Ilustrasi. - https://thenightly.com.au/ |
Kalau Anda membaca postingan saya beberapa waktu lalu, maka saya sempat membuat unggahan mengenai kejadian tidak mengenakkan yang saya alami saat naik Wira-wiri Suroboyo.
Saya coba ceritakan singkat. Saat itu, saya naik wira-wiri Surobyo kode FD 10 arah Terminal Keputih. Rencananya, saya mau ke salah satu Kampung Berseri Astra untuk keperluan tulisan lomba blog sekalian ngonten YouTube. Saat saya naik, kebetulan ada seorang lansia yang dibentak oleh helper alias kondektur wira-wiri karena ia merasa tersinggung.
Lansia itu merasa helper bercanda soal mati kepadanya sehingga menganggap itu adalah ucapan doa. Makanya, ia meminta helper untuk melayaninya dengan baik. Tak dinyana, ia malah dibentak balik oleh helper dan dikata-katai dengan perkataan tidak mengenakkan.
Tentu, saat itu saya yang duduk di bagian depan tidak begitu saja membiarkan. Namun, saya saat itu menjadi satu-satunya penumpang. Langsung mengingatkan helper juga tidak akan menyelesaikan masalah. Terlebih, saya juga sempat mendapat perlakuan tidak enak oleh helper tersebut beberapa waktu sebelumnya.
Sempat ada keinginan untuk mengunggah video kejadian tersebut di media sosial. Namun, saya berpikir ulang kalau saya mengunggahnya saat itu juga, maka dampaknya akan luar biasa besar. Apalagi, jumlah follower TikTok dan Youtube saya sudah cukup banyak. Kemungkinan untuk FYP atau viral amatlah tinggi.
Saya berpikir banyak kejadian yang viral malah berbuntut panjang dan tidak menyelesaikan masalah. Atas alasan itu, saya pun berinisiatif untuk mengirim pesan ke pihak Dishub Surabaya selaku pengelola Wira-wiri Suroboyo. Pesan panjang saya kirim lengkap dengan kronologis sebenarnya dan bukti rekaman video serta tiket.
Dalam pesan itu, saya bersikap tidak akan mengunggah video tersebut di media sosial jika pihak Dishub Surabaya memberi sanksi tegas kepada helper tersebut. Saya beri waktu 7 hari (1 minggu) sejak tanggal pengiriman pesan untuk memanggil helper tersebut. Batas waktu ini saya berikan dan saya rasa cukup karena bisa jadi helper yang bersangkutan sedang libur atau tidak bertugas.
Untungnya, sehari setelah saya mengirimkan pesan tersebut, pihak Dishub Surabaya langsung mengirimkan pesan mengenai pemanggilan helper tersebut. Walau masih ada alasan yang tidak bisa saya terima, tetapi saya rasa sudah cukup. Helper tersebut sudah diberi peringatan keras dan disanksi, serta pihak Dishub Surabaya memastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi.
Maka, saya pun tidak akan mengunggah video tersebut di medis sosial. Meski sebenarnya video perjalanan tersebut masih saya unggah juga di YouTube, tetapi suaranya saya hilangkan dan beberapa bagian saya potong. Saya juga tidak memberikan narasi sedikit pun soal kejadian yang saya laporkan dan hanya narasi panduan daftar halte yang dilewati oleh wira-wiri.
Dari kejadian ini, saya sadar perlunya bersikap asertif dalam mengungkapkan kebenaran. Sungguh, saat saya merekam video di dalam mobil dan mendengar lansia tersebut dibentak, saya sempat nge-freeze. Rasanya seperti tidak percaya ada orang yang bekerja di bidang pelayanan malah bertindak seperti itu.
Sempat ragu juga apakah helper tersebut saya laporkan atau tidak. Saya menimbang dampaknya juga pada saya yang sering membuat konten naik wira-wiri. Makanya, saya akhirnya membuat akun fake untuk melaporkan kejadian tersebut. Memang pihak wira-wiri masih bisa mengecek CCTV saat kejadian berlangsung dan pastinya ada sosok saya di dalamnya terekam.
Namun, paling tidak identitas saya secara gamblang tidak akan bisa terlacak dengan jelas kecuali ada orang yang membaca tulisan ini. Maksud saya, dampak secara cepat dan langsungnya tidak saya rasakan dengan cepat. Atas alasan itulah, maka saluran menyampaikan laporan via DM ini adalah pilihan tepat.
Saya juga berpikir, jika helper ini tidak saya laporkan saat ini juga, maka ia tidak akan jera bertindak sesuka hati. Terlebih, ia tidak hafal rute dan selalu ngeyel bahwa penumpang tidak bisa turun di suatu halte padahal ada halte di tempat tersebut. Momen membentak lansia yang saya rekam seakan menjadi momen yang pas karena ada bukti yang kuat. Saya harus bersikap tegas dengan segera melaporkannya.
Di dunia yang serba digital ini, memang kita cukup sulit mengungkap kebenaran. Salah langkah malah kita sendiri yang akan kena getahnya. Ada banyak sekali contoh orang yang harus terkena jerat pidana karena awalnya ingin mengungkap kebenaran. Jika tidak paham benar mengenai UU ITE dan sejenisnya, maka jatuhnya adalah pencemaran nama baik.
Beberapa waktu lalu, di jagad Twitter ada mbak-mbak yang mengeluhkan soal helper wira-wiri juga. Ia didekati oleh salah satu helper dengan cara yang sedikit memaksa. Ia pun menolaknya dengan halus. Nah, saat akan naik dan kebetulan mendapatkan helper tersebut, tiba-tiba saja helper tersebut menolak untuk mengangkut mbak-mbak tersebut. Padahal, mobil wira-wiri masih kosong dan muat untuk 1 orang penumpang naik.
Seharusnya, mbak-mbak tersebut melaporkan ke pihak Dishub Surabaya agar helper yang bersangkutan ditindak. Lantaran, tindakannya sudah tidak profesional karena mencampurkan kepentingan pribadi dengan pekerjaan.
Jadi, saat ada kebenaran yang ingin kita ungkap, maka kita harus mengerti saluran yang akan kita gunakan. Berkonsultasi dengan teman yang ahli hukum juga bisa dilakukan. Saya sendiri bertanya ke teman yang sempat menjadi pengacara. Ia juga jangan mengunggah di media sosial dulu. Kalau pun terpaksa mengunggah, pastikan dulu wajah dari helper lansia tersebut tidak terpampang jelas agar tidak berdampak negatif pada saya di kemudian hari.
Tags
Catatanku
Penting sekiranya memang untuk menegakkan kebenaran, tapi lewat jalur yang paling bijaksana. Kebenaran yang membabi buta pun, bisa jadi lebih banyak mudharatnya.
ReplyDeleteMakasih mas, tulisannya menginspirasi.