Pemikiran Njoto PKI dan Embrio "Citizen Journalism" Harian Rakjat

Harian Rakjat – 25 Febuari 1954. Sumber: http://www.prp-indonesia.org

Pertentangan di dalam bangsa Indonesia kala memasuki tanggal 30 September terus terjadi hingga kini. 

Pertentangan tersebut seakan menjadi "takdir" yang harus dijalani oleh bangsa ini hingga kapan pun juga. Akibat dari pertentangan itu, maka turut pula mengubur berbagai potongan sejarah menganai segala hal yang berbau PKI. Baik organisasi maupun tokoh-tokohnya.

Padahal, cukup banyak hal yang semestinya perlu diketahui oleh masyarakat luas, terutama oleh generasi penerus bangsa. Salah satunya adalah mengenai perbenturan gagasan yang dilakukan oleh PKI dengan partai-partai lain yang saling berseberangan.

Perbenturan gagasan yang mencapai puncaknya pada masa pertengahan Demokrasi Liberal ini sejatinya bisa dijadikan pelajaran bagi kita yang juga memiliki keadaan yang hampir sama menjelang pilkada serentak 2020 nanti. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa PKI merupakan salah satu partisipan aktif dalam kancah perpolitikan nasional. Aktifnya PKI sebagai salah satu episentrum politik masa itu tentu tak bisa dilepaskan dari peran besar pimpinan partai. Salah satunya adalah Njoto.

Njoto Sosok Penting dalam PKI

Wakil Ketua CC PKI yang menjadi orang nomor dua di partai tersebut memang dianggap sebagai sosok penting setelah DN Aidit. Aktif di dunia jurnalistik, tulisannya terjejak dan cukup banyak menggambarkan apa yang terjadi kala itu. Seperti, kala ia melakukan blusukan ke daerah-daerah di Indonesia dengan menggunakan kereta api.

Pemikiran-pemikirannya yang tajam namun masih dalam koridor paham-paham marxisme juga banyak terkisah di dalam tulisan-tulisannya. Tak hanya itu, minat besar Njoto dalam bidang budaya membuat Lekra, salah satu lembaga budaya yang dianggap berafiliasi dengan PKI besar di masanya.

Baca juga: Mengulik Jejak Acoma, Partai Komunis yang Berseberangan dengan PKI

Namun, tak banyak sumber yang mampu menyingkap kehidupan Njoto, terutama mengenai pemikirannya. Padahal, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, ia memiliki kehidupan yang berwarna dan amat menarik untuk dipelajari.

Kurangnya sumber mengenai tokoh ini membuat seorang lulusan sejarah bernama Fadrik Aziz Firdausi menerbitkan buku berjudul "Njoto, Biografi Pemikiran 1951-1965". Buku ini bersumber dari beberapa surat kabar seperti Harian Rakjat dan Bintang Merah yang kerap memuat tulisan-tulisan Njoto. Sumber lain berasal dari buku lain dan  wawancara dengan beberapa kolega Njoto yang masih hidup.

Njoto dan keluarganya. - Sumber: https://indoprogress.com

Di dalam bukunya ini, penulis tersebut mencoba menggali segala hal mengenai kehidupan Njoto dari berbagai sisi. Ada tiga bagian utama yang dikupas di dalam buku ini. Bagian pertama mengupas mengenai politik Njoto sebagai jubir PKI. Bagian kedua buku ini membahas mengenai aktivitas publisitas dan dunia jurnalistik yang ditekuni Njoto.

Terutama, mengenai perannya sebagai pimpinan redaksi "Harian Rakjat"sebagai surat kabar yang berafiliasi dengan PKI dan pemikiran kental bernuansa komunis. Sedangkan, bagian ketiga membahas mengenai peran aktif Njoto di bidang kebudayaan, baik di dalam LEKRA maupun kegiatan kebudayaan lainnya. Sebagai penutup, tulisan-tulisan dari Njoto yang pernah diterbitkan juga termuat di bagian akhir buku ini.

