangunan stasiun yang telah berdiri selama ratusan tahun. Walau demikian, berbagai kisah yang mengiringi perjalanan PT Sepur dalam menjalani aktivitasnya juga patut untuk disimak.

Berbagai Halangan Menghadirkan Ular Besi di Jawa


Kisah dibuka dengan nostalgia jalur pertama kereta api Yogya-Semarang yang kini dilayani oleh KA Joglosemarkerto. Menyusuri jalur looping atau memutar tersebut, ingatan kita akan kembali dibuka pada kisah W.Poolman, direktur utama sebuah perusahan dagang ekspor dan impor Hindia Belanda.

Ia ditugaskan untuk mengangkut hasil bumi pada sistem tanam paksa. Poolman memiliki gagasan untuk membangun jalur kereta api agar hasil bumi dari daerah pedalaman bisa lebih mudah diangkut ke daerah pesisir. Ia pun mengusulkan agar pembangunan jalur kereta dilakukan.

W. Poolman, perintis jalur KA di Pulau Jawa. - https://www.parlement.com/


Sayang, berbagai polemik, lobi politik, dan kepercayaan masyarakat Jawa saat itu membuat gagasan pembangunan kereta tak bisa segera diwujudkan. Perlu waktu sekitar 13 tahun, dari tahun 1860 hingga 1873 agar kereta api benar-benar bisa beroperasi di Pulau Jawa.

Berbagai halangan dan rintangan itu kini terulang lagi kala Pemerintah RI mulai membangun kereta api dan kereta api cepat di Indonesia. Tantangan dan penolakan dari berbagai pihak, seperti pembangunan jalur kereta di Pulau Sulawesi, kereta api cepat, dan reaktivasi jalur kereta merupakan bagian sejarah yang harus dihadapi untuk merealisasikan sistem transportasi massal tersebut.

Kisah Miris Penjajahan di Tanah Grobogan

Perjalanan menapaktilasi jalur kereta api pertama tersebut tentu melewati banyak stasiun yang bersejarah. Salah satunya adalah Stasiun Gundih yang berada di wilayah Kabupaten Grobogan. Tak banyak yang tahu, ternyata nama stasiun ini berasal dari kata Gundik atau perempuan simpanan dalam bahasa Jawa.

Kisah Stasiun Gundih tak kalah miris dengan banyaknya penduduk di sana yang sengsara akibat sistem tanam paksa. Stasiun dengan dominasi bangunan berwarna coklat tua ini juga menjadi tempat mengangkut hasil bumi masyarakat Grobogan dan sekitarnya ke Semarang. Ia menjadi saksi bisu bagaimana hasil bumi penduduk pribumi dirampas untuk kepentingan Belanda.

Kisah pedih Stasiun Gundih juga terlukis dari sebuah gedung di dekat stasiun yang bernama Gedung Papak. Seorang penjaga gedung bernama Sokiran, pernah didatangi seorang nenek tua pada tahun 2017. Nenek tersebut marah-marah sambil menangis menceritakan Jugun lanfu, seorang budak seks tentara Jepang. Ia juga menunjuk kamar tidur dan kasur yang berada di bangunan tersebut.

Perjalanan J. Osdar melintasi jalur yang kini dioperasikan PT KAI Daerah Operasi 4 Semarang tersebut berlanjut ke beberapa stasiun ikonik, seperti Stasiun Kedungjati. Stasiun ini juga merupakan seksi pertama dari pembangunan jalur kereta api yang dilakukan perusahaan NISM pimpinan W. Poolman. Walau sangat penting dan menghubungkan jalur Semarang-Solo, tetapi stasiun ini kini hanya melayani persusulan dan persilangan kereta api.

Stasiun yang tak kalah pentingnya adalah Stasiun Tanggung yang berada di Tanggungharjo, Grobogan. Stasiun ini diyakini menjadi stasiun paling tua di Indonesia meski mulai terbantahkan dengan penemuan bekas bangunan Stasiun Samarang di Semarang Utara. Walau begitu, dalam buku ini dipaparkan penulis sempat mengelilingi bangunan stasiun dan menemukan sebuah monumen. Monumen tersebut berupa roda dan sayap burung.

Dari Semarang, Kisah Awal Kereta pun Terkenang 

Membaca bagian awal buku ini yang menitikberatkan pada pembangunan jalur kereta api di Semarang membuat banyak orang termasuk saya bertanya, mengapa Semarang menjadi kota pertama yang dibangun kereta api. Mengapa pula jalur pertama adalah jalur Semarang-Gundih dan bukan jalur Semarang-Yogya atau bahkan Semarang ke arah barat dan timur.

