Karenamu Aku...


Aku masih mencari literatur laporan praktikum yang akan kukumpulkan. Hari ini benar-benar berat. Tadi aku ketinggalan jas laboratorium. Tak hanya itu, dua tabung reaksi kupecahkan. Benar-benar menjengkelkan. Ditambah laporan untuk besok belum aku selesaikan sepenuhnya.



Pandanganku menyasar setiap jengkal rak buku. Satu demi satu buku kubuka. Tak ada penjelasan yang memuaskan. Saat aku meraba bagian pojok rak itu, sebuah tangan halus menyentuhku. Oh bukan, akulah menyentuh tangan itu.
“Eh, maaf. Aku tidak sengaja,” ujarku. Kulihat seorang wanita tersenyum ke arahku. Dia hanya mengangguk pelan lalu pergi. Kuamati dia seksama. Lama sekali.
“Hei bro. Ngapain kamu ? kok bengong? Sudah dapat?” Teman kelompokku menyadarkan laumannku.
Aku tersentak. Tersadar akan tanggung jawab yang harus segera kulakukan.
“Belum. Masih kucari. Tunggu sebentar ya,” kataku. Segera kucari lagi penjelasan mengenai laporan praktikum yang akan kutulis. Usahaku tak sia-sia. Akhirnya kudapat jwabannya.
Hari beranjak sore. Aku  akan beranjak pergi meninggalkan perpustakaan itu. Namun lagi-lagi kesialan menghapiriku. Hujan turun dengan derasnya. Tak ada pilihan lain, berteduh di teras perpustakaan menjadi pilihan terbaik. Satu per satu orang-orang meninggalkan perpustakaan. Hujan masih turun dengan derasnya. Ingin sekali menerobos hujan ini. Tapi niat itu segera kuurungkan. Aku tak mau literature yang kubawa menjadi basah kuyup. Di tengah rintik hujan, bayangan wanita tadi kembali menghampiriku. Baru kali ini aku merasa ada yang aneh saat melihat wanita. Aku tak tahu kenapa. Selama ini, aku merasa masih belum ada rasa pada wanita, bukan karena aku mengalami kelainan atau apa. Hanya masih belum ada sosok wanita yang mampu memasuki pikiranku. Tapi kali ini berbeda. Wanita tadi seakan mampu menusuk sanubariku.
Belum lama pikiran itu benrelayut, suara yang kukenal menyapaku.
“Sendirian, Mas?” kata suara itu. aku menoleh mencari arah datangnya suara. Tiba-tiba jantung ini berdegup kencang. Wanita yang kutemi tadi berada di belakangku. Kini ia duduk tepat disampingku. Aku tak bisa berkata-kata. Bibir ini rasanya mengunci. Tangan seakan gemetar. Aku terpenjara dalam rasa kaget yang tak kukira.
“Mas, kok diam saja?” tanya wanita itu kembali. Duh, aku terlihat salah tingkah.
“Eh,, tidak mbak. Aaaaku hanya memikirkan tugas kuliah tadi. Mmmmm, tttadi mau pulang, tapi hujan….” Lagi-lagi aku tampak aneh.
Dia hanya tersenyum seraya berkata, “Oh begitu. Jangan terlalu dipirkan, Mas. oh iya, kita belum sempat berkenalan, namaku Wulan, Mas siapa?”
Kulihat ia menyodorkan tangannya. Kujabat tangannya untuk kedua kalinya hari ini, “Mmmm, nama saya Rio”, jawabku pelan.
Rupanya Wulan merupakan orang yang cukup supel. Dia lebih dulu memulai percakapan disbanding aku. Sedangkan aku hanya menjawab seperlunya. Aku heran. Mengapa dia tak bosan berbicara denganku. Padahal aku sangat membosankan, seperti kata teman-temanku. Kulihat lagi senyum di bibirnya yang sangat indah. Kami baru menyadari bahwa kami sangat menggemari novel karya V. Lestari. Dia mengajakku untuk sering berdiskusi masalah novel. Dia menawarkan banyak novel untukku. Tak heran, dia sangat bangga menjadi mahasiswa sastra.
Percakapan kami terhenti ketika ada seorang laki-laki besepeda motor menghampiri kami. Wulan segera bergegas berdiri dan berpamitan, “Sudah dulu ya, aku sudah dijemput. Besok kalau ingin cerita novel lagi, hubungi aku ya,” . Hanya itu yang terucap. Aku mengangguk pelan.
Wulan segera menaiki motor itu. Lengannya melingkar di perut laki-laki tadi. Kulihat semua itu dengan perasaan yang bercampur. Kecewa, sedih, namun aku bahagia bisa mengenal wanita itu. sudahlah, mungkin dia hanya bisa menjadi teman untukku. Aku tak akan berharap banyak.
