Abu-abu di Daerah Coret

Apa Beda antara Kota dan Kabupaten?



Jawaban yang ada pasti beragam. Sebagian besar mungkin akan menjawab seperti ini : Kalau kota masyarakatnya lebih maju dibandingkan Kabupaten. Atau mungkin di Kota segala fasilitas lebih lengkap, mulai dari pendidikan, kesehatan, pelayanan umum, dan lain-lain. Tak heran warga kabupaten akan banyak yang bekerja atau menuntut ilmu di wilayah kota.


Perbedaan lain yang mungkin menonjol adalah wilayah Kabupaten yang sangat luas dengan berbagai sumber daya alam melimpah di dalamnya. Keadaan geografis ini membuat masyarakat di kabupaten bekerja sesuai dengan sumber daya alam yang ada di tempat tersebut. Tak seperti masyarakat kota yang terdapat beragam bentuk pekerjaan. Jadi, kehidupan masyarakat Kabupaten sangat bergantung pada alam.

Intinya, jika membicarakan dua wilayah pemerintahan di atas, di pikiran kita adalah wilayah kota lebih maju dibandingkan kabupaten. Dan kabupaten sendiri akan lebih berkonotasi lebih tertinggal, ndeso, dan lain sebagainya. Tapi, pada tulisan kali ini, saya ingin mengangkat sisi sebuah daerah perbatasan diantara dua wilayah tersebut. Kira-kira, apakah kondisi-kondisi di atas memang benar adanya?

Pemikiran ini saya dapatkan ketika saya melakukan perjalanan rutin ke sebuah kampus ternama di kota saya, Malang. Kebetulan kampus ini adalah kampus tempat adik saya menuntut ilmu dan tepat berada di batas kedua wilayah tersebut. Sebagian wilayah kota dan sebagian lain berada di wilayah Kabupaten. Nah jika saya akan memasuki kampus tersebut, saya sering melewati sebuah daerah yang cukup ramai penduduknya. Tak hanya ramai, daerah tersebut merupakan denyut nadi kehidupan mahasiswa di kampus tersebut. Kos-kosan, fotokopi, warung makan, dan lain-lain ada.

Yang asyik, daerah tersebut adalah wilayah Kabupaten. Sejak kampus tersebut berdiri, daerah tersebut memang menjadi pusat keramaian. Kawasan seperti saya temukan ketika saya berjalan-jalan di sekitar kampus UGM, Jogja. Daerah tersebut merupakan wilayah Kabupaten. Meski wilayah Kabupaten, jangan ditanya keramaiannya. Bisa mengalahkan daerah kota. Tak hanya tempat kos-kosan, fotokopian, dll, di daerah tersebut berdiri restoran kelas atas, apartemen, dan sejumlah bangunan lain yang mungkin hanya bisa ditemukan di kota.

Kawasan Jl Kailurang, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman yang merupakan daerah aglomerasi dengan Kota Yogyakarta


Nah kalau tadi kita mengenal daerah kabupaten tapi berwajah “kota”, bagaiman kalau sebaliknya?

Ternyata, ada juga. Dan banyak. Masih dalam perjalanan saya ke kampus adik saya, di sebuah tempat saya menemukan plang larangan membuang sampah sembarangan. Plang tersebut dipasang di sebuah lahan kosong. Di dekatnya terhampar sawah dengan Pak Tani yang membajak sawah tersebut dengan kerbau. Yang unik, plang tersebut oleh dibuat oleh Dinas Kebersihan Pemerintah Kota. Jadi?

Ya, itulah daerah di wilayah kota tapi ndeso. Berbatasan langsung dengan daerah Kabupaten yang mengkota. Tak ada tapal batas antara kedua daerah tersebut.Warga di daerah kota yang ndeso sering menuju daerah kabupaten yang mengkota untuk sekedar membeli keperluan hidup karena di sana berdiri sebuah pasar yang cukup ramai. Sebaliknya, warga di daerah kabupaten yang mengkota memanfaatkan jalan di daerah kota tadi untuk menuju pusat kota.

Sebuah daerah di pinggiran Kota Malang


Saya juga menemukan daerah kota yang ndeso ketika saya akan menuju sebuah candi bernama Candi Kidal. Jika melewati jalan raya, saya harus memutar jauh menuju sebuah kota kecamatan. Nah ternyata ada sebuah jalan tikus. Saat saya melewati jalan tersebut, saya hanya melihat deretan kebun jagung beerghanti dengan hutan pinus. Bangunan yang ada hanya sesekali saja. Itupun lebih banyak tempat istirahat bagi para petani. Di kanan-kiri jalan tampak segerombol tentara yang sedang berlatih menembak. Waduh ini mungkin hutan terlarang. Saya menduga, ini adalah desa terdekat menuju candi tadi. Tapi, di sebuah persimpangan jalan, saya menemukan foto walikota sedang tersenyum. Lha kok?

Ternyata posisi saya masih di wilayah kota. Baru beberapa menit kemudian, syaa memasuki wilayah Kabupaten dengan perumahan penduduk yang mulai padat. Lagi-lagi, saya menemukan wilayah kota tapi ndeso.

Kedua gambaran saya di atas membuat saya sering sering teringat dengan teman-teman yang berdomilisi di wilayah Kabupaten tapi masih mengkota. Mereka jarang mau disebut sebagai warga kabupaten karena identitas ke-kabuapatennya (halah ribetnya). Kalimat yang sering mereka lontarkan adalah “kan hanya sepelemparan batu dari kota”. Berarti masih kota kan?


Kalau sudah begini, saya hanya bisa tersenyum. Menurut saya, di manapun kita tinggal tak masalah yang penting tetap nyaman dan rukun. Meski begitu, dua fenomena tadi menurut saya cukup unik. Bagaimana dengan di daerah anda? 

2 Comments

Next Post Previous Post