Pertanyaan ini terjawab dari paparan mengenai konsesi yang diajukan W. Poolman kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ternyata, saat itu ada beberapa jalur yang diusulkan selain jalur Semarang-Gundih. Salah satunya adalah jalur Semarang-Ungaran-Ambarawa-Salatiga- Boyolali-Surakarta-Klaten-Yogya. Walau jalur ini lebih pendek, tetapi kereta api akan melintasi pegunungan di sekitar Merapi dan Merbabu sehingga ongkos produksinya lebih tinggi meski jalur ini berpotensi menambah kekuatan militer Belanda dalam menghadapi sisa pasukan Pangeran Diponegoro.


Perdebatan panjang pun terjadi, baik antar pengusaha Belanda, Gubernur Jenderal Belanda, hingga parlemen Belanda. Setelah proses yang cukup rumit, akhirnya konsensus Poolman ini disahkan menjadi status hukum mengikat pada 16 Juni 1863. Agar pembangunan dan pengoperasian kereta api lebih maksimal, maka Poolman membuat badan usaha bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Setelah NISM mengoperasikan jalur keretanya, muncul banyak perusahaan swasta lain yang membuka jalur kereta api di Pulau Jawa dan Sumatera.

Selain memaparkan kisah di balik berdirinya sebuah stasiun, buku ini juga mengulik kisah unik lain seputar perjalanan kereta api. Salah satunya adalah kisah Marta, wanita baya yang punya kisah tentang Lawang Sewu dan pembangunan rel kereta di Jawa. Marta yang ditemui penulis menceritakan kisah buyutnya dari Singkawang didatangkan oleh Perusahaan Belanda untuk membangun rel di sekitar Semarang.

Semasa remaja, ia berjualan nasi di depan Lawang Sewu dan sering dipanggil ciblek – sebutan untuk wanita penjaja seks – oleh teman-temannya. Padahal, sebutan tersebut merupakan kepanjangan dari cilik betah melek atau anak kecil yang tahan tidur malam. Berkat hasil jualan nasi, ia bisa membeli tiket untuk keluarganya ke Jakarta. Sebuah pengorbanan yang juga mungkin dilakukan oleh banyak masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini.

Selain kisah Marta, ada kisah tentang Presiden Soekarno yang ternyata pernah menjadi pegawai tidak tetap di Stasiun Surabaya Gubeng. Bung Karno bekerja sebagai clerk atau staf Perusahaan KA Belanda. Beliau bertugas membuat daftar gaji karyawan kereta api.

Saat Bung Karno Jadi Pegawai Kereta  

Walau waktunya habis untuk pekerjaanya dan tak sempat belajar, tetapi berkat pekerjaannya itu, Bung Karno bisa bertemu banyak orang. Lalu-lalang orang dari berbagai penjuru Jawa membuat semangat nasionalisme beliau pun tumbuh, Hasil dari bekerja ini digunakan untuk membantu perekonomian ayah angkatnya HOS Tjockroaminoto lantaran sang ayah angkat sedang dipenjara oleh Belanda. Saat itu memang Bung Karno tinggal bersama keluarga Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya.

Buku ini juga memuat kisah persaingan antar perusahaan swasta kereta api Belanda. Dahulu memang kereta api tidak dioperasikan oleh satu perusahaan tunggal seperti PT KAI sekarang. Makanya, intrik persaingan bisnis dan eskpansi yang mereka lakukan diceritakan apik oleh buku ini.



Ada juga beberapa fakta menarik lain seperti baru tersambungnya rel dari Stasiun Semarang Poncol dan Semarang Tawang setelah puluhan tahun. Ada juga kisah tentang kesinisan masyarakat Jawa terhadap hadirnya transportasi kereta api hingga pemasangan iklan di berbagai surat kabar untuk mempromosikan hadirnya jalur kereta api baru.

Buku ini juga dilengkapi potret jadul tentang perkeretaapian. Ada pula potret penulis yang sedang membidik aktivitas kereta api, baik di stasiun, jalur rel, hingga gedung tua. Jepretan wartawan Kompas yang terkenal ciamik menambah daya tarik buku full colour ini.

Hanya saja, ada beberapa foto dan keterangan yang kurang tepat seperti kesalahan dalam penamaan kereta. Misalnya, ada gambar KA Batara Kresna tetapi penulis memberikan infromasi bahwa kereta tersebut adalah kereta Joglosemarkerto.

Alur perjalanan KA yang tidak disusun urut berdasarkan wilayah Daerah Operasi (Daop) juga kadang membuat pembaca sedikit harus mencerna ulang kisah yang dipaparkan. Meski demikian, kisah yang dirangkai masih terbaca dengan enak dan mudah dipahami.


*****


Identitas Buku

Judul               : Melintasi Seribu Stasiun

Penulis            : J. Osdar

Penerbit          : Penerbit Buku Kompas

Tahun Terbit   : 2020

Halaman         : 118 halaman


Post a Comment

Next Post Previous Post