Menjadi Minoritas Muslim, Saatnya Lebih Mendengar daripada Berbicara


 

Tinggal di negara mayoritas muslim membuat saya lebih sering berbicara mengenai kehidupan beragama dibandingkan teman-teman nonmuslim lainnya.

Privilege ini mencakup banyak hal dalam berbagai sendi kehidupan. Menjadi muslim seakan menjadi pribadi yang akan terus bersuara mengenai hak-hak beragama dan menjalankan syariatnya. Walau sepenuhnya tidak benar, tetapi hal tersebut mau tak mau benar dalam praktiknya.

Semisal, saat bulan puasa tiba. Seluruh kegiatan masyarakat harus mengikuti aturan untuk menghormati orang berpuasa. Warung makan dan restoran tidak buka atau menutup dengan korden. Belum lagi, berbagai kegaitan lain yang memberikan banyak kebebasan bagi seorang muslim untuk berbicara.

Sedari kecil hingga besar, saya tinggal di lingkungan mayoritas muslim. Otomatis, saya juga sering berpendapat mengenai berbagai hal seputar keagamaan. Dalam kajian-kajian yang saya ikuti, kadang saya juga bertanya dan berdiskusi mengenai apa yang ada dalam ajaran Islam.

Namun, semua berubah beberapa waktu terakhir ini. Saya tinggal dan berinteraksi dengan pemeluk agama Nasrani. Saya tinggal di sebuah kontrakan yang dihuni sekitar 20an orang. Diantara 20 orang itu, 19 diantaranya adalah pemeluk Nasrani. Sisanya, hanya saya yang muslim.

Mereka pun berasal dari berbagai denominasi gereja yang beragam. Ada 4 orang yang beragama Katolik, 10 orang yang menganut Kristen Pentakosta Karismatik, dan sisanya sebanyak 5 orang adalah penganut Kristen Lutheran dan Calvinis seperti HKBP dan GKI. Jika dipersentase, maka penganut Nasrani di kontrakan saya adalah 95% persen dan hanya 5 % yang muslim. Berbanding terbalik dengan apa yang saya alami sejak kecil saat menjadi mayoritas.

Tidak hanya di kontrakan saya saja, tetapi di sekitar lingkungan tersebut juga mayoritas Nasrani. Bahkan, ada sebuah kapel yang cukup besar dan dua buah Gereja Protestan di dekat kontrakan. Semuanya sangat ramai ketika hari Minggu tiba. Sementara, saya harus pergi ke masjid yang terletak di kompleks sebelah jika ingin menunaikan salat berjamaah.

Nah, menjadi minoritas membuat saya akhirnya mengerti bagaimana asyiknya mendengar daripada berbicara. Saya memaknai ini setelah melihat video Habib Jafar mengenai agama-agama di Indonesia. Beliau sering mengundang berbagai pemuka agama untuk mengetahui konsep beragama mereka tanpa menghakimi. Beliau hanya mendengar dan menyimak serta jarang sekali menanggapi.


Saya pun juga sering mendengar mereka berbicara mengenai kehidupan beragama mereka. Semisal, bagaimana pemeluk Kristen Pantekosta Karismatik yang sering kesulitan mendapatkan izin mendirikan gereja. Mereka juga sulit jika ingin melakukan ibadah di rumah karena menggunakan alat musik dengan suara yang menggelegar. Alhasil, ibadah yang mereka lakukan seringkali berada di mall atau pusat perbelanjaan. Walau tidak begitu masalah, ada salah seorang diantara mereka yang sebenarnya sedih dan ingin sekali beribadah di tempat yang semestinya.

Saya memaklumi hal itu dan mendengar pula bahwa mereka kerap dianggap sesat – tidak hanya oleh orang di luar Nasrani – karena mengimani bahasa roh sebagai salah satu dasar keimanan mereka. Saya mencerna perlahan maksud dari bahasa roh yang membuat mereka benar-benar hidup. Walau tentu bertentangan dengan apa yang saya imani, tetapi saya mengerti sekali bahwa dengan iman seperti itu, mereka bisa menjalani hari dengan tenang.

