Inferior Si Besar terhadap Si Kecil

Masih sambungan cerita jalan-jalan saya ke Jogja beberapa bulan lalu.



Hari pertama, saya langsung menuju hostel tempat saya menginap. Baru pertama kali ini saya menginap di sebuah tempat yang bernama hostel. Hotel dengan huruf s di tengahnya. Dengan kata lain, saya tidur dengan orang lain yang belum pernah saya kenal. Memang saya sempat berpikir negatif, jangan-jangan nanti yang tinggal sekamar dengan saya adalah orang dengan perilaku XXX atau YYY (entah perilaku apa), yang jelas bisa bikin parno. Tapi ah sudahlah, selama gak macam-macam saya yakin saja. Toh, tiap penginapan punya keamanan dan peraturan yang ketat kan?
 Sore itu, saya tiba di hostel. Sedikit terlambat akibat kereta yang cukup lama berhenti di beberapa stasiun. Di lobi hostel, tampak seseorang bermuka India dengan muka jutek. Saya mulai berpikir penghuni hostel ini pasti bule-bule yang bersikap semau gue. Ya sudah, yang penting kan saya niat jalan-jalan, di hostel cuma numpang bobo’ aja.

Singkat cerita, setelah saya membereskan segala administrasi di resepsionis, masuklah saya ke kamar yang sudah disiapkan. Satu kamar berisi 4 orang. Saya memilih kamar laki-laki semua. Bukan apa-apa, menghindari fitnah meski ada fasilitas mixed room. Baru saja saya memasukkan beberapa barang ke loker, eh pintu terbuka. Dan orang asing di lobi tadi masuk. Deg, dia sekamar sama saya.
“Hello, are you sleep here?” tanyanya.
“Mmmm yes” jawab saya singkat saja. Dengan masih menata hati dan pikiran (duh bahasanya), saya masih tak mau menjawab lebih banyak. Pikiran saya hanya satu : segera mandi, hehe.
“Oh, so do I. You like an Indonesian. Is it right?” Dia melanjutkan percakapan.
“Sure, what about you?” saya tanya balik.
“Oh I’m a Singaporean” jawaban yang tak saya duga. Singapur gitu. Biasanya kan?
“Oh, Singapore. I know many Indonesian come to Singapore, but you.....” saya belum sempat meneruskan.
“Haha saya cuma ingin holiday sini ya. Di sini bagus” dia jawab dengan logat Melayu kental.
Lalu kami mulai akrab. Bercerita tentang masing-masing. Ternyata dia seorang yang sedang menjalani wajib militer. FYI,pria usia 18 tahun sudah harus masuk wajib militer (wamil) selama beberapa tahun. Saat itu, mereka digaji dengan jumlah kecil, “Cuma” sekitar 6 juta  per bulan. Haha, kecil ya.

Lalu, saya bercerita mengenai kehidupan saya sebagai seorang guru dengan gaji “lumayan”, 800 ribu per bulan. Lumayan kan ya alhamdulillah, disyukuri saja. Kami lalu mengobrol ngalor-ngidul sampai saya lupa belum mandi. Dia ingin menghabiskan waktu di Jogja sebelum liburan akhir tahunnya berakhir.

Baru pada hari terakhir saya di Jogja saya berjalan bersamanya. Dimulai dari makan malam di Malioboro bersama teman lain dari Malaysia. Saat berbelanja, ternyata dia cukup perhitungan sekali. Gimana tidak, apa-apa lagsung dikurskan dengan Dollar Singapura. Dia terus menawar serendah-rendahnya barang yang ia beli. Kirain kan banyak uang, hehe.

Tapi, menurut saya yang paling unik adalah saat kami membeli makanan. Di situlah “harga diri” saya sebagai bangsa Indonesia kok ya terlihat cukup gimana gitu. Saat mengkonversi harga makanan dalam mata uangnya, dia akan terus bilang “just” atau “Oh, its only bla bla bla cent”. Padahal, menurut saya, harga makanan di beberapa tempat cukup mahal. Maklum, tempat wisata.

Salah satu makanan yang menurut dia sangat murah adalah steak. Just 2 Dollar 50 cent alias 25.000. Dua puluh lima ribu gitu, buat makan satu kali. Kalau saya ya pikir-pikir lagi. Mending buat beli nasi padang atau nasi pecel udah kenyang beserta minum dan kerupuk. Tapi, demi hubungan diplomatik kedua negara, saya rela jauh-jauh makan steak di Jogja. Katanya sih di sana steak bisa seharga 10 Dollar atau di kisaran 100.000 rupiah. Duh kalau segiu bisa buat traktir bakso anak sekelas.