Baca juga: Suburlah Tanah Airku, Alunan Nada Indah yang Hilang Bersama LEKRA

Diantara bagian-bagian tersebut, salah satu hal yang menarik untuk disimak adalah bagian kedua, yakni mengenai aktivitas publisitas Njoto. Bagian ini menjadi menarik karena pada masa itu pers memang menjadi ajang adu kuat partai-partai politik dengan surat kabarnya masing-masing. Pers juga menjadi salah satu kunci dalam kemenangan PKI, baik di dalam Pemilu Nasional 1955 maupun Pemilu Lokal 1957-1958.

Relasi Dua Arah Harian Rakjat

Keberhasilan ini tentu tak lepas dari peran Njoto dalam mengelola "Harian Rakjat". Menurut Njoto, keberhasilan sebuah pers dalam mewartakan beritanya tidak bisa dari satu arah saja. Namun, relasi dari dua arah yang saling terkait sangat diperlukan.

Dua arah yang dimaksud adalah antara pers dengan massa rakyat/pembaca. Keduanya harus saling bersinergi membentuk sebuah sumber berita yang obyektif tetapi tidak netral. Tentu saja tidak netral karena bagaimanapun "Harian Rakjat" merupakan corong dari PKI yang dipengaruhi oleh pandangan khas Marxisme dan Komunisme.

Adanya relasi ini menyebabkan "Harian Rakjat" memiliki kebijakan yang berbeda dengan surat kabar lain. Jika surat kabar lain hanya menggunakan wartawan sebagai sumber beritanya, "Harian Rakjat" justru memanfaatkan korespondennya yang berasal dari berbagai kota. Koresponden tersebut bisa berasal dari kaum buruh, tani, ibu-ibu, pemuda, maupun pihak-pihak lainnya. 

Komik Indramaju tak Terlupakan di Harian Rakjat, 14 Maret 1965. - Sumber: Hisoria
 

Mereka boleh mengirimkan tulisan mengenai apa yang mereka lihat, rasakan, dan alami di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tak hanya dalam bentuk reportase, "Harian Rakjat" juga menerima tulisan opini maupun fiksi. Bahkan, setiap tahun, surat kabar ini menggelar Hadiah Sastera untuk menarik penulis fiksi, terutama yang sepemahaman dengan  PKI untuk menerbitkan karyanya.

Baca juga: Begini Cara Seseorang Diterima Menjadi Anggota PKI

Peran penting jurnalisme warga sangat disadari oleh Njoto. Ia sangat sadar bahwa kekuatan besar koresponden bagi perkembangan media massanya. Dukungan massa yang besar itu harus selalu dijalin agar mereka terus dapat menerbitkan tulisan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh redaksi.

Aturan Tegas Jurnalisme Warga Harian Rakjat

Maka, pada awal 1958, "Harian Rakjat" mengadakan seminar para koresponden di berbagai kota. Dengan tema besar memperbaiki "Harian Rakjat", seminar ini menghimpun kritik dan saran dari masyarakat. Apa yang masih belum bisa dilakukan dengan baik oleh "Harian Rakjat" disorot dan diperbaiki.

Tentu saja, pelibatan warga biasa dalam kegiatan peliputan yang dimuat di dalam sebuah surat kabar memiliki kelemahan besar. Kelemahan tersebut tidak lain adalah masalah kemampuan jurnalistik yang dimiliki warga. Kemampuan mereka jauh berbeda dengan para jurnalis pada umumnya. Mereka hanyalah orang biasa yang tidak memiliki kemampuan menulis sebaik para jurnalis.

Baca juga: Pertentangan Politik PKI dan Masyumi

Namun, Njoto memiliki trik sendiri agar jurnalisme warga ini dapat beriringan dengan jurnalisme mainstream. Aturan tegas semisal jenis berita yang boleh dimuat diatur sedemikian rupa.

Pengalaman pribadi, kesulitan hidup, dan perjuangan sehari-hari menjadi prioritas dalam pemuatan berita warga. Namun, kebenaran berita menjadi hal yang diutamakan. Untuk hal-hal lain, masih bisa disesuaikan. Tak hanya itu, Njoto juga memberi imbauan agar menghindari sifat sensasional. Jika disamakan dengan sekarang, Njoto sangat melarang adanya "click bait".

Bagi Njoto, substansi di dalam sebuah pemberitaan adalah hal penting. Tapