Akreditasi; Memotret Wajah (Pendidikan) Kita

Berhasil-berhasil Hore!

Gambar diambil dari http://blog.harukaedu.com

Saya berteriak bak Dora The Explorer tatkala keluar dari “ruang ujian”. Akhirnya, proses akreditasi di sekolah saya sukses, diakhiri dengan visitasi para asesor akreditasi. Perjuangan panjang selama sebulan ini akhirnya terbayar sudah.


Akreditasi. Sebuah kata yang cukup horor jika didengar oleh para pelaku pendidikan, pelaku dunia kesehatan, dll. Bagi pelaku pendidikan, akreditasi menjadi salah satu tanda keberhasilan institusi pendidikan yang menaunginya. Sejauh mana sebuah lembaga pendidikan memenuhi tugas pokok dan fungsinya.

Kebetulan, saya bernaung di bawah sebuah lembaga sekolah dasar. Pada akreditasi kali ini, sekolah kami harus memenuhi instrumen akreditasi sesuai standar BSN S/M. Terbagi dalam 8 standar dan 157 instrumen. Seluruh instrumen tersebut berisi pertanyaan dan jawaban huruf A hingga E. Jika maka penillaian untuk standar tersebut sangat baik, jika B baik, dst hingga E. Pemilihan jawaban A hingga E harus sesuai dengan kondisi sebenarnya. Tentunya harus dibuktikan dengan bukti fisik.

Bukti fisik ini sih sebenarnya kalau saya baca dan renungkan lebih dalam adalah bukti fisik hasil pekerjaan kita sehari-hari. Jadi, saat akreditasi kita hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti tersebut dan melabelinya sesuai instrumen yang dibutuhkan. Cuma, karena banyaknya pekerjaan di luar tupoksi kita, maka pekerjaan tersebut sering diabaikan.

Contohnya, bagi seorang guru, kalau ditanya tupoksinya antara lain merencanakan pembelajaran, melakukan pembelajaran, mengadakan evaluasi pembelajaran, menganilisis hasil evaluasi pembelajaran, dan memberikan penilaian hasil pembelajaran, disamping tupoksi lainnya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tentunya disertai bukti fisik, seperti RPP, silabus, prota, promes, hasil analisis, dkk. Nah, jika seorang guru melakukan hal tersebut secara sistematis dan terencana, maka ketika akreditasi, segalanya sudah siap. Mungkin, pihak sekolah hanya menyiapkan hal-hal di luar dokumen tersebut yang masih kurang.

Namun, kenyataannya, akibat faktor X, entah itu rasa malas dari guru atau ada tugas tambahan lain, yang (bagi saya) tidak seharusnya dikerjakan para guru, tupoksi utama tadi menjadi terbengkalai. Entah harus mengurus pelaporan BOS, mengurus PUPNS, menghadiri acara ini-itu, dan sebagainya. Maka, ketika lonceng akreditasi sudah mendekat, rasanya bagai menunggu Malaikat Izrail datang.

Tugas yang seharusnya sudah selesai dan hanya tinggal menata ulang menjadi tugas segunung yang entah bisa atau tidak diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ibarat kata, kami harus membangun dua ribu candi yang dikerjakan dalam satu malam. Kalau membangun candi sih, masih ada perewangan yang membantu. Lha ini?

Yang bikin gengges sih, saya harus ngarang hal-hal, yang sebenarnya sudah kami lakukan, tapi tak tercatat dengan baik. Contoh sederhananya adalah mengenai undangan, notulen, dan daftar hadir rapat. Entah itu rapat guru, komite, wali murid, atau pengawas. Akibat ya tadi itu, bukti fisik yang kalau dikumpulkan secara berkala tak akan mungkin kami kelabakan. Akhirnya, saya harus mengarang indah kapan rapat dilaksanakan, siapa saja yang hadir, dan yang paling sulit adalah mengarang mengenai isi rapat beserta diskusi di dalamnya. Dua hal terakhir sangat penting karena pada instrumen akreditasi harus dimunculkan isi rapat dan diskusi sesuai dengan amslaah yang dibahas.

Saat lemburan menyiapkan bukti fisik


Konsentrasi saya terpecah karena membantu teman saya yang membuat kurikulum. Berhubung setiap tahun kurikulumnya ganti , jadi ya harus diperbaharui. Belum lagi, karena saya juga bertugas membantu teman menyusun pelaporan BOS, maka saya juga membatu bagian pembiayaan, yang ternyata setelah dicek ulang, antara RKAS (rencana anggaran), dan pelaporan BOS banyak yang gak nyambung, haha. Yah mau bagaimana lagi, pas menyusun pelaporan kan dikejar deadline, jadi ya jujur deh, gak bakal bisa mencocokan dengan tepat.

