Di bawah panjimu, kami bersatu
Dalam Mitreka Satata
Terus Maju Jangan Ragu
Tunjukkan Baktimu
Lagu Mars Mitreka Satata yang saya nyanyikan tiap upacara bendera hari Senin saat masih SMA dulu rasanya masih terngiang hingga sekarang. Bukan hanya karena lagu tersebut easy listening dan tidak seperti kebanyakan mars sekolah, tetapi ada makna mendalam yang tetap saya pegang teguh hingga sekarang.
Tak lain, konsep “Mitreka Satata” yang menjadi motto sekolah saya dulu. Konsep ini sebenarnya berasal dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada zaman Majapahit dulu. Mitreka Satata berasal dari kata Mitra yang berarti rekan/teman, Eka yang berarti Satu, dan Satata yang berarti sederajat.
Konsep Mitreka Satata ini digunakan oleh Kerajaan Majapahit dalam membentengi kedaulatan negaranya. Negara tersebut memandang negara di sekitarnya sebagai sahabat yang sama dan sederajat sehingga tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Dengan konsep ini, Kerajaan Majapahit bisa menjalin hubungan baik dengan kerajaan lain tanpa merasa lebih rendah atau lebih tinggi.
Konsep ini kemudian diadopsi oleh sekolah saya dulu sebagai motto sekolah. Sekolah mengedepankan persamaan derajat diantara para siswa yang bersekolah di sana. Meski berasal dari berbagai latar belakang berbeda, baik ekonomi, prestasi, suku, dan agama, tetapi jika sudah menjadi siswa sekolah itu, maka semua dianggap sama dan sederajat.
Meski sudah tidak bersekolah lagi di sana, tetapi konsep Mitreka Satata tetap saya pegang teguh hingga kini. Sebagai pijakan untuk mengarungi hidup pada masa dewasa ini. Alasannya, konsep ini begitu mengena di hati saya dan bisa dengan mudah dipraktikkan.
Tentu, mengarungi masa dewasa kita akan dihadapkan dengan berbagai macam manusia dari berbagai tingkatan. Tak jarang, kita bertemu dengan orang yang bisa jadi secara kasat mata derajatnya jauh lebih tinggi dari kita. Jika sudah begini, rasa minder dan tak percaya diri akan menaungi diri kita.
Namun, saya kembali ke konsep Mitreka Satata tadi. Setinggi apa pun derajat seseorang secara kasat mata, tentu ia membutuhkan orang lain. Tidak ada satu pun orang yang tidak membutuhkan orang lain. Dengan jabatan yang tinggi, uang yang banyak, dan berbagai kesuksesan yang diperoleh, tidak akan mungkin ia dapat hidup sendiri. Ia juga membutuhkan bantuan orang-orang yang secara kasat mata dianggap derajatnya lebih rendah.
Makanya, saya tidak terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kesuksesan. Bagi saya, yang penting masih bisa hidup wajar, bisa membantu orang lain, dan tidak merugikan orang lain sudah cukup. Toh semua akan Mitreka Satata juga pada akhirnya, kembali ke liang lahat.
Konsep Mitreka Satata ini juga berlaku dalam hal mobilitas, dalam hal ini kepemilikan kendaraan. Sebagai lelaki, rata-rata kepemilikan kendaraan adalah sebuah kebanggaan yang bisa menjadikan seseorang merasa lebih tinggi daripada yang lain. Semakin bagus kendaraan yang dimiliki rasanya derajatnya akan semakin tinggi.
Akan tetapi, ketika saya memegang konsep Mitreka Satata, maka saya memiliki pandangan berbeda. Justru kepemilikan kendaraan bukanlah sebuah kesuksesan, melainkan bagaimana kita bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat dan efisien adalah kunci. Buat apa punya kendaraan mewah tapi tetap terkena macet di jalan dan akhirnya kehabisan bahan bakar?
Konsep Mitreka Satata pun sangat cocok dalam hal penggunaan kendaraan umum. Saat naik kendaraan umum, konsep ini sangat pas untuk digunakan. Kita tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah dengan orang lain karena semua penumpang mendapatkan fasilitas yang sama.
Nah, dalam kaitannya dengan nilai diri, tentu kita punya keunikan masing-masing. Saya sendiri punya keunikan mudah mendapatkan ide dan menuangkannya dalam tulisan dengan cepat. Keunikan ini bisa saya gunakan agar tetap sejajar dengan orang lain yang bisa jadi terlihat lebih mentereng. Saya kembali ke konsep Mitreka Satata tadi bahwa semua orang punya nilai uniik yang membuatnya sama dan sederajat.
