Sepatu Baru Untukku


Aku melangkah menuju pusat pertokoan senja itu. Aku mantap akan membeli sepatu baru hasil keringatku beberapa bulan ini. Tak tega rasanya melihat sepatuku semakin menganga. Kurekatkan dengan lem namun masih saja tak bisa menahan keadaan bahwa sepatuku telah tak berbentuk lagi. Aku harus beli yang baru.
Pusat pertokoan itu sangat ramai. Ada berbagai penjual dan pembeli lalu lalang. Aku menuju toko penjual sepatu. Oh hanya ada dua toko. Aku bingung akan memilih yang mana. Dalam hati aku akan mencoba dulu satu per satu. Mana yang sesuai dengan seleraku dan dompetku serta ukuran kakiku.
Semakin dekat tubuhku dengan toko sepatu yang pertama. Tapi seorang pria paruh baya menghampiriku. Dia bertanya sesuatu padaku.
“Nak, kau mau ke mana?” tanyanya.
Aku melihat di tangannya ada sebuah kotak. Aku yakin itu isinya sepatu. “Mau ke toko sepatu itu, Pak”, kataku sambil menunjuk toko sepatu pertama.
Dia menggelengkan kepalanya sambil berkata,”Jangan, Nak. Sebaiknya kau batalkan saja rencanamu itu”.
Aku mengernyitkan dahi lalu berkata,”Memang, mengapa, Pak? Kulihat dari sini banyak sepatu bagus yang dipajang di etelase, apakah ada yang salah?”
Bapak tadi tersenyum kecut,”Tahukah kau bahwa pemilik toko sepatu itu menyetok barangnya dari pabrik di depan menara sana. Pabrik itu menggunakan kulit manusia untuk membuat sepatunya. Banyak orang yang diculik lalu dibunuh dan kulitnya dipakai untuk membuat sepatu”.
Aku begidik. Seakan tak percaya aku bertanya balik,”Ah, masa sih Pak? Masa ada orang setega itu. seperti zaman NAZI saja.”
Bapak tadi lalu berkata,”Benar. Lagian pemilik toko itu juga ikut andil dalam menculik orang-orang yang dianggap sainggannya. Lalu dia juga ikut menyetok kulitnya untuk pabrik sepatu.”
Aku masih tak percaya. Sambil mengucapkan terimakasih aku berkata akan masuk dulu untuk mencari tahu kebenarannya.
Toko sepatu itu cukup besar. Ada gambar burung Elang bersepatu yang terpampang di depan etalase. Pelayannya cukup ramah. Aku diberi banyak pilihan sepatu yang mungkin sesuai seleraku. Mengingat perkataan orang tadi, aku bertanya pada pelayan toko. Dia seorang pria muda.
“Mas, apa benar sepatu di sini dibuat dari kulit manusia yang diculik ya?” tanyaku.
Penjaga toko tadi lalu tertawa,”Mas-mas, sampeyan kok mau percaya orang tadi. Aku lihat tadi sampeyan bertemu Bapak yang baru membeli sepatu di toko sebelah tadi.  Mana ada mas, sepatu dari kulit manusia. Adanya ya dari kulit sapi atau kerbau. Kalau sampeyan ndak percaya coba lihat koleksi sepatu kami satu per satu. Ini semua dari kulit sapi asli mas”.
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengamati sepatu-sepatu di rak. Banyak sekali pilihan yang bisa kubeli. Tapi rasanya aku masih harus ke toko sebelah dulu. Siapa tahu ada pilihan lain yang bisa kuambil dengan harga miring. Aku pamit sebentar ke pelayan tadi. Lalu kulangkahkan kakiku ke toko kedua.
Lagi-lagi, aku berpapasan dengan sesorang yang mengajakku bicara. Dia sama-sama baru dari toko pertama tadi dan hendak pulang. Seorang lelaki muda dengan sepasang sepatu di tangannya. Dia bertanya, “Mau ke mana mas, belum dapat sepatu kok sudah mau pulang?”
Aku menggeleng,”Tidak mas. Aku belum mau pulang mas. Mau lihat-lihat sepatu lain di toko sebelah.”
Orang tadi langsung bermuka masam seraya berkata,”Wah, sebaiknya sampeyan beli di sini saja, Mas”.
