Hilang Senyap Karena Sudah Ter-IG

Setelah akreditasi, saya kalap untuk jalan-jalan.



Ditambah lagi, saya berada di lingkaran orang-orang yang juga lagi suntuk dan ingin jalan-jalan. Satu hari setelah akreditasi, saya langsung cabut ke dua tempat yang bisa dijadikan alternatif jalan-jalan, yakni Coban Rondho dan Paralayang. Awalnya sih, saya cuma kepingin ke Paralayang, secara, meski saya tinggal di sana, belum pernah ada tebengan yang mau mengajak saya. Akhirnya, saya beserta 3 cewek cantik memutuskan untuk menghilangkan penat. Oh ya, masalah 3 cewek cantik ini akan saya bahas kemudian, yang jelas bukan istri-istri saya, haha.


Tujuan kami yang pertama adalah Coban Rondho. Sebenarnya, kami ke sini bukan mau ke air terjunnya. Tak lain dan tak bukan adalah ingin tahu dan foto-foto di labirinnya. Kalau dipikir, mengingat usia kami yang sudah hampir kepala 3, kok rasanya gimana gitu. Tapi berhubung kata teman yang sama-sama (belum) menikah, jadi ya daripada nanti bisulan ketika sudah menikah gegara tak bisa melapiaskan hasrta yang terpendam, akhirnya niat narsis harus dilaksanakan.

Kami tiba agak siang gegara semua pada KO setelah menghadapi asesor akreditasi. Di pintu masuk, kami harus membayar tiket masuk sebesar 18.000 per orang. Saya jadi agak “antara ya dan tidak” untuk masuk. Bukan apa-apa, seingat saya dulu, tiketnya hanya 5 ribu. Tapi saya mengingat lagi, itu kan zaman SMA, saat saya diklat PMR. Lha sekarang, usia saya berapa? Haha.

Memasuki area wisata, tujuan kami adalah labirin tempat narsis. Ternyata, sekarang di Coban Rondho sudah ada banyak fasilitas tambahan, seperti permainan anak, taman labirin, tempat memanah, dll. Untuk masuk berbagai wahana, pengunjung harus dikenakan biaya lagi. Contohnya untuk masuk ke dalam taman Labirin, pengunjung dikenakan biaya 10.000 per orang. Hmmmm.

Meski harus bayar, ternyata banyak juga wisatawan yang datang. Tak hanya dar Malang saja, tapi juga dari luar negeri, seperti Bogor, Jakarta, dll. Terlihat dari bahasa asing yang mereka gunakan. Nah di labirin ini ternyata memiliki spot pemotretan yang bagus, yakni di puncak menara. Dari puncak menara, kita bisa mengambil gambar. Pantesan, gambarnya bagus-bagus. Ini mungkin juga yang membuat daya tariknya. Apalagi, kalau sudah diunggah ke instagram. Bisa-bisa, orang-orang se-Indonesia Raya dan se-Majulah Singapura datang. Ujung-ujungnya, pengelola harus menambah fasilitas ini-itu. Akhirnya, harga tiketpun mahal. Sesuai dengan prinsip ekonomi.


Ini lho labirinnya


Begitu pula saat saya melanjutkan perjalanan ke wisata paralayang. Allahu akbar, rasanya seperti mencari baju lebaran di Pasar Besar Malang. Gak hanya rame, tapi sampai gak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meski begitu, saya masih bisa memandang alam dari atas bukit, sejauh pandang kulepaskan. 


Cekrak-cekrek dan cekrekrekkrek


Memandang masygul dari atas bukit



Seminggu setelah akreditasi, saya menyambangi salah satu candi favorit saya, yakni Candi Sumberawan. Ini kunjungan kedua saya, setelah sebelumnya saya jalan horor lewat pematang sawah. Saat itu, saya hanya bertemu orang yang sedang pergi ke sawah. Sudah. Masuk ke candi, saya menjadi pengunjung pertama dan terakhir di hari itu.

Kali ini, saya mencoba mencari jalan lain. Jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Di sebuah persimpangan, saya bertemu segerombolan anak  muda yang ber ah-uh karena harus membayar tiket. Saya jadi bertanya dalam hati, kok jadi bayar gini?

Ternyata benar, setelah saya memasuki area parkir, saya langsung dihampiri seorang ibu-ibu. Beliau meminta saya membayar karcis sebesar 6000, termasuk parkir. Eh, iya lho, bayar. Bahkan di pintu masuknya, ada tulisan gede bahwa, secara kasarnya “tempat ini udah dibangun, makanya kalau mau narsis bayar dong”, hahaha. Di kiri-kanan pintu masuk sudah mulai dibangun tempat parkir mobil dan aneka bangunan lain.

Eh iya lho, disuruh bayar


Mungkin karena instagram pula, tempat ini juga ikutan ngehits. Banyak motor terparkir dengan indah. Artinya, meski harus bayar, tapi karena untuk narsis, ya apa boleh buat. Kalau saya sih, tujuan datang ke candi untuk bersemedi, seperti prabu Hayam Wuruk, hehe. Cuma, yang saya sayangkan, kok, tempat-tempat instragramable seperti Coban Rondho, Paralayang, dan Candi Sumberawan ini terlihat hanya mementingkan bagaimana menarik wisatawan sebanyak-banyaknya. Yang penting narsis. Entah ini hanya perasaan saya atau bagaimana. Yang jelas, saya kok, kehilangan tempat-tempat yang seharusnya bisa dinikmati. Bagaimana bisa nikmat kalau tempat yang asalnya hening, menjadi rame seperti pasar. Tak hanya itu, kadang, saya kok kurang melihat “sesuatu” yang wow, yang seharusnya menjadi trademark tempat-tempat itu. Contohnya paralayang tadi. seharusnya, saya bisa menyimpan memori dalam otak kalau tempat ini asyik sekali untuk kegiatan paralayang. Atau Candi Sumberawan yang bisa saya ingat dari kenangan zaman kerajaan Hindu-Buddha. Melihat banyaknya acara bernarsis ria, akhirnya jadi nothing.

Candi favorit saya yang sudah ter-IG, hiks



Yah, mungkin ini sisi lain dari ngehitsnya tempat wisata. Yang jelas, saya masih berharap ada tempat yang instagramable tapi tetap menyimpan kenangan setelah saya mengunjunginya. Meski itu akan sangat sulit, mengingat sifat dasar manusia yang tak pernah puas.  

Post a Comment

Next Post Previous Post