Akhirnya Ketemu Bu Lis Swasono, Kompasianer Fiksi Favorit Saya


Salah satu novel karya Bu Lis. (http://fiksilizz.blogspot.com/)

Beberapa waktu lalu, saya pernah mengulas mengenai 5 Kompasianer favorit saya.


Rata-rata, mereka memutuskan untuk tidak menulis lagi di Kompasiana. Salah satunya adalah Bu Lis Swasono yang memiliki spesialisasi menulis fiksi. Dulu, segala jenis tulisan fiksi mulai cerpen, dongeng, cermin, cermis, hingga novel mendapat banyak pembaca di Kompasiana. Beliau sekarang menulis di blog pribadi bertajuk Fiksi Lizz. Bu Lis juga pernah menulis dongeng di Majalah Bobo dan beberapa media cetak lain.

Nah, saat liburan saya ke Solo, saya menyempatkan mampir sejenak ke rumah Bu Lis, begitu sapaan akrabnya, di Klaten Jawa Tengah. Saya memang membatasi kegiatan meet up beberapa waktu terakhir dikarenakan alasan kesibukan. Bukannya sombong, namun saya benar-benar tak punya banyak waktu. Maka, kesempatan langka ini saya pergunakan sebaik-baiknya. Kapan lagi bertemu rekan Kompasianer yang biasanya hanya bertegur sapa melalui blog atau media sosial.

Sejak seminggu sebelumnya, Bu Lis sudah mewanti-wanti agar saya benar-benar bisa datang. Saya menyanggupi meski belum mengetahui persis lokasi rumahnya. Sebenarnya, dari Jogja saya lebih mudah naik bus melalui Terminal Giwangan atau Jombor. Namun, saat itu saya sedang menjadi ketua rombongan beberapa sepupu yang sedang liburan ke Jogja dan akan menghadiri pesta pernikahan seorang keluarga di Solo. Jadi, sebelum saya bergabung dengan keluarga besar, saya mampir dulu ke rumah Bu Lis dengan konsekuensi mengantar anak-anak itu ke Stasiun Maguwo untuk naik KA Prameks.

penumpang kereta api prameks stasiun maguwo
KA Prameks yang tidak pernah sepi.

Perjalanan menggunakan KA Prameks berlangsung cepat hanya sekitar 30 menit saja. Turun di Stasiun Klaten, awalnya saya mau mencegat bus di pinggir jalan saja. Namun, seorang petugas kepolisian menghalau saya dan menyarankan agar saya naik melalui terminal. Saya pun masuk ke Terminal Ir. Soekarno yang tak jauh dari Stasiun Klaten.

Lucunya, saya tak cermat membaca bus apa yang harus saya tumpangi. Saya dengan enaknya masuk Bus Sumber Slamet yang masih satu manajemen dengan Bus Sumber Kencono legendaris itu. Kebiasaan buruk saya kalau naik bus ya begini.

Terminal Klaten
Terminal Ir. Soekarno Klaten yang sepi

Bus itu harusnya langsung bablas ke Solo dan kota-kota lain di Jawa Timur hingga sampai di Surabaya. Tapi, saya memohon-mohon kepada sopir dan kondekturnya agar bisa turun di Karangwuni, sesuai permintaan Bu Lis.
“Ya sudah, nanti langsung loncat di jalan ya”.
Saya begidig. Aduh, nyawa saya hanya 1. Belum lagi, selama perjalanan, saya duduk di bangku dekat sopir dan bus itu sedang melakukan race dengan bus Eka seperti biasanya. Kondekturnya menjadi pemandu kapan harus memepet mobil dan motor dengan ganas sehingga mereka tak bisa lagi berkutik. Ya salam.

Untunglah, sopir bus masih berperikemanusiaan. Ia dengan halus menurunkan saya sebelum lampu merah Karangwuni. Selepas nafas lega saya lepaskan, saya beranjak menyeberang jalan di duduk di sebuah warung makan. Tak lama, pesan dari Bu Lis masuk dengan permintaan untuk menunggu jemputan. Suami Bu Lis akan menjemputnya.

Sambil menunggu, saya antara kasihan tapi ya gimana melihat tukang ojek di perempatan itu yang tak mendapatkan satu pun penumpang. Mereka bahkan rela menunggu di tengah lampu merah untuk membantu para penumpang bus yang turun menyerberang jalan demi berharap penumpang tersebut menggunakan jasa ojeknya. Lah, sayangnya saya sudah dijemput Pak e Bu Lis.

perempatan karangwuni klaten
Tukang ojek di Perempatan Karangwuni, Ceper, Klaten.

