Memori Mesin Sigaret

Baru pukul sepuluh. 



Saya turun dari kereta dan masih terpaku di pelataran Stasiun Surabaya Kota. Sebuah kesalahan baru saya buat. Kalau sudah tahu janjian jam 12an, harusnya saya naik bus saja. Kalau begini jadinya, saya hanya memiliki dua pilihan : menunggu di stasiun ini sampai bosan atau pergi ke suatu tempat dengan perjuangan maha berat. Menerjang panasnya Surabaya Utara.

Di tengah kegamangan, taman di depan Stasiun menjadi alternatif bagi saya untuk sekedar mencari jawaban. Tempat duduk beton yang masih kosong menjadi incaran mata ini. Saya duduk dan memainkan gadget sebentar untuk memastikan rekan saya memenuhi janjinya. Tak lama, seorang tukang becak menawarkan jasanya dengan bahasa jawa beraksen Madura kental yang segera saya tolak halus. Semenit dua menit saya masih bisa bertahan. Hingga menit kelima, saya akhirnya menyerah. Panas Cak!

Saya berencana mencari kedudukan yang lebih elok bagi tubuh saya. Namun, sesosok wanita tiba-tiba menghampiri saya. Membawa ransel besar dengan rambut cepaknya yang sepanjang Polwan, ia berjalan cepat dari arah stasiun. Saya kira ia akan duduk di tempat saya tadi dan bergegas pergi. Namun, ia malah menyapa saya,“Lho, mau ke mana, Mas?”

Saya kaget. “Eh. Mau cari ademan, Mbak. Saya gak kuat.”

Iya menggeleng. “Lah, hanya sepanas ini tak kuat?”

Saya hanya tersenyum. “Habis, saya dari daerah kutub sih.”

“Hahaha. Lebai kamu Mas. Dari Malang aja kayak cacing kepanasan.”

Eh kok dia tahu?

“Kaget ya?” Dia meneruskan kata-katanya sebelum saya sempat menanyakan keheranan saya. Saya hanya mengangguk.

“Kamu satu gerbong dengan aku. Kamu naik dari Kotalama kan?”

Eh iya. Kok saya mendapat pukulan telak lagi. Dan kembali, saya hanya bisa diam sambil tetap berdiri mematung.

“Saya dari Blitar. Ini mau menyeberang ke Makassar. Tapi masih nanti malam. Kamu sendiri?”
Saya lalu menceritakan terdamparnya saya ke Stasiun ini dan kegemaran saya bluskan ke Surabaya. Kesukaan saya akan candi, hingga kegilaan saya pada museum.

“Mainmu kurang jauh!”

Jleb.

Saya merasa inferior ketika ia merencanakan travelingnya yang sudah di depan mata. Sang jelita Celebes kini jadi targetnya. Mendaki  Gunung Lokon, berpetualang di Ramang-Ramang dan menyelam di Wakatobi. “Lantas, sekarang kau mau ke mana?” tanyanya.

Saya hanya menggeleng sambil mengingat kawasan Surabaya Bawah yang belum saya jelajahi. Tapi, melihat panasnya Ujung Galuh, saya lebih baik memilih opsi lain.

“Kalau kamu gak keberatan, aku mau ikut sama kamu barang sejam dua jam.”

Glek. Saya tecekat. Wanita ini cukup agresif. Atau saya memang yang terlalu pasif. Tapi, sejak ditinggal mantan nikah, saya memang masih belum berminat.

“Oke. Kita ke House of Sampoerna!”

Saya mantap. Lagi-lagi, entah pikiran apa yang merasuki saya sehingga dengan gampangnya memilih tempat itu. Gambling.

“Kukira tempatnya tak jauh. Jalan kaki saja yuk!” ajaknya.

Gila. Saya salah perhitungan ternyata. Ah sudahlah. Biar kurus ini badan.
Panasnya Surabaya ternyata bisa juga dilawan kalau ada niatan dan teman jalan.  Kami mengobrol tentang berbagai hal. Tak disangka, saya yang sulit akrab dengan orang baru mendadak bisa cair mengimbangi celotehannya mengenai gunung-gunung yang sudah ia taklukkan. Saya tak mau kalah. Dengan gayeng menceritakan aneka candi yang berhasil saya kuasai.

Setelah berpeluh sekitar 20 menitan, kami sampai di sebuah bagunan tua namun masih sangat kokoh. Bak kuil Yunani, bangunan ini ditopang oleh empat pilar berbentuk rokok dengan angka 234. Khas angka merk rokok ini.