“Lho kenapa Mas?” tanyaku penasaran. Tadi ada orang yang menjelekkan toko ini. lalu Sekarang malah ada yang menjelekkan toko sebelah.
“Mas tau gak, barang di toko itu impor dari negeri tirai bambu, bukan asli buatan sini. Lagian, kualitasnya jelek sekali, KW-9. Dibuat sepatu boneka saja paling-paling cepat rusak. Apalagi kalau digunakan orang setiap hari, bisa-bisa gak kuat deh. Sehari bisa jebol dan bocor,” kata orang itu berapi-api. Lalu dia pergi meninggalkanku.
Aku ternganga melihat semangatnya tak kalah dengan orang pertama yang mengatakan bahwa di toko yang baru kumasuki sepatunya dibuat dari kulit orang yang sudah diculik lalu dibunuh. Ada apa ini? Apa aku masuk ke tempat yang salah? Atau hanya memang orang-orang tadi masih berhubungan dengan pemilik toko sehingga saling menjatuhkan? Ah sudahlah, aku tak ambil pusing. Aku harus mengecek sendiri ke toko kedua. Mungkin itu hanya bualan orang tadi.
Di toko kedua, kulihat foto seorang anak berbaju kotak-kotak memakai sepatu dengan senyum ceria berada di dekat etalase. Seorang pramuniaga kembali menghampiriku.
“Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya ramah.
Aku membalasnya dengan senyuman, “Saya mau beli sepatu untuk kerja , Mbak. Apa ada yang ukuran 40 . Tapi saya mau yang biasa saja.”
Si mbak lalu mengantarku ke bagian sepatu pria. Dia menjelaskan model-model baru. Ada yang cocok digunakan untuk kerja tapi bisa juga untuk jalan-jalan ke Mall. Aku lihat-lihat koleksinya, sama banyak dan bagusnya. Ah aku jadi bingung ingin memilih yang mana.
Sambil menimang-nimang sepatu yang akan kupilih, aku bertanya pada pramuniaga itu perihal omongan orang yang kutemui tadi. Si Mbak pun terkejut. Dia menjelaskan bahwa sepatu di toko ini juga asli buatan lokal dengan kualitas baik. Bukan sepatu kualitas boneka. Kulihat memang tampak seperti sepatu pada umumnya, tak seperti sepatu boneka. Sepertinya juga baik kualitasnya.
Aku masih bimbang akan membeli yang mana. Lalu, ada ide yang muncul. Aku akan membeli sepatu keesokan harinya saja. Siapa tahu ada waktu sehari untuk berpikir lagi. Aku tak mau membuang uangku sia-sia mengingat cukup lama aku menabung untuk membeli sepatu.
Lalu aku kembali berpamitan ke pramuniaga dan berjanji akan datang keesokan harinya. Kulangkahkan kaki menuju pintu keluar pusat pertokoan. Saat di sana, aku melihat banyak kerumunan orang. Ada perkelahian rupanya. Ada apa ini?
“Dasar penjual sepatu boneka! Buang saja sepatu barumu ke tempat sampah!” kata orang yang kutemui di toko pertama tadi.
“Apa kau tak bisa lihat? Sepatu yang kau beli itu dari kulit manusia! Dari hasil menculik orang!” kata pria paruh baya yang pertama kutemui tadi.
Suasana makin panas. Tiba-tiba aku muak melihat mereka. Aku bergegas pergi. Sebelum sampai meninggalkan tempat itu, ada seorang pedagang menawarkan lem super  untuk sepatu. Katanya lem ini bisa membuat sepatu yang sudah parah bisa kembali seperti semula. Dia memeragakan dagangannya. Ternyata memang benar. Ah kenapa aku tak coba? Aku akhirnya membeli satu buah. Kulihat sisa uangku masih sangat banyak. Mungkin saja lain waktu aku membeli sepatu baru. Entah berapa lama lagi, mungkin juga lima tahun lagi. Setelah mendapat barang yang kuinginkan aku pun pulang. Sambil melihat kerumunan pembeli di penjual lem sepatu semakin banyak dan banyak. Lebih banyak dari dua toko sepatu yang kudatangi tadi.

Post a Comment

Next Post Previous Post