Pengalaman Menjadi Korban Calo Travel Malam Jogja dan Semarang

Terminal Giwangan Jogja, 18.00 WIB

Tol Bali
Ilustrasi perjalanan darat jarak jauh

Bus Trans Jogja Trayek 3B yang saya naiki sudah sampai di halte akhir Terminal Giwangan. Semua penumpang turun. Saya lantas menuju Musholla sambil menenteng ransel superberat. Sudah 3 minggu saya belum pulang. Menurut rencana, seharusnya masih seminggu lagi saya pulang. Akibat permintaan pembelian kain beskap dan blangkon untuk kegiatan karnaval di kampung, maka saya terpaksa harus pulang. Membawa serta barang kulakan dari Daerah Istimewa Yogyakarta.


Selepas sholat, saya lalu menuju deretan bus yang akan menuju kota tercinta, Malang. Ada beberapa bus yang masih terparkir. Beberapa calo meneriaki saya untuk menuju bus yang mereka tawarkan. Saya pura-pura bego. Terus ngeloyor pergi ke keberangkatan bus AKAP.


Di terminal keberangkatan antar kota antar provinsi ini, beberapa bus tujuan Malang dengan harga tiket berbeda masih terparkir. Ada pula bus pencabut nyawa, Sumber XXX yang bertujuan akhir Surabaya. Saya akhirnya memutuskan masuk ke bus kelas VIP dengan harga 120.000. Selisih 20.000 dengan bus selanjutnya yang berbeda keberangkatan satu jam.

Saya sudah capek sekali karena siangnya bolak-balik mencari tiket KA di Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu yang berhasil nihil. Sejam lagi menghabiskan waktu di terminal ini membuat saya tak begitu nyaman. Beberapa kali saya pernah menunggu Trans Jogja di sini dan itu berasa cukup spooky. Lebih baik saya duduk manis di bus.

Saya jadi penumpang pertama yang datang. Saya segera menduduki kursi tak jauh dari sopir. Bus berkapasitas sekitar 60 orang itu masih kosong melompong. Tak lama, ada 3 anak muda dengan suara cekikikan khas Malangan dan saling men-Janc**i satu sama lain datang. Mereka lalu duduk di samping bangku saya.  Seorang diantaranya malah duduk di sebelah saya. Perkenalan pun terjadi. Ternyata, mereka baru mengikuti tes calon dosen di UNY. Wah keren c*k.


Yang asyik, mereka ternyata satu almamater dengan saya. Jadi kami langsung akrab. Sudah hampir sebulan saya kesulitan berbahasa Malangan. Hanya dengan dengan penjual bakso di depan kos-kosan dan penjual sempol di Alkid saya bisa melakukannya. Kami pun bercerita banyak dan salah satunya tentang bus-bus yang akan berangkat pada malam itu.

Pengetahuan mereka tentang bus membuat saya kagum. Mereka sampai hafal harga, posisi tempat duduk, tempat charger ponsel, restoran yang akan disinggahi, hingga mesin yang digunakan bus tersebut. Bus mania ternyata. Sungkem dulu.

Tak berselang lama, muncul seorang pemuda tanggung. Dilihat dari wajahnya, ia masih berusia awal 20an. Sang pemuda lalu memperkenalkan diri bahwa ia adalah maba di kampus kami. Ia berasal dari Purworejo, Jawa Tengah.

Nah yang membuat kami miris, ternyata ia sudah dikadalin oleh seorang calo dengan membeli tiket seharga 160 ribu. Eh banyak sekali selisihnya. Reflek dong, kami berempat langsung mengumpat khas Jawa Timuran, J****k. Puas sekali melakukannya. Hehe, jangan ditiru.

Yah namanya apes. Menurut pengakuannya, ia digiring sang calo saat baru tiba menggunakan ojek dari arah Kota Jogja. Itupun setelah ia menemui petugas PO di kantornya yang masih di terminal tersebut. Ia memang diberi tiket yang memang seperti tiket pada umumnya. 


