Banjir Demak-Kudus, Bukti Selat Muria Akan Kembali atau Tidak

Banjir menenggelamkan kawasan Masjid Agung Demak dan komplek makam Kerajaan Demak. - Dok. CNN

Banjir besar telah menenggalamkan 90 persen wilayah Kabupaten Demak serta sebagian wilayah Kabupaten Kudus.

Banjir ini disebut sebagai banjir paling parah selama beberapa dekade terakhir. Bahkan, menurut beberapa warga, banjir ini adalah banjir terbesar sepanjang sejarah hidup mereka. Belum pernah terjadi banjir sebesar dan separah ini. Padahal, banjir terjadi setelah Demak diguyur hujan 3 hari, tidak sampai satu minggu.

Jebolnya tanggul Sungai Wulan yang membatasi wilayah Demak dan Kudus disebut-sebut sebagai biang keladi utama tenggelamnya kota wali tersebut. Debit air yang sangat tinggi akibat hujan berhari-hari membuat tanggul tak lagi kuat menahan beban. Air pun langsung menggenangi perumahan, persawahan, hingga jalan raya nasional. Banjir membuat perekonomian lumpuh selama beberapa hari.

Salah satu foto banjir Demak yang membuat saya miris adalah tenggelamnya pusat Kota Demak. Saya sendiri pernah berjalan-jalan ke sana dan hampir tidak percaya area yang menjadi makam para wali songo itu harus tenggelam. Pun demikian dengan Masjid Agung Demak, tempat bersemayamnya beberapa ulama dan pembesar Kerajaan Demak. Air menggenangi kompleks makam yang hampir setiap hari selalu disinggahi peziarah.

Genangan air tampak pada makam pendiri Kerajaan Demak, Raden Patah. Hingga tulisan ini dibuat, ketinggian air masih mencapai sekitar 10-30 cm. Alhasil, kegiatan ziarah ditutup sementara. Sebuah pemandangan yang cukup miris.

Banjir Demak dan Kudus telah membuat ratusan ribu warga terdampak. Pusat Kota Demak pun bisa dikatakan hampir lumpuh. Tak hanya pusat Kota Demak, beberapa kecamatan lain di Demak pun juga terdampak. Tentu, perekonomian nasional yang menggantungkan jalan raya Pantura Demak-Kudus ikut terganggu. Arus lalu lintas pun dialihkan ke jalan Demak-Jepara. Distribusi barang pun terganggu akibat banjir ini.

Banjir yang meluas di Kudus dan Demak memang diakibatkan oleh curah hujan tinggi dan jebolnya tanggul. Tinggi banjir yang dikabarkan sampai 2 meter lebih di beberapa titik membuat banjir tak juga surut. Nah, dari fenomena ini banyak yang beranggapan bahwa banjir Demak-Kudus disebabkan oleh kembalinya Selat Muria.

Selat Muria merupakan selat purba yang membelah daerah Demak-Kudus dengan Jepara. Dulu, konon dikabarkan wilayah Jepara adalah pulau yang terpisah dengan daratan Jawa yang bernama Pulau Muria. Antara Pulau Jawa dan Pulau Muria dibatasi oleh selat sempit yang menjadi ujung tombak perdagangan di Kerajaan Demak.

Peta Selat Muria. Tampak wilayah Jepara terpisah dari Pulau Jawa.


Saat sekolah dulu, mungkin kita diajarkan bahwa Kerajaan Demak adalah kerajaan dengan pelabuhan besar. Jika melihat peta sekarang, pelabuhan tersebut sangat mustahil berada di pusat Kota Demak sekarang karena di sebelah utaranya merupakan daratan yang terhubung dengan wilayah Jepara. Pelabuhan juga tidak disebutkan berada di Semarang atau Jepara karena pusat aktivitas Kerajaan Demak berada di wilayah Kota Demak saat ini. Maka, bisa dikatakan saat itu wilayah Kota Demak merupakan sebuah pelabuhan.

Sedimentasi beberapa sungai yang mengalir menuju Selat Muria menyebabkan selat ini mengalami pendangkalan. Hingga akhirnya, wilayah laut sempit tersebut berubah menjadi daratan. Wilayah tersebut kini berada di beberapa kecamatan di Kabupaten Demak, Kudus, dan Jepara. Meski kadang meragukan, tetapi beberapa bukti arkeologis menjadi dasar adanya Selat Muria ini. Salah satunya adalah penemuan beberapa fosil hewan laut di sekitar wilayah Patiayam Kudus seperti molusca, penyu, dan hewan laut lain. Adanya sumber air asin di beberapa wilayah tersebut juga menjadi dasar keberadaan selat ini di masa lampau.

Peta yang dibuat oleh Franz Junghunn tahun 1855, terdapat adanya rawa atau genangan dari Undaan, Kudus sampai Kaliampo, Pati. Rawa atau genangan tersebut dipercaya bekas dari Selat Muria. - Dok. Istimewa


Persepsi akan kembalinya Selat Muria memang menjadi pro dan kontra. Bagi yang meyakininya, dasar penurunan muka tanah yang terjadi di wilayah Pantura Demak adalah buktinya. Setiap tahun, penurunan muka tanah di wilayah ini berkisar 1-20 cm per tahun. Dengan estimasi tersebut, maka diperkeriakan pada tahun 2050 atau sekitar 26 tahun lagi, wilayah Demak dan sebagian Kudus akan benar-benar tenggelam. Selat Muria pun diperkirakan akan benar-benar muncul kembali.

Persepsi akan munculnya Selat Muria lagi juga berdasarkan Ramalan Jayabaya. Menurut Ramalan Jayabaya, akan ada bencana besar yang menyebabkan Pulau Jawa terbelah menjadi dua. Nah, pulau baru yang terbentuk diyakini adalah Pulau Muria.

Meski demikian, banyak juga yang menyebut Selat Muria tak akan lagi terbentuk. Salah satunya adalah dari Pusat Riset Kebencanaan GeologiBRIN. Cutah hujan yang tinggi, penggunaan air tanah yang tanpa memperhatikan tata ruang, serta alih lahan konservasi di wilayah hulu adalah sumber utama wilayah tersebut tergenang hingga sekarang.

Selat Muria benar-benar akan terjadi jika penurunan muka tanah terjadi secara masif dalam waktu cepat seperti yang terjadi di sebagian wilayah Sayung, Demak. Beberapa desa di sana sudah tenggelam dalam 20 tahun terakhir akibat air rob dan penurunan muka tanah.

Mempercayai Selat Muria akan kembali memang tidak salah. Namun, melakukan mitigasi agar selat itu tidak kembali adalah kunci. Bagaimana tidak, wilayah tersebut kini dihuni oleh ratusan ribu orang. Tak hanya menjadi hunian banyak orang, kawasan yang dulu adalah laut itu menjadi denyut nadi perekonomian nasional. Keberadaannya sama pentingnya dengan Selat Muria masa lampau.


Makanya, berbagai upaya mitigasi segera sangat penting dilakukan. Selain memperbaiki tanggul yang jebol, reboisasi di kawasan hulu juga harus dilakukan. Menanam tanaman mangrove di sepanjang pantai juga menjadi hal yang tak boleh dilakukan. Mitigasi yang taki kalah penting adalah upaya mengurangi pemakaian air tanah secara berlebihan. Dengan dukungan banyak pihak, rasanya pemda setempat perlu mengelola penggunaan air tanah yang tidak sampai membuat penurunan tanah.

Mitigasi yang bisa dilakukan adalah meniru negara Belanda. Negara tersebut sudah bisa membuat banyak wilayah daratannya tetap kering meski awalnya adalah lautan. Entah bagaimana caranya, yang jelas sudah saatnya kita mencoba untuk menggunakan teknologi yang mereka gunakan agar wilayah pesisir pantura tidak tenggelam.

Post a Comment

Next Post Previous Post