Dalam Mitreka Satata
Terus Maju Jangan Ragu
Tunjukkan Baktimu
Lagu Mars Mitreka Satata yang saya nyanyikan tiap upacara bendera hari Senin saat masih SMA dulu rasanya masih terngiang hingga sekarang. Bukan hanya karena lagu tersebut easy listening dan tidak seperti kebanyakan mars sekolah, tetapi ada makna mendalam yang tetap saya pegang teguh hingga sekarang.
Tak lain, konsep “Mitreka Satata” yang menjadi motto sekolah saya dulu. Konsep ini sebenarnya berasal dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada zaman Majapahit dulu. Mitreka Satata berasal dari kata Mitra yang berarti rekan/teman, Eka yang berarti Satu, dan Satata yang berarti sederajat.
Konsep Mitreka Satata ini digunakan oleh Kerajaan Majapahit dalam membentengi kedaulatan negaranya. Negara tersebut memandang negara di sekitarnya sebagai sahabat yang sama dan sederajat sehingga tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Dengan konsep ini, Kerajaan Majapahit bisa menjalin hubungan baik dengan kerajaan lain tanpa merasa lebih rendah atau lebih tinggi.
Konsep ini kemudian diadopsi oleh sekolah saya dulu sebagai motto sekolah. Sekolah mengedepankan persamaan derajat diantara para siswa yang bersekolah di sana. Meski berasal dari berbagai latar belakang berbeda, baik ekonomi, prestasi, suku, dan agama, tetapi jika sudah menjadi siswa sekolah itu, maka semua dianggap sama dan sederajat.
Meski sudah tidak bersekolah lagi di sana, tetapi konsep Mitreka Satata tetap saya pegang teguh hingga kini. Sebagai pijakan untuk mengarungi hidup pada masa dewasa ini. Alasannya, konsep ini begitu mengena di hati saya dan bisa dengan mudah dipraktikkan.
Tentu, mengarungi masa dewasa kita akan dihadapkan dengan berbagai macam manusia dari berbagai tingkatan. Tak jarang, kita bertemu dengan orang yang bisa jadi secara kasat mata derajatnya jauh lebih tinggi dari kita. Jika sudah begini, rasa minder dan tak percaya diri akan menaungi diri kita.
Namun, saya kembali ke konsep Mitreka Satata tadi. Setinggi apa pun derajat seseorang secara kasat mata, tentu ia membutuhkan orang lain. Tidak ada satu pun orang yang tidak membutuhkan orang lain. Dengan jabatan yang tinggi, uang yang banyak, dan berbagai kesuksesan yang diperoleh, tidak akan mungkin ia dapat hidup sendiri. Ia juga membutuhkan bantuan orang-orang yang secara kasat mata dianggap derajatnya lebih rendah.
Makanya, saya tidak terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kesuksesan. Bagi saya, yang penting masih bisa hidup wajar, bisa membantu orang lain, dan tidak merugikan orang lain sudah cukup. Toh semua akan Mitreka Satata juga pada akhirnya, kembali ke liang lahat.
Konsep Mitreka Satata ini juga berlaku dalam hal mobilitas, dalam hal ini kepemilikan kendaraan. Sebagai lelaki, rata-rata kepemilikan kendaraan adalah sebuah kebanggaan yang bisa menjadikan seseorang merasa lebih tinggi daripada yang lain. Semakin bagus kendaraan yang dimiliki rasanya derajatnya akan semakin tinggi.
Akan tetapi, ketika saya memegang konsep Mitreka Satata, maka saya memiliki pandangan berbeda. Justru kepemilikan kendaraan bukanlah sebuah kesuksesan, melainkan bagaimana kita bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat dan efisien adalah kunci. Buat apa punya kendaraan mewah tapi tetap terkena macet di jalan dan akhirnya kehabisan bahan bakar?
Konsep Mitreka Satata pun sangat cocok dalam hal penggunaan kendaraan umum. Saat naik kendaraan umum, konsep ini sangat pas untuk digunakan. Kita tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah dengan orang lain karena semua penumpang mendapatkan fasilitas yang sama.
Nah, dalam kaitannya dengan nilai diri, tentu kita punya keunikan masing-masing. Saya sendiri punya keunikan mudah mendapatkan ide dan menuangkannya dalam tulisan dengan cepat. Keunikan ini bisa saya gunakan agar tetap sejajar dengan orang lain yang bisa jadi terlihat lebih mentereng. Saya kembali ke konsep Mitreka Satata tadi bahwa semua orang punya nilai uniik yang membuatnya sama dan sederajat.
Tags
Catatanku