Jalan-Jalan Pagi Asyik di Pusat Pemerintahan Kota Surabaya

Ke Surabaya lagi? Ngapain? 



Itulah kalimat yang senantiasa diucapkan oleh rekan ketika saya berpamitan untuk ke Surabaya. Bukan hal yang umum, bagi sebagian besar orang, terutama orang-orang di sekitar saya, pergi ke Surabaya adalah hal yang sia-sia. Apalagi, jika itu dilakukan untuk tujuan wisata. Mereka akan segera memberikan alasan bahwa tak ada apa-apa di Surabaya yang bisa dinikmati. Tak seperti Malang, Bali, atau Jogja. Jadi, jika memang berencana untuk berwisata, maka sebaiknya memilih tempat-tempat tersebut.
Namun, tidak bagi saya. Surabaya tetaplah kota yang asyik untuk dikunjungi. Surabaya memang panas, kadang macet dan banjir, serta orang-orangnya yang banyak (tidak semua) cukup menjengkelkan, terutama suka berkata kasar. Tapi memang inilah khas Jawa Timur. Khas kawasan Arek. Yang penting, kita tak membuat ulah kan?

Masalah orang Surabaya ini pernah saya bahas di sini. Jadi, tak ada yang salah dengan orang Surabaya. Yang salah adalah persepsi kita sendiri. Baiklah, kembali ke topik. Nah, kira-kira apa yang bisa kita nikmati dari Surabaya? Ada banyak. Selain taman-tamannya, salah satu yang paling saya suka adalah kehidupan pagi di pusat kotanya. Apalagi, ketika libur tiba.

Kalau kita ke Surabaya, kita akan menemukan tata kota yang asyik, terutama di bagian tengahnya. Maka dari itu, pada suatu kesempatan, saya mencoba lagi berjalan-jalan pagi menyusuri jalanan di pusat kota Surabaya. Daerah yang saya telusuri adalah daerah 2 pusat pemerintahan, yakni kompleks Kantor Gubernur Jawa Timur dan Kompleks Balaikota Surabaya. Dua kompleks pemerintahan ini ternyata memberikan sensasi yang cukup nikmat jika kita menjelajahinya.

Saya memulai perjalanan dari Jalan Simpang Dukuh, tempat saya menginap. Langkah saya lalu menuju Jalan Gubernur Suryo. Jalanan pagi itu cukup lengang, hanya sesekali kendaraan tampak lalu lalang. Di depan SMA Trimurti Surabaya, seorang penjaga sekolah dengan ramah menyapa saya. Nah, inikah orang Surabaya yang keras itu?

Tak jauh dari situ, tampaklah komplek gedung mahaluas yang sangat indah. Inilah dia, Gedung Negara Grahadi. Tempat Gubernur Soekarwo menjalankan aktivitasnya. Gedung yang dibangun pada tahun 1795 ini menyimpan banyak sekali cerita sejarah. Antara lain, saat Gubernur Jawa Timur, R. Soerjo menolak ultimatum Inggris untuk menyerah tanpa syarat pada 9 November 1945. Satu hari kemudian, kita mengenal pertempuran 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan. Saya sungguh kagum pada perjuangan Gubernur R. Soerjo ini. Betapa beliau tak gentar melindungi rakyatnya dan tak mau tunduk pada sekutu. Bukankah pemimpin harus seperti itu?

Gedung Negara Grahadi, Graha berarti tempat, Adi berarti tinggi 

Pedestrian di sekitar Gedung Grahadi


Kisah mengenai Gubernur R. Soerjo ini menjadi pemicu semangat saya untuk berani menghadapi rintangan, terutama jika jalan kita benar. Untuk mengenang perjuangan R. Soerjo ini, maka di seberang Gedung Grahadi dibangunlah Monumen Perjuangan R. Soerjo. Monumen ini tampak megah dengan taman cantik di sekelilingnya.


Monumem Patung Gubernur Soerjo di seberang Gedung Grahadi

Selepas puas menikmati Gedung Grahadi, perjalanan saya lanjutkan ke arah Jalan Yos Sudarso, melewati gedung SMA Negeri 6 Surabaya. Di persimpangan jalan, saya menemukan gedung yang cukup terkenal, yakni Gedung Balai Pemuda Surabaya. Gedung yang menjadi saksi bisu perjuangan para pemuda Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini masih kokoh berdiri, meski sempat terbakar pada tahun 2011.


Gedung Balai Pemuda Surabaya


Perjalanan saya lanjutkan menuju Gedung DPRD Surabaya. Namun, pemandangan yang mengalihkan saya adalah adanya toilet yang berada di pinggir sungai dekat Gedung DPRD tersebut. Rupanya, pemkot Surabaya cukup berbaik hati menyediakan toilet bagi pejalan kaki seperti saya. Namun, saya belum ingin menggunakannya, jadi saya berjalan terus.