Tak lama, suami Bu Lis datang langsung mengenali saya. Kamipun menuju ke rumah Bu Lis yang hanya berjak sekitar 1,5 km dari perempatan Karangwuni dan hanya 100 meter dari perlintasan KA menuju Solo.

Rumah Bu Lis merupakan satu-satunya rumah di jalan penghubung desa itu. Di sekitarnya, sawah dan kebun jagung menghampar luas. Ternyata, Bu Lis juga membuka warung di rumahnya. Beliau menjual aneka masakan seperti Nasi Kuning. Nasi Pecel, dan Nasi Rawon. Saat saya datang, beliau nampak sibuk melayani pembeli yang berdatangan.

Tahu saya datang, beliau langsung heboh. Pun demikian dengan saya.
“Akhirnya ketemu ya, Mas”,
Ya, saya kerap mendapatkan sambutan luar biasa kala bertemu rekan blogger yang seringkali hanya berbalas blogwalking. Entah apa alasannya, bertemu rekan blogger adalah karunia. Mengingat, kesibukan masing-masing yang begitu padat membuat pertemuan semacam ini amatlah berharga.

Sambil memakan tape goreng dan keripik singkong plus menyeruput teh hangat, kami bercerita mengenai kehidupan masing-masing. Bu Lis ternyata sudah dua tahun ikut sang suami di Klaten ini, tempat kelahiran suaminya. Awalnya, saya kira Bu Lis masih di Bekasi eh ternyata sudah lama pindah ke sini. Bu Lis juga kaget saya juga telah cukup lama di tinggal di Magelang.

Kami sepakat bahwa hidup di desa dan jauh dari peradaban adalah hal yang menyenangkan.

“Kalau sudah di rumah, mau ke mana-mana malas ya, Mas”.
Iya, saya merasakan hal itu sejak tempat tinggal saya juga sama, jauh dari peradaban. Makanya, kalau sedang ke kota atau berlibur ke mana, saya sangat gembira. Tapi hidup di desa memberikan kenyamanan sendiri yakni banyak pengeluaran yang bisa ditekan. Itu penting.

Pembicaraan kami berlanjut kepada kisah-kisah di Kompasiana yang penuh drama. Mulai drama PK=GT yang dulu sangat heboh, hingga beberapa Kompasianer yang pernah singgah di rumahnya. Ternyata, meski dekat melalui dunia blog, kami juga tidak pernah saling bertemu. Bu Lis pun demikian. Saya sendiri bertemu dengan Kompasianer lawas hanya beberapa saja, seperti Mbak Putri Apriani, Mbah Ukik, Mbak Dwi Purwanti, Bu Majawati Oen, dan beberapa lainnya yang saya temui di ICD dulu. Pak Bain Saptaman, yang sama-sama tinggal di sekitar Jogja saja saya belum pernah ketemu. Mbak Dani, yang kerja di Pemkot Malang malah belum pernah padahal dulu saya sering seliwar-seliwer di balai kota Malang.

Pertemuan dengan blogger-blogger semacam ini memang salah satu tujuan saya dalam menulis blog. Saya tidak bertujuan lain selain menjalin tali silaturahmi dengan mencari waktu luang dari menumpuknya kerjaan. Sederhana saja dan tanpa banyak pikiran ini itu. Kami pun bisa bercengkrama dan sejenak melepas penat dari kesibukan.


Akhirnya ketemu penulis favorit saya.

Saya juga baru tahu bahwa Bu Lis lama tidak berkunjung ke Malang. Oh ya, Bu Lis ini asli Malang lho. Jadi, dengan bahasa Malangan yang kental, kami bercakap-cakap mengenai perkembangan Malang saat ini yang semakin hari semakin macet. Semakin banyak Mall yang dibangun. Bu Lis juga kaget kalau di Malang sekarang sudah ada jalan tol yang bisa tembus langsung ke Solo dan Jakarta. Waktu memang cepat sekali berputar.

Obrolan kami sesekali diselingi para pembeli di warungnya. Tak terasa, acara hajatan yang harus saya datangi sudah akan berlangsung. Jadi, saya harus segera ke Solo bergabung dengan keluarga besar. Semoga lain waktu saya bisa mampir lagi. Doakan saya punya motor lagi ya, supaya saya bisa main ke sana ke mari, hehe.

Terima kasih, salam.

6 Comments

  1. Wah serunya kopdar

    Ayo ke padang mas ikroom

    ReplyDelete
  2. Ke minomartani mas, Hehehe. seneng bisa kopi darat kek gitu...

    ReplyDelete
  3. Yungalah... Baru tau Mas Ikrom nulis soal kopdar iniii... 😍
    Kapan-kapan boleh mampir lagi lho, Mas. Monggo... 👍🏼

    ReplyDelete
Next Post Previous Post