Jadi, ia masih menduga itu adalah tiket resmi. Sebetulnya, ia ragu akan naik dari terminal ini. Beberapa rekannya menyarankan  agar ia naik dari arah ring road utara atau sekalian dari Prambanan. Tapi ia takut kalau tak dapa bus mengingat akan mengikuti ospek beberapa hari kemudian.

Ini juga jadi pelajaran juga bagi saya jika akan naik bus malam lagi. Tiket bus tak seperti kereta yang cukup fair dengan harga dan posisi tempat duduk. Maka dari itu, sebelum naik bus kita harus teliti dahulu. Usahakan juga kita mencari informasi dari internet dahulu, terutama melalui web PO yang dituju atau bertanya pada master Bus Mania. Meski ada harga resmi, tak segan pula oknum di dalam PO tersebut kongkalikong dengan calo.

Untunglah, perjalanan selama 8 jam itu diselingi makan malam cukup nikmat di daerah Saradan. Di sana kami kembali menggunjing calo yang membuat anak Maba itu kena tipu. Yang bersangkutan memang sudah ikhlas. Tapi tidak bagi tiga bus mania tadi. Saya hanya mendengarkan dengan masygul sambil meneruskan makan.

Semarang Bawah, 18.00 WIB

Ilustrasi Semarang bawah dengan kontur tanah yang datar, seakan terpisah dari Semarang atas yang berbukit-bukit

Ponsel saya terus berdering. Ada 5 kali panggilan tak terjawab. Maklum, saya habis shalat maghrib. Sebelumnya, saya sudah mendapat notifikasi melalui  SMS dan WA jika saya akan dijemput sopir travel antara pukul 19.00 hingga 20.00. Lha ini baru jam 6 petang. Saya masih enak-enakan di hostel.
Tak lama kemudian, saya melakukan check out sambil ditemani tatapan heran dari dua resepsionis wanita yang sedang menjaga. Sopir travel lantas menelepon saya lagi dan berkata ia sudah di depan hostel. Aduh pak, sabar kenapa.


Saya memesan travel karena mengejar waktu untuk acara di Malang. Saya lalu bergegas keluar dan langsung menemukan sebuah minibus colt yang kelihatan sudah berumur. Lah kok, mobilnya seperti travel yang saya gunakan tahun 90an. Saat saya masih balita dan TK. Saya masih tak habis pikir. Namun, sang sopir segera memasukkan tas besar saya ke bagasi. Ia lantas memberi tahu posisi duduk saya dan meminta saya tak bertukar posisi dengan penumpang lain hingga saya tiba di rumah.
Ampun bos.
Mobil pun melaju kencang. Membelah jalanan kota tua Semarang. Melintasi Tugu Muda, hingga saya mulai merasakan mobil sedang menaiki tanjakan tajam. Saya menduga mobil ini akan menuju daerah Semarang atas. Guncangan yang saya rasakan semakin kencang.
Pak, saya lagi gak mau naik roller coaster. Plis.
Beberapa waktu kemudian, mobil pun masuk perkampungan padat penduduk. Tentunya dengan kondisi medan yang sama. Naik turun. Saya tak menghidupkan gugel mep untuk menghemat baterai dan hanya menduga pasti ini di daerah sekitar Banyumanik. Lalu sang sopir menelepon lagi sambil bertanya posisi rumah calon penumpang. Tak berapa lama, mobil pun sampai di sebuah rumah. Seorang ibu beserta anak laki-laki seusia SD masuk dan duduk di sebelah saya. Alhamdulillah, saya ada teman.

Colt T 120
Kendaraan yang saya tumpangi. Dengan warna yang sama

Sang ibu memperkenalkan diri dan menceritakan juga sedang diburu waktu menjenguk mertua yang kritis di Malang. Ia menyusul sang suami yang pergi lebih dulu. Nah, sama dengan saya, ibu tersebut heran dengan kenapa mobil travel yang kami tumpangi butut. Kursinya jadul dan keras. ACnya tak terlalu kencang. Ditambah lagi sopir yang ugal-ugalan. Skok mobil juga terus berdecit. Sembilan jam perjalanan akan tampak melelahkan. Apalagi, sang ibu hanya membeli satu tiket. Artinya, semalaman ia harus memangku sang anak yang bagi saya badannya sudah cukup besar.