Toilet yang disediakan oleh Pemkot Surabaya

Penampakan sungai di dekat Gedung DPRD. Malam sebelumnya, Surabaya diguyur hujan deras


Nah, tibalah saya di Jalan Yos Sudarso. Di sana, ada sebuah monumen Jendral Sudirman. Monumen ini membelah Jalan Yos Sudarso di sisi barat dan timur. Pada monumen tersebut terdapat juga kata-kata jendral soedirman yang membangkitkan semangat agar kita tak mudah menyerah. Nah, saya jadi tambah semangat untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju Balaikota Surabaya.


Monumen Jendral Soedirman


Sebelum sampai di sana, saya menemukan sebuah Gereja bernama GPIB Maranatha. Sepintas, gereja ini mirip sekali dengan model gereja yang saya temukan di atlas atau buku pelajaran. Mewakili umat ibadah umat Kristen Protestan. Halaman gereja ini sangat luas. Di depan gereja berjaga beberapa polisi. Ketika saya hendak menyeberang, seorang polisi menghampiri saya. Awalnya, saya agak takut karena dikira akan berbuat hal tidak baik dengan gereja tadi. Rupanya, saya diminta memotret kegiatannya menjaga gereja tadi. Katanya, foto tersebut akan dikirim melalui WA grupnya untuk laporan. Oh, saya kira apa.


GPIB Maranatha dan Bapak Polisi yang meminta berfoto

Selepas memfoto polisi tersebut, saya lalu menuju halaman Gedung Balaikota. Ternyata cukup luas juga. Saya harus mencari jalan masuk untuk bisa memotret gedung Balaikota Surabaya dari dekat. Rupanya, di sana sudah ada beberapa warga yang berolahraga. Bahkan, ada yang bermain bola. Salah seorang petugas satpol PP mempersilahkan saya masuk. Saya pun lalu menuju taman balaikota.

Pedestrian di sisi timur Kantor Balaikota Surabaya

Memandang Gedung Balaikota, penerawangan saya kembali kepada beberapa literatur yang telah saya baca. Antara lain, betapa pesatnya perkembangan Kota Surabaya, apalagi sejak ditetapkannya menjadi kotapraja pada tahun 1906. Surabaya tak lagi hanya menjadi daerah pemukiman, tapi juga menjadi pusat ekonomi, industri, pendidikan, budaya, hingga pemerintahan.


Salah satu sudut taman Balaikota Surabaya


Pesatnya perkembangan Surabaya ini mau tak mau juga menjadikan Surabaya arena pertarungan politik. Salah satunya, adalah cerita kemenangan mutlak Partai Komunis Indonesia (PKI) pada pemilihan umum daerah pada 1956. Kemenangan ini membuat Surabaya pernah dipimpin oleh walikota dari PKI, yakni Raden Satrio Sastrodiredjo (1958-1963) dan Moerachman (1963-1965). Menurut beberapa orang Surabaya, foto dua walikota Surabaya itu tak lagi terpajang pada Gedung Balaikota. Mungkin, tragedi 1965 masih menyimpan sesuatu. Tapi, karena saya tak dapat akses masuk ke dalam dan membuktikannya, biarlah itu hanya menjadi cerita. Yang terpenting, kini Surabaya telah maju pesat. Apalagi, sejak Bu Risma tampil sebagai walikota, Surabaya semakin berjaya. Saya sangat bersyukur, berkat acara temu blogger Kompasiana, saya pernah menemuinya.

Pemandangan sungai dekat Monumen Kapal Selam. Tampak dari jauh Grand City, salah satu pusat hedonisme warga Surabaya

Berjalan-jalan di Surabaya pagi itu sangat menyenangkan. Saya kembali melewati bangunan bersejarah berupa lorong yang dibangun pada zaman belanda pada tahun 1915. Bangunan ini berpadu cantik dengan kemajuan kota. Ditambah lagi, banyak pelican crossing yang membuat saya, sang pengidap agyrophobia mudah untuk menyeberang ramainya jalan Surabaya. Tak hanya itu, jembatan penyeberangan juga telah dilengkapi kamera CCTV. Dari ketinggian, saya bisa menikmati Surabaya.


Salah satu sudut jembatan penyeberangan di Surabaya

Salah satu lorong dari jembatan layang yang berangka tahun 1915. Menghubungkan kawasan Jalan Pemuda dan Jalan Gubeng

Memandang Surabaya dari atas, salah satu destinasi wsiata favorit saya di Surabaya 


Tulisan ini pertama kali diunggah di situs Kompasiana. Menyalin sebagain atau seluruh tulisan ini diperbolehkan dengan menautkan sumber tautan lengkap. Terimakasih.


Sumber Buku :

Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman: Malang dan Surabaya Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Sumber Daring: (1) (2) (3)

Post a Comment

Next Post Previous Post