“Sampai kan?”

Saya tak menjawab. Sudah penat rasanya kaki ini. Peluh tak tertahankan lagi membasahi baju saya. Surabaya, terutama bagian utara benar-benar tak main-main. Tanpa cas cis cus, saya kini mendahuluinya untuk segera masuk. Seorang petugas keamanan mempersilahkan kami memasuki ruangan tanpa biaya.

“Sudah benar-benar gak kuat panas ini orang!”

Ia mengeluh dan menyusul ketika saya melihat beberapa foto keluarga yang saya duga adalah pendiri pabrik rokok ini.


“Oh jadi dia dari Tiongkok. Lalu ke Penang ikut ayahnya. Di sana kondisinya gak baik dan akhirnya dengan sisa uangnya berlayar ke Surabaya. Di sini menetap dan dengan susah payah mendirikan pabrik ini setelah menjual rokok dan ganti-ganti kerja dulu.”

Saya tak memperdulikan keluhannya tadi.

“Eh lihat. Ada sepeda!” ia lalu menujuk kedua sepeda yang berjajar di sebelah foto pendiri Sampoerna, Liem Seeng Tee beserta sang istri.


“Iya. Kok pas dua gitu ya. Naik ini keliling-keliling asyik deh.”

“Asyik. Tapi gak keliling Surabaya pas panas-panas gini,” ia malah meledek saya.

Saya tertawa. Kembali menatap tulisan mengenai sepeda tadi, saya cukup salut dengan pendiri Sampoerna ini. Dengan kondisi keterbatasan saat bekerja di sebuah rerstoran, ia dibayar dengan gaji rendah dan tidur di atas meja di restoran itu. Karena ingin mencari penghidupan yang lebih baik, ia akhirnya resign dari pekerjaan tersebut. Sang pemilik restoran bermurah hati memberikan pesangon yang ia gunakan untuk membeli salah satu dari dua sepeda tersebut. Sepeda itu akan digunakan untuk berjualan batu bara di Surabaya.


“Wah, ada tembakau juga!”

“Iya. Baunya menyengat banget!”

Saya mendekati karung berisi aneka macam tembakau. Ternyata, setelah memiliki cukup uang,  Liem Seeng Tee  membeli perusahaan rokok yang mau bangkrut. Tak disangka, campuran tembakau  yang ia gunakan disukai banyak orang. Bisnisnya pun berkembang. Pabrik rokoknya semakin besar hingga sekarang.


 "Ternyata membuat racikan rokok itu sulit ya.”

Dengan enteng ia berkata sambil terkikik, ”Maka, hargailah orang yang merokok.”

Glek. “Ya gak gitu juga kali, Neng”, sergah saya spontan.

Puas memandangi tembakau dan tempat pengolahan tembakau, kami bergegas ke ruang tengah untuk melihat koleksi baju drum band, mesin pengepakan rokok, hingga tempat korek api bekas dan sisa bungkus rokok.

“Ah, ini yang tak buat mainan dulu pas SD dulu!” saya menunjuk bungkus rokok di balik kaca. Memori saya kembali ke masa-masa tahun 90an. Berbekal sandal jepit, saya menggasak lipatan bungkus rokok yang dijejer di tengah lapangan.


“Mainanmu eksotik ya,” ia meledek.

Saya hanya tersenyum. Rupanya, ia lebih memilih mengekor saya karena saya memotret jengkal demi jengkal bagian museum. Sesuatu yang tak ia lalukan.

“Aku lebih suka memotret alam. Apalagi gunung!” ia bersemangat.

“Gunung aku juga suka. Apalagi kalau ada candinya,” saya tak kalah semangat.

“Kenapa sih harus ada candinya?”

Saya hanya menaikan bahu. Bergegas ke ruangan selanjutnya. Rupanya, ada tempat narsis berupa warung kecil yang lengkap dengan aneka camilan dan rokok Dji Sam Soe.

“Gak mau ikut narsis?” tanya saya ketika ia menatap nanar dua wanita yang tanpa ampun dengan gaya heboh berfoto di warung tersebut.


“Kau sajalah. Aku tak minat. Eh masih ada yang belum kita masuki. Di atas sana!”