Tapi anehnya, meski harus melembur dari pagi siang sore malam, bak lagu band Armada, saya kok asyik ya saat hari H. Padahal teman guru lain pada nervous. Saya juga heran, dibandingkan menyusun skripsi, yang bagi saya jauh lebih sistematis dan saya cukup paham materinya dibanding akreditasi, saya kok tidak terlalu gimana gitu. Mungkin di kepala saya hanya cepat selesai, karena saya selalu kepikiran dengan anak-anak yang sering saya tinggal untuk menyusun tugas-tugas akreditasi. Dan juga, saya kok berpikir kalau akreditasi ini bisa saya jadikan bahan refleksi kinerja kami. Tak hanya itu, saya juga ingin melampiaskan segala unek-unek yang saya alami kepada para asesor. Agar mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di sekolah kami. Agar mereka tahu kehebatan dan kebobrokan di sekolah.

Wajah tegang


Saat hari H, saya benar-benar happy. Saya melihat para asesor yang sangat ramah dan mencoba memberi penegrtian pada kami untuk tidak nervous, karena akreditasi adalah tolak ukur sebuah sekolah yang akan dijadikan bahan untuk perbaikan selanjutnya. Saat saya kebagian menghadapi asesor, ndilalah saya kok jadi larut dalam perbincangan asyik. Saya akui, kedua asesor yang menilai sekolah kami sangat mumpuni di bidang pendidikan dasar. Saya menjawab instrumen-instrumen yang ada meski kadang ada beda pendapat. Tapi, saya mendapat feedback yang bagus, terutama mengenai masalah pendidik dan tenaga kependidikan sesuai yang saya kerjakan.

Menghadapi asesor

Beberapa poin yang bisa saya ambil adalah :
1. Masih belum ketatnya aturan kedisiplinan guru, terutama guru PNS yang malas, hehe. Para asesor memberikan wejangan berupa sistem absen yang cukup bisa membuat para guru lebih disiplin, yakni berupa jam kedatangan dan kepulangan, yang diiisi oleh guru piket dan diketahui oleh KS. Asesor juga memiliki ide untuk mebuat kartu kedatangan berupa aneka warna sesuai jam kedatangan. Misal, untuk yang datang awal hijjau, lalu kuning, dan merah. Nantinya, jam kedatangan ini akan mejadi dasar KS atau pengawas memberikan penilaian, di samping kinerja lainnya.

2. Bukan bermaksud menyombongkan diri, para asesor memberi penilaian bahwa GTT lebih disiplin dibanding PNS. Bahkan salah satu asesor berkata, jika ada keajaiban, ybs ingin menukar status GTT yang rajin dengan PNS yang malas. Saya no commen dengan masalah ini hanya bisa berharap para PNS yang malas bisa berubah karena gelontoran dana sertifikasi yang mereka terima harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan kan?

3. Selama kurun waktu terakhir, kegiatan supervisi guru seperti hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja. Harusnya, setelah KS melakukan supervisi, para guru harusnya mendapat nilai dan umpan balik supervisi agar ada peningkatan ke depan. Saya lalu memberi sebuah ide bagaimana kalau supervisi bisa dilakukan dalam waktu yang cukup dekat, entah tiap bulan atau tiap minggu. Nantinya, setelah supervisi, guru juga membuat rencana untuk memperbaiki cara mengajarnya yang ternagkum dalam RPP. Tapi kelihatannya ide saya ini hanya sekedar ide mengingat banyaknya acara yang harus dilakukan guru, hehe.

4. Poin terakhir yang juga membuat saya terharu adalah ketika para asesor menyemangati kami untuk tetap ikhlas menjalankan tugas sebagai guru, terutama bagi kami yang “hanya” sebagai GTT. Memang dibanding profesi lain, guru tak memberi jaminan penghasilan lebih, tak memiliki seragam gagah, tak juga memiliki prestise yang wah. Tapi profesi guru adalah pondasi dasar sebuah masyarakat. Jadi, sebanyak apapun tugas kami, hendaknya dikerjakan sebaik-baiknya. Jika anak didik kita berhasil, maka tak ada nilai uang yang bisa dibandingkan. Kata-kata asesor ini yang mebuat saya mewek, hehe.

Sebulan berkreditasi membuat saya semakin sadar pendidikan kita masih jauh dari kata maju. Saya hanya bisa berharap agar kebijakan pendidikan tak lagi berubah-ubah, dan para guru bisa lebih fokus untuk mengajar, bukan mengejar setoran.


Salam.   

Post a Comment

Next Post Previous Post