Hari-hari selanjutnya kami sering sekali bertemu. Kami sering bertemu untuk sekedar saling berbagi cerita atau berdiskusi masalah novel. Kini aku tak lagi malu-malu dan takut untuk berbicara dengannya. Dia sangat senang saat mendengar ceritaku. Padahal cerita lama yang usang. Aku tak mengerti, mengapa dia sangat berbeda. Di saat orang lain menganggapku aneh, dia malah menerimaku dengan tulus. Aku bisa merasakan itu. Dari tatapan matanya. Sama seperti pertemuan kami sebelumnya, pertemuan kami selalu diakhiri dengan kehadiran kekasihnya.
Mengenai kekasihnya dia tak bercerita terlalu banyak. Dia hanya bilang kekasihnya merupakan mahasiswa olahraga yang pandai berenang. Itu saja. Aku tak berani bertanya lebih jauh. Takut dia tersinggung. Tapi aku merasa ada sesuatu hal ia sembunyikan mengenai kekasihnya. Aku tak tahu apa. Ditambah sikap kekasihnya yang dingin terhadapku. Ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Yang penting aku masih bisa bertemu dengannya. Aku sudah senang.
Suatu hari, dia meminta kepadaku untuk tidak menemuiku dulu. Dia hanya bilang ada tugas yang tak bisa ia tinggalkan. Aku pun mengerti. Dia senang aku mau mengerti. Di hari-hari tanpa dirinya aku kembali merasa ada yang hilang. Lagi-lagi bayangan wajahnya menghampiriku di setiap waktu. Kucoba untuk menghilangkan perasaan itu tapi tak bisa. Semakin kucoba semakin sulit.
Suatu siang di hari yang amat terik itu, tak sengaja kulihat ia berlari ke arah gudang sambil menangis. Hatiku bertanya kenapa ia sampai menangis. Ingin kukejar tapi aku takut dia tak berkenan. Aku hanya melihat dari kejauhan dia menangis di pojokan gudang itu. tiba-tiba kulihat kekasihnya mengejarnya. Apa mereka sedang bertengkar?
Karena sangat penasaran, aku mendekati mereka. Benar, rupanya mereka sedang bertengkar. Aku hanya bisa diam. Ingin membantu menyelesaikan tapi takut malah menambah masalah. Tapi tiba-tiba tangan kekasihnya akan melayangkan tamparan padanya. tanpa pikir panjang, aku menghampiri mereka.
“Mas, kau mau apa? Dia salah apa sampai kau mau menamparnya?” kataku.
Kekasihnya menatapku dengan tatapan menantang, “Oh, ini rupanya. Kau menuduhku bermain di belakang tapi kau sendiri yang main di belakang. Dasar, murahan!”
Hatiku benar-benar terbakar emosi. Berani sekali dia berbicara seperti itu. tak tahukah bahwa dia sangat mencintai kekasihnya itu?
“Mas, jangan sembarangan. Kami hanya berteman. Mas harusnya bersyukur memiliki kekasih seperti dia,” kataku.
Dia malah semakin emosi, “Kau mau apa? Berani sama aku?”
Rupanya dia mengajakku berkelahi. Kulihat Wulan masih sesenggukan. Tubuhnya tiba-tiba bersandar di dekatku. Aku bisa merasakan ketakutan yang amat sangat. Aku sempat berpikiran untuk berkelahi dengannya. Aku tak kuasa melihat seorang wanita yang disakiti. Namun aku masih punya pertimbangan matang.
“Mas, aku tak mau berkelahi denganmu, buat apa. Aku hanya minta jangan sakiti dia!” ujarku.
Tak kusangka dia melayangkan tinjunya ke mukaku. “Terserah kau saja!” lalu dia bergegas pergi.
Aku meringis kesakitan. Kuambil kacamataku yang jatuh. Aku bersyukur dia segera bergegas pergi. Tak apa aku kena pukulan tadi yang penting jangan sampai dia yang merasakan.
Wulan berhenti menangis seraya berkata, “Kau tak apa-apa?”
Aku hanya tersenyum. Rasa perih di bibir seakan tak kurasakan lagi. Kali ini aku ingin jujur padanya.
“Sebenarnya aku sudah memendam rasa ini lama sekali. Mungkin ini saat yang tepat, apa kau mau jadi pendamping hidupku? Tak usah terburu-buru, yang penting aku sudah jujur, aku sudah senang,” kataku.
Hatiku berdegup kencang. Apakah aku salah sudah bertanya seperti itu?
Dia menatapku sambil menyeka darah yang keluar dari bibirku,”Aku juga sebenarnya ada rasa padamu. Aku tak bisa tidak didekatmu lebih lama”.
Kuanggap perkataannya dengan jawaban ya. Kupeluk dirinya dengan hangat. Kini kuberjanji tak akan lagi ada hal yang membuatmu sedih. Aku akan selalu menjagamu. Akan selalu ada keberanaian untuk membuatmu selalu aman dan bahagia.
Sekian.

Post a Comment

Next Post Previous Post