Pun demikian dengan rekan-rekan Katolik yang sangat khidmat dalam beribadah. Saya mendengar bahwa kesakralan dalam beribadah membuat mereka begitu penuh dalam menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga berbicara bahwa meski harus melakukan ritual yang sangat panjang dan melelahkan, tetapi itu adalah proses yang akan berakhir dengan suka cita. Makanya, mereka sangat gemar pergi ziarah ke Gua Maria. Perjalanan panjang akan terbayar dengan rasa tenang dan nyaman setelah berdoa atau bermunajat.

Pada kesempatan berbeda, saya juga sempat ngopi dan bertukar pikiran dengan beberapa rekan Kristen Protestan. Saya selalu penasaran mengapa mereka terpecah ke dalam banyak denominasi. Dari penjelasan mereka, saya sadar bahwa memang setiap agama akan berpotensi mengalami perpecahan karena namanya manusia memiliki sifat berbeda. Dalam Islam pun perpecahan juga terjadi. Yang penting, tujuannya tetap satu untuk menyembah Tuhan Yang Esa. Saya salut dengan rekan-rekan dari Kristen Protestan yang masih memegang tradisi lokal dalam upacara keagamaan yang mereka lakukan. Semisal HKBP dengan adat bataknya, GKJ dan GKJW dengan langgam jawanya, serta GMIM yang masih meneruskan tradisi suku Minahasa dalam kebaktian.

Satu isu yang cukup sensitif yang sering saya dengar adalah masalah Kristenisasi. Masalah ini menjadi bara dalam sekam karena menjadi api pemantik konflik beragama. Sebagai muslim, saya sering mendengar isu negatif ini bahkan dari pemuka agama Islam. Lantaran tinggal di tempat mayoritas Kristen, maka saya sering mencari tahu apa sih yang ada di benak mereka.

Setiap pemeluk agama tentu ingin mendakwahkan agamanya. Mereka juga sangat senang jika ada pembatisan seseorang masuk menjadi komuni mereka. Namun, itu tidak serta menjadi tujuan mereka. Beberapa dari mereka mengatakan buat apa umat banyak-banyak tetapi tidak menjalankan ajaran agama dengan benar. Saya sih, sependapat dengan ini. Buat apa umat banyak tetapi gereja tidak penuh saat kebaktian atau misa. Biar sedikit, asal mantap.

Tidak hanya itu, saya baru mengerti untuk menjadi seorang Nasrani, apalagi Katolik, proses yang dilalui sangat panjang. Ada pendidikan mengenai ajaran agama yang disebut katekisasi agar seseorang diterima menjadi Katolik. Proses ini sangat berliku dan banyak yang tidak kuat akhirnya menyerah. Bagi saya, lebih mudah untuk masuk Islam sehingga isu kristenisasi yang sering dihembuskan kok rasanya berlebihan.

Kenaikan jumlah pemeluk Kristen dan penurunan jumlah pemeluk Islam di Indonesia lebih didasarkan pada statistik kelahiran. Dari data statistik, ternyata angka kelahiran anak yang beragama Islam lebih rendah dibandingkan anak yang akan dibaptis menjadi Kristen.

Tentu, tinggal di tempat mayoritas Nasrani akan lebih sering mendengar lagu-lagu rohani. Hampir setiap hari, lagu ini diputar dan terdengar hingga kamar saya. Saya sampai hafal beberapa lirik lagu yang saya anggap universal untuk semua agama.

Saya semakin yakin, hal-hal yang bisa membuat adem kehidupan beragama di Indonesia adalah saling mendengar dan tidak selalu ingin berbicara. Makanya, saya miris ketika mendegar persekusi terhadap umat Kristen di Indonesia, semisal pembubaran doa bersama atau pelarangan pendirian gereja. Tinggal bersama mereka malah membuat saya sadar bahwa mereka sama dengan saya sebagai muslim. Hanya ingin hidup dan menjankan ibadah dengan nyaman. 

Post a Comment

Next Post Previous Post