Satu per satu penumpang masuk. Mereka semua berasal dari Semarang atas. Hanya saya yang dari Semarang bawah. Tepat dugaan saya, mobil pun penuh dengan kapasitas hanya 7 penumpang. Tiga orang perempuan dan seorang laki-laki yang duduk di depan. Sebenarnya, ruang kaki untuk berselonjor cukup luas. Kami juga mendapatkan bantal kecil. Tapi karena deretan bangku yang saya duduki harusnya diisi dengan 3 orang namun terisi 4 orang, badan saya rasanya terjepit. Belum lagi, penumpang yang baru masuk memiliki tubuh lumayan. Seorang mbak-mbak maba juga yang akan ke Malang. 

Kondisi diperparah dengan sang sopir yang menyetir dengan kecepatan setan. Tak peduli dengan jalanan yang makadam karena sering mengambil jalan pintas. Dia memang mengejar waktu agar bisa tepat di rumah makan pukul 12 malam tepat. Bayangkan. Jarak sejauh itu (Semarang-Madiun) harus ditempuh dalam 4 jaman.  Tubuh saya berguncang terus. Sang anak di deretan bangku saya malah terus rewel dan meraung-raung. Lengkap sudah penderitaan saya.


Untunglah, secara ajaib, tiba-tiba kami sudah berada di Caruban. Mobil berhenti di sebuah rumah makan dan kami mendapat kupon makan super malam setelah membayar ongkos travel. Saya duduk semeja dengan dua orang travelmate tadi. Kami berbincang dan mengghibah masalah sopir dan agen travel. Ternyata, saya mendapat kejutan. Kami memesan tiket di tempat yang berbeda pula. Itu baru kami sadari setelah membandingkan print out tiket travel kami masing-masing. Horee. Kok bisa satu mobil dari 3 agen travel berbeda?

Yah meski harganya sama, tapi bagi saya ini kurang fair. Calon penumpang seakan tidak dilayani oleh agen travel secara langsung. Apalagi saya baru tahu, pemilik mobil dan sopir tidak menjual jasanya secara langsung namun dioper ke agen-agen travel yang sudah ramai. 

Makanya, saya heran, sebelum saya berangkat, saya dihubungi oleh 3 orang dengan nomor berbeda. Nomor pertama ternyata pemilik agen travel/CS yang saya pesan pertama. Nomor kedua adalah pemilik mobil. Nomor ketiga adalah sopir travel. Pada pemesanan pertama, mbak CS berkata akan ditanyakan dulu. Kepastian pun baru saya dapat 6 jam sebelum keberangkatan meski sudah pesan hari sebelumnya.

Saya agak dongkol karena dari website travel tersebut memajang mobil-mobil bagus yang nyaman sekelas minibus Elf. Apalagi, travel tersbut sudah cukup terkenal di kota saya. Sebelumnya, pihak sekolah saya pernah menggunakan jasa travel terebut dan pelayanannya memuaskan menggunakan mobil Elf. Saya yakin, si sopir travel dan pemilik mobil mendompleng nama besar agen-agen travel yang memajang foto mobil sekelas Elf. Mana mau calon penumpang kalau tahu mobil travel menggunakan mobil butut untuk perjalanan sejauh itu? Ini sih calo tingkat dewa.

Kami melihat banyak mobil travel yang juga dari Semarang sudah menggunakan Elf. Dapat makan pula. Dengan harga sama. Meski tak banyak kerugian, namun saya bisa merasakan kedongkolan jamaah First Travel. Duh Lebai. Tapi memang, kerugian kecil macam saya sudah membuat dongkol.

Satu hal lagi yang paling parah, sang sopir sering buta arah. Di zaman canggih ini apa salahnya menggunakan GPS. Saat menurunkan seorang penumpang di teritori Kota Kediri, sang sopir berputar-putar selama setengah jam untuk mencari alamat. Sang penumpang yang memberi arahan sesuai GPS tak digubris. Alasannya, ia pernah melewati daerah tersebut. Tapi apa daya, karena ada acara 17an, banyak jalan ditutup. Alhasil, banyak waktu terbuang. Perjalanan yang seharusnya sembilan jam akhirnya molor sepuluh jam lebih.
Oke Fix! 
Pengalaman naik travel ini membuat saya berpikir dua kali untuk menggunakan jasa ini lagi. Saya harus pinter-pinter lagi mencari travel malam yang oke punya lain kali. Esoknya, saya di-SMS pemilik agen menanyakan kenyamanan perjalanan saya. Penasaran dengan jawaban saya?

21 Comments

  1. Hahahaa apes banget ya. Memang begitu kalau go show. Meski begitu usahakan punya No2 hp agen terpercaya buat ngecek dadakan kali aja msh ops jam segitu. Di jogja & semarang cukuplah agen2 yg bs dipercaya. Kalau sdh gak ada seat semua atau diuar jam operasional ya gimana lagi. Bismillah aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak duhhh
      pertama kali sih pake travel biasanya ya bus atau kereta
      alhamdulillah udah dapet nomor2 agen yg trusted
      jadi insha allah klo pake travel lagi aman lah

      Delete
  2. Lain kali harus hati-hati milih travel ya mas, jangan sampe kena tipu lagi.

    ReplyDelete
  3. Harus cari info yang banyak dulu sebelum fix
    kasang suka nggk sesuai dengan yang di pajang hehe
    nggk apa pelajaran berharga

    ReplyDelete
  4. Wahh
    Mesti lebih berhati hati dan lebih ekstra deh milih milih

    Dulu aku jg pernah jd korban calo tp karena cuma beda 20-30an diikhlasin aja deh wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. ikhlas sih ikhlas
      cuma ya kalo mau lagi enggak deh mas, hehe

      Delete
  5. Baru baca seperempatnya aku sudah kekelen. Jan**k... Hahahaha

    Itu bus pencabut nyawa meski disensor, aku masih tau nama busnya. Wkwkwkwk

    ReplyDelete
  6. yakin ini sihhh rugi bandar... wkwkwkwk
    sing sabar wae yo mas.. mungkin semua akan indah pada waktunya.

    ReplyDelete
  7. Ngeri juga ya, memang kudu hati-hati cari travel ya

    ReplyDelete
  8. Bus pencabut nyawa itu apa ya, senapsaran hahahah
    Mungkin mabanya masi ada tampang polos tu makanya kena kadal eh dikadalin deh
    Emang kadang suk gitu mas klo naek travel, mungkin supirnya dah pingin cepet2 nganterin penumpang makanya pada banter2 bener, ampe saya suka mabok tuh klo naek travel
    Yah walo ada ada aja tiap baca kisah perjalananmu mulai dari kemaren ya g ad di solo sama ya g sekarang mau ke malang, tapi seenggaknya jadi punya cerita tuh hahahha
    #btw saya jadi penasaran klo ngobrol ma bakul sempol pake bahasa malangan isinya apaan aja tu

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu loh mbak, sumber kencono hehehe
      tampang2 maba emang sumber perkadalan haha
      lah iya ini apes banget mbak
      wah mau tau mbak? rahasia, hihihi

      Delete
  9. Pernah juga beberapa kali naik 'Sumber Kencang' hehe.. (sudah ganti nama kalau tak salah). Oya, jadi meski [si maba] beli tiket di kantor PO pun masih bisa kena tarif calo begitu ya? Jadi mesti beli langsung di atas busnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya harus langsung di atas bus
      cek dulu harganya biar gak ketipu

      Delete
  10. HAHAHAHAHA.
    ANJER SUMBER KENCONO MAH GILAAAAAAAAKKKK.

    solo jogja normalnya sejam lebih, jadi cuma 45 menit doang. ya allah.

    ReplyDelete
  11. Wah, saya harus lebih hati-hati nih kalo mau ke jogja pake travel. Bayangin perjalanan sejauh itu pake mobil kayak gini. Tapi emang aku lebih sering naek kereta sih. Walau nanti terpaksa harus keluar uang lagi buat ongkos taksi dari stasiun ke rumah

    ReplyDelete
Next Post Previous Post