Rasa inferior saya semakin menjadi-jadi tatkala dia bercerita negara mana saja yang sudah ia kunjungi. Rata-rata, negara tersebut adalah negara di Asia seperti Thailand, Vietnam, dan India. Nah dia punya rencana ke negara lain di kawasan eropa. Glek, kalau ini saya cuma bisa nelen ludah. Dan lagi, saat ke luar negeri, rata-rata dia tak perlu mengurus visa karena kalau tak salah, warga negara Singapura bebas visa ke lebih dari 150 negara. Sedangkan kita, sebagai  warga negara Indonesia hanya bebas visa di sekitar 50 negara. Itupun sebagian besar di kawasan ASEAN dan Afrika. Ya sudah, tak apa, di negera sendiri juga banyak yang belum saya kunjungi kan?

Oke bolehlah masalah tadi saya inferior. Tapi, ada beberapa hal yang membuat saya bangga dengan Indonesia saat kami saling bercerita.

Pertama, Indonesia itu luaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssss sekali. Saya sering bercerita kalau saya tinggal di Provinsi Jawa Timur. Kalau dibandingkan dengan Singapura, Jawa Timur itu lebih luassssssssssssssss sekali. Saya bercerita asyiknya ke Gunung Bromo dari 4 Kabupaten berbeda. Bercerita betapa luas dan indahnya pantai-pantai di Malang. Menjejaki hamparan mulainya rintisan kehidupan pasca erupsi Gunung Kelud dan tentunya bermain sepuasnya di Kota Wisata Batu. Saya juga bercerita tempat wisata di luar Jawa yang juga mulai ngehits. Jangan lupakan bermain bersama Komodo di Pulau Komodo yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Menyelam indah di Wakatobi. Duduk manja di Gili Trawangan. Menimati alam Raja Ampat dan tentunya tempat lain di Indonesia. Saat dia bertanya di manakah itu, saya langsung membuka peta. Ini negaramu (sambil menunjuk sebuah titik kecil di selat Malaka). Lalu saya menunjuk tempat-tempat indah tadi yang tersebar luas di seantero Indonesia Raya.

Kedua. Dia cukup takjub dengan ketidakteraturan di Indonesia. Menurutnya, seorang pengendara motor yang bisa membonceng hingga 4 penumpang. Menurutnya hal itu unik. Di negaranya, tak mungkin pemandangan itu ada.

Ketiga, dia cukup excited saat melihat bangunan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Saat saya mengajak ke museum, dia cukup takjub dengan semangat orang-orang Indonesia yang gigih berjuang hingga titik darah penghabisan. Apalagi, saat saya bercerita mengenai Jendral Soedirman dan Ir. Soekarno dia cukup takjub.



Keempat, dia juga heran dengan masyarakat Indonesia yang cukup beragam tapi bisa bersatu dan “baik-baik saja”. Yah meski saya juga berkata ada juga konflik di sana-sini, tapi dibanding di Singapura, kekompakan antar suku bangsa di Indonesia cukup apik. Contoh sederhana, saat saya bertemu warga Tionghoa dari Jakarta yang juga sedang menginap, kami cukup akrab bercerita sana-sini. Padahal, kami baru saling bertemu.

Dan yang terakhir. Dia berkata bahwa wanita Indonesia itu cantik-cantik. Ahay, kalau ini jangan ditanya lagi. Mau cari model apa? Dian Sastro? Raisya? Isyana Sawarwati? Atau model-model Prily latuconsina, Jesicca Milla, ada. Hehe. Tapi menurutnya, wanita Jawa yang berhijab adalah yang paling oke.

Bangga jadi Orang Indonesia


Yah mungkin kalau saya bicara jujur, inilah orang Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya beri perumpamaan, orang Indonesia itu kayak kecoa, biasa hidup sengsara tapi bisa bertahan lama, meski ya kadang sering berusaha berbagai cara. Dari pertemuan singkat saya dengannya, saya bisa lebih berbangga hati dengan negara saya, meski kadang secara spontan saya bernyanyi Majulah Singapura sambil membayangkan entah kapan negara Indonesia Raya bisa seperti itu. Ah paling tidak, tak ada lagi rakyat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Itu saja.



Post a Comment

Next Post Previous Post