Hari Gini Gak Bisa Bahasa Inggris?

Ilustrasi. - Dokumen istimewa

Nah pertanyaan itu sering terdengar dalam berbagai kesempatan.

Entah di tempat kerja, keluarga, atau sekolah. Bahasa Inggris seakan menjadi bahasa yang wajib untuk dikuasai dalam era globalisasi saat ini. Tdak bisa berbahasa Inggris maka tidak akan mendapatkan banyak kesempatan. Sekarang apa sih, yang tidak menggunakan bahasa Inggris?

Lowongan pekerjaan, pengumuman, menu di kafe atau restoran, bahkan petunjuk penggunaan barang pun sudah mulai banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia. Maka, lancar dan fasih berbahasa Inggris adalah kunci utama.

Saya sendiri bisa dikatakan belum fasih berbahasa Inggris. Kalau diberi level, mungkin level menengah ke bawah. Belum lancarnya saya berbahasa Inggris bisa jadi saya tidak terlalu niat dalam belajar. Selama ini, saya hanya mengandalkan film, lagu, atau cuplikan acara kontes kecantikan yang saya tonton. Saya juga mengandalkan chatting dengan rekan dari Filipina yang memiliki kemampuan jauh di atas saya. Maklum, orang sana kan kemampuan bahasa Inggrisnya jauh di atas rata-rata.

Saya juga tidak secara khusus kursus bahasa Inggris. Terkahir belajar bahasa Inggris secara kursus malah lewat komunitas ISB yang bekerja sama dengan Lembaga TBI. Waktu itu, saya terpilih dengan beberapa rekan blogger lainnya untuk belajar bahasa Inggris secara daring. Banyak sekali materi yang saya dapat saat itu. Mulai dari menulis opini, mmebuat pertanyaan kritis, dan memaparkan data dalam bahasa Inggris.

Saya juga diberi kesempatan untuk bercakap-cakap dengan bahasa Inggris meski agak terbata-bata. Namun, berkat kursus tersebut, ada banyak teknik dan skill berbahasa Inggris yang bisa saya kuasai. Semisal, bagaimana membuat diksi menarik dalam memaparkan fakta dan merangkainya menjadi opini kritis.

Untuk tes tulis sendiri, saya malah terkahir melakukannya 10 tahun lalu. Saat itu, saya mendapatkan skor 450. Skor tersebut hanya naik sedikit saat saya tes TOEFL selepas lulus kuliah, yakni 435. Sepertinya susah sekali untuk mencapai skor 500. Kadang saya heran dengan teman yang skor TOEFL-nya konsisten di atas 500. Kok bisa ya mereka bisa dapat nilai setinggi itu. Saya agak jiper saat SMA karena sekelas rata-rata nilai TOEFLnya di atas 500 bahkan ada yang 600. Yang dibawah 500 bisa dihitung jari termasuk saya.

Meski demikian, saya kok tidak memandang TOEFL adalah segalanya. Lantaran masih ada beberapa tes lain seperti IELTS dan TOEIC yang lebih dibutuhkan di dunia kerja. Sementara, TOEFL lebih berguna untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tak hanya itu, namanya bahasa kan praktik dan bukan hanya tulis saja. Makanya, praktik berbicara adalah kunci.

Masalahnya, susah sekali menemukan orang di lingkungan sekitar yang mau dan bisa berbicara bahasa Inggris. Ada sih satu rekan kerja sekaligus rekan kontrakan yang lumayan fasih berbahasa Inggris. Kebetulan dia SD sampai SMP di Wales sehingga lancar sampai sekarang. Masalahnya, lantaran tinggal di Surabaya dan sudah spaneng dengan pekerjaan, maka kami malah lebih sering menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan. Baru beberapa kalimat mencoba berbahasa Inggris akhirnya lama-lama merasa “kesuwen cok!”.

Partner berbicara bahasa Inggris ini amatlah penting. Tanpa partner yang bisa dan mau dan bisa diajak bekerja sama untuk berbicara bahasa Inggris rasanya akan susah. Tidak perlu yang lancar yang penting sama-sama mau belajar. Rutin setiap hari meski topiknya sederhana. Dengan begitu, otak akan terangsang dan terstimulus untuk mau dan bangkit merangkau kosakata bahasa Inggris.

Kalaun tidak ada partner lantas bagaimana?

Tentu, video dan musik adalah kunci. Kalau saya sih sebagai penggila pageant maka akan menonton bagian tanya jawab atau Q and A. Bagian ini cukup bisa diandalkan dalam berbahasa Inggris. Kita bisa membayangkan seperti peserta yang harus bisa menangkap pertanyaan dari dewan juri dan segera menjawab dalam waktu singkat. Kadang-kadang, kalau ada waktu, saya stop dulu saat juri baru selesai memberikan pertanyaan.

Lalu, saya mencoba menjawab sebisa saya dalam waktu 1 menit. Selepas itu, saya dengarkan jawaban dari peserta dan membandingkannya dengan jawaban saya. Jika pertanyaan sama diberikan pada peserta, saya biasanya mencoba menganilisis jawaban mereka dan menentukan siapa yang to the point dan memberikan suatu poin plus. Dengan begini, saya merasa tertantang untuk mencari topik baru yang layak untuk didiskusikan.

Ada salah satu kelas dalam kontes kecantikan yang saya suka yakni Binibining Pilipinas. Kelas tersebut menghadirkan Boy Abunda, seorang presenter terkenal dari Filipina. Ia akan memberi sebuah gambar pada peserta. Lalu, gambar tersebut harus dideskiripsikan oleh peserta dan mengaitkannya dengan isu terkini dalam bahasa Inggris.

Selepas peserta memberikan paparannya, kemudian Boy Abunda akan mengomentari bagian mana yang masih kurang. Rata-rata adalah pengulangan kalimat dengan makna yang sama. Jadi, waktu satu menit yang biasanya bisa digunakan untuk menjelaskan 3 hal akhirnya hanya bisa 1 hal saja. Saya sendiri mencoba melakukannya dan memang susah. Saya sering terpacu pada tenses yang akhirnya membuat jawaban saya mengulang dari poin yang saya paparkan. Tentu, kegiatan ini butuh latihan ekstra.

Poin penting selanjutnya adalah bagaimana membuat pendengar bisa masuk dan tertarik dengan apa yang kita sampaikan. Sama dengan bahasa lainnya, bahasa Inggris pun juga sama. Sehancur tenses atau kaidah yang kita ucapkan yang penting coba dulu. Masalah tenses, bisa kita pelajari sambil jalan karena kalau kita berkutat pada hal tersebut yang ada malah bahasa Inggris menjadi teori yang tidak bisa dipraktikkan.

 

Post a Comment

Next Post Previous Post