Ia menujuk sebuah tangga. Kali ini tingkahnya yang seperti anak kecil. Dengan lincah, ia naik ke lantai dua sambil menggendong ransel besarnya. Tak perlu banyak waktu untuk menaiki tangga tersebut. Kira-kira, ada apa saja di lantai 2 ini.

Namun, tatapan dua pramuniaga yang tajam membuyarkan rasa penasaran saya. Ternyata, di lantai 2 ini hanya berisikan toko suvenir khas angka 234 dan 9. Yang menarik perhatian saya justru bekas mesin linting rokok yang begitu banyak. Yah semua ada masanya.

“Turun, yuk!” ia tiba-tiba menggandeng tangan saya sebelum saya mengekplorasi ruangan itu lebih jauh.

"Kenapa?"

Ia tak menjawab dan terus menarik saya agar segera turun. Lagi-lagi, sang pramuniaga kembali menatap tajam dua orang di depannya yang nampak kontras. Sang wanita berbaju kasual dan akan naik gunung. Sementara sang pria malah memakai kemeja batik dengan sepatu pantofel. Ini di mana coba nyambungnya?

Saya mengikutinya turun. Lalu kami memutuskan keluar dari bangunan museum tersebut. Duduk sebentar di depan sebuah kafe yang tampak menyuguhkan sisi artistik bangunan gaya ekletisismenya.


“Mau masuk?”

 Ia hanya menggeleng. Tiba-tiba, sejak turun dari lantai 2 dan keluar dari museum, entah kenapa wajahnya berubah murung.

“Kenapa Neng? Belum puas mainnya?”

Ia masih menggeleng. Tanpa saya minta, ia berbicara dulu. Bercerita tentang seseorang yang sangat terobsesi padanya. Gayung bersambut, ia juga menaruh hati pada pria berseragam yang berdinas di sebuah instansi cukup berkelas.

“Sudah cetak undangan”, katanya lirih.

“Lalu?” 

Ia menggeleng. Saya menghela nafas. Menebak apa yang terjadi.

“Iya, hargai orang yang merokok. Mereka butuh eksistensi juga”. Ia melanjutkan.

Saya mengangguk.

”Hargai yang makan coklat juga”.

Bagai silap mata, ia tiba-tiba saja terkekeh mendengar perkataan saya tadi. Perubahan yang sangat drastis. Tangannya meraih sesuatu dalam tasnya. Sebuah batang coklat mendarat di kepala eh tangan saya.

Saya menggenggam tangannya dan mengucapkan terima kasih.

“Aku harusnya yang makasih. Kamu unik ya.”

Tak bisa berkata apa-apa, saya hanya mengangguk.

“Masih ada mimpi kan ke Filipin kan?” tanyanya tiba-tiba.

“Pasti lah. Tak ada negara lain yang ingin saya kunjungi.”

“Oke, sampai ketemu di Gunung Apo, Mindanao,” tukasnya singkat.

Ia meninggalkan saya yang masih terbengong dan belum yakin peristiwa singkat yang baru saya alami. Berjalan cepat menuju rimbunnya tembok Penjara Kalisosok, sinar mentari sang Ujung Galuh memayunginya hingga sosoknya tak lagi nampak di mata saya.

Kini hanya tampak pemandangan orang-orang yang beraduh-aduh kapan bus wisata yang mengelilingi Surabaya Bawah akan berangkat.


Saya lagi-lagi tersenyum mengingat kejadian yang baru saya alami. Tapi, sebuah pesan WA membuyarkan bayangan indah saya.

“Aku wis ndek ITC kepet. Cepetan, C*k!”


*) Ujung Galuh adalah pelabuhan Kerajaan Majapahit yang menjadi cikal bakal Kota Surabaya. Konon, Raden Wijaya mengusir tentara Mongol di daerah ini.

38 Comments

  1. iyaya pilarnya mirip rokok. bangunannya juga unik.

    wah jadi kisah perjalanan pendiri sampuerna ada di tempat ini lah iya.

    ReplyDelete
  2. Nah loh, siapa ya ?
    Yang pasti tampak berkesan ya hehe
    Dia akan kembali ? atau
    Kita akan jumpa lagi?

    ReplyDelete
  3. ASyik banget jalan-jalannya. Keliling Museum jadi enggak cape ya, apalagi diakhiri duduk di cafe, Ngekek aku kalau mau naik sepeda keliling Surabaya yang puanase rek

    ReplyDelete
  4. wah rokok favorit saya itu, dji sam soe..hehehe..

    ReplyDelete
  5. rokok membawa cerita ini mah.. bagus mz

    ReplyDelete
  6. Berasa kayak drama korea. Pertemuan yang g disengaja, lalu dilanjutkan menjadi teman seperjalan. Aku kok selama piknik belum pernah ketemu yang kayak gini, hahahaha
    Btw, aku suka banget sama aroma tembakau, apalagi kos aku kan deket pabrik gudang garam, jadi tiap mereka produksi gitu, wangi tembakau yang sedap itu melayang kemana2.. Hm..

    ReplyDelete
    Replies
    1. asyik... drama korea
      oh kediri ya. itu juga wangi banget tembakaunya

      Delete
  7. keuletan dan insting usahanya muantep ya

    ReplyDelete
  8. Cantik gak mas si nengnya haha, gagal fokus sayah. Seru juga ya ditemani traveler yg komunikatif..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmmm cantuk gag ya
      yang pasti asyik mbak. hehe

      Delete
  9. ini cerita asli mas? kok ndak di foto si nengnya. keren banget ya! kalau sha ga berani ngajak cowok yang baru kenal jalan2 mesti dua jam hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. lebelnya kan fiksi mbak, hehe
      wah iya makanya asyik kan itu nengnya

      Delete
  10. Meskipun saya gak ngerokok, tapi bau tembakau yang belum dibakar memang enak. Apalagi kalau ada cengkeh :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mabk kepingin makan
      tapi gag bisa dimakan heuheu

      Delete
  11. Udah kayak sinetron ya mas? Hahaha :))
    Jalan-jalan kalau ada temen emang nggak kerasa mas. Seru deh pokoknya :D

    Eh di dalam house of Sampoerna kok ada 234 mas? Apa satu pabrik juga buatnya ya? Saya nggak tau hahaha -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha sinetron
      itu angka keberuntungan katanya
      klo dijumlah kan 9

      Delete
  12. Kalau ada teman, capekpun hilang, waktu tak lagi terasa lama. Lanjut jalan-jalannya, mas.

    ReplyDelete
  13. WAHAHAHAHA
    Sweet momment

    Aku gapernah suka rokok sih
    Tapi kalau dipamerin kayak gini keren juga ya masss

    ReplyDelete
  14. Sampoerna yang semegah sekarang, dibangun dengan kesusahan, kesulitan dan banyak kegagalan berbagai usaha dari pendirinya, sebuah museum memori yang sebenarnya menyimpan makna kehidupan...

    ReplyDelete
  15. House of Sampoerna, saya sudah ke sana sekitar 5 tahun lalu..dan terpesona karenanya. Sayang tak berjumpa sesiapa yang berencana ke Filipina....:D

    Btw, kisah yang menarik Mas..suka gaya berceritanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaa yang berencana masih kinyis2 mbak kekekeke

      Delete
  16. aku enggak merokok, tapi kalo liat bgini ya keren abis mas
    pengen juga kesana

    ReplyDelete
  17. AKu pernah ke House of Sampoerna, sekali. Takjub lihat pegawai2 di lantai 2 yang melinting rokok, gerakannya cepeeet banggeeeet, udah kayak robot gerakannya. Tapi kita nggak boleh motret.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya sayang yg di lantai 2 gag boleh motret mbak

      Delete
  18. Wah, keren ini, ada unsur ceritanya juga. Kalo jalan-jalan nemu temen seperjalanan yang oke, berasa seru, apalagi kalo obrolannya nyambung.

    Tampilan depan bangunannya keliatan kuno, tapi keren ada pilar bentuk rokok gitu, jadi ciri khas. Sebelum masuk aja udah dikasih penampakan rokok :p
    Kisahnya Liem Seeng Tee ternyata luar biasa ya, berani ambil resiko beli perusahaan rokok yang mau bangkrut, sampe perusahannya jadi kayak sekarang.

    Itu yang warung kecil unik ya, pasti sering jadi spot menarik buat foto-foto, hehe.

    ReplyDelete
  19. Saya pernah juga mengalami hal seperti itu, baru ketika selesai, nyadar eh kalau sedari tadi ngobrol sama isi pikiran sendiri huehuehue xD

    Nah ininih, kalau gak pabrik rokok, ya pabrik gula. Ntah ya, kekokohannya yang masih menjulang dari jaman Belanda menguarkan aura mistis tersendiri.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post