Cerita di Batas Kota


Setelah melakukan mudik, pasti ada kesan tersendiri. Selain momen berkumpul bersama keluarga tentunya. Kalau saya, mudik kali ini memberi kesan tersendiri karena saya harus mengunjungi beberapa kota dalam rentang waktu yang cukup singkat. Akibat waktu saya banyak dihabiskan di jalan, maka ada satu hal yang menarik perhatia
n saya. Tidak lain dan tidak bukan adalah tapal batas suatu kota atau kabupaten.
Bagi banyak orang, keberadaan tapal batas kota ini bisa jadi tak terlalu dihiraukan. Mungkin di sebagian pemikiran orang, tapal batas hanya sekedar penanda saja. Penanda bahwa kita sudah memasuki wilayah sebuah kota atau kabupaten. Meski begitu, jika diamati lebih lanjut, keberadaan tapal batas suatu kota bisa menjadi identitas kota tersebut. Identitas untuk mengenalkan jati diri kota tersebut kepada orang yang melewatinya, terutama bagi orang dari luar kota.

Pada beberapa kota, diantara gapura yang terletak di kanan kiri jalan tersebut tertulis nama kota yang dimaksud. Kadang-kadang motto kota tersebut juga terpampang dengan jelas. Kalau sudah begini, saya selalu kepo mencari tahu apa kepanjangan dari motto tersebut. Bukan apa-apa sih, seringkali singkatan motto kota yang dimaksud kurang nyambung atau terkesan dipaksakan. Tapi, mungkin tujuan penggunaan motto tersebut untuk lebih mengenalkan segala hal baik tentang kota tersebut. Sah-sah saja sebenarnya menggunaakan motto-motto tersebut toh tujuannya juga untuk kebaikan kota tersebut.
Tidak semua kota memiliki tapal batas yang jelas berupa gapura. Pada perbatasan dua kota/kabupaten yang terletak di jalan alternatif (bukan jalan utama), tapal batas yang digunakan seperti pada tapal batas desa/RW. Berupa tumpukan batu yang ditulisi keterangan bahwa kita sudah memasuki kota tersebut. Tapi, ada juga tapal batas yang meskipun berada di jalan utama (jalan negara/jalan provinsi) tak juga terlalu tampak. Contohnya adalah batas antara Kota Magelang dan kabupaten Magelang. Kota Magelang, yang luasnya seupil, sekitar 18 km persegi, berbatasan dengan Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang di sebelah selatan. Saat saya menuju ke rumah saudara di Kota Magelang, saya kepo mencari mana batas yang menandakan kita sudah masuk teritorial Kota Magelang. Ternyata, tapal batasnya berupa seonggok batu yang sudah kusam bertuliskan “Kodia Magelang” (Kodia merupakan nama lama untuk Kota zaman Pak Harto), hanya di salah satu sisi jalan. Tepatnya, berdiri di seberang sebuah Mall yang cukup megah. Saya tak habis pikir, mengapa pemda di sana tak sanggup membangun tapal batas yang baru. Apa mungkin karena perkembangan daerah di sekitarnya membuat tapal batas yang baru tak terlalu penting. Meski bergitu, tanpa tapal batas pun, jika melihat deretan perumahan dan pertokoan yang sudah mulai rapat, maka bisa dipastikan kita telah masuk wilayah kota dan keluar dari wilayah kabupaten.

Tapal batas yang tak terlalu jelas menurut pengamatan saya yang lainnya adalah tapal batas Kabupaten Sidoarjo dengan Kota Surabaya. Tapal batas ini berada di lingkar Waru, dekat dengan Terminal Purabaya dan Stasiun Waru.  Berupa patung hiu-ikan suro di sisi utara dan gambar ikan-udang di sisi selatan (cmiiw). Mungkin karena saking padatnya jalan, maka banyak orang yang mengenali batas ini. Bahkan, beberapa teman sering salah paham bahwa Terminal Purabaya itu masuk wilayah Kota Surabaya.  Padahal sebenarnya, terminal ini masih berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo.

Tidak semua tapal batas kota/kabupaten di Indonesia bisa dilewati dengan gratis. Ada juga yang mewajibkan pengendara yang melintasinya membayar karcis. Contohnya adalah batas antara Kabupaten Malang dengan Kabupaten Blitar. Jika kita mengendarai mobil dan melewati perbatasan ini, maka kita harus membayar “visa on arrival” sebesar 2.000 rupiah. Tak terlalu banyak memang, tapi coba anda hitung berapa mobil yang lalu lalang. Wah bisa dibuat jalan-jalan keluar negeri tuh, hehe. Usut punya usut, menurut sopir mobil carteran yang membawa saya mudik ke Kediri kemarin, dua daerah ini berbagi wisata Waduk Lahor. FYI, waduk ini berada di sebelah utara Waduk Karangkates yang lebih tersohor. Waduk ini tepat berada diantara dua kabupaten tadi. Para pengunjung biasanya hanya memarkir kendaraannya di sisi jalan untuk melihat pemandangan. Mungkin karena itulah, pengendara mobil yang melewati border harus membayar “visa on arrival”.

Nah, kalau ada pertanyaan, tapal batas mana yang paling bagus? Penilaian bisa saja subyektif. Tapi, menurut pengamatan saya, tapal batas masuk Kota Wisata Batu sementara ini adalah juaranya. Bukan karena masih satu daerah sama saya, tapi memang kota ini terlihat paling niat. Bisa jadi, icon Batu sebagai kota yang pemasukan utamanya dari pariwisata membuat kota ini harus all out menata kotanya, termasuk tapal batasnya. Saat anda memasuki Kota Batu maka sebuah gapura yang cantik akan langsung menyambut anda. Lalu, deretan iklan tempat wisata akan langsung terpampang, beserta aneka restoran dan penginapan.

Mungkin masih banyak cerita tapal batas lainnya yang juga tak kalah bagusnya. Apapun itu, setiap daerah pasti memiliki kekhasan masing-masing. So, ayo jalan-jalan.

Post a Comment

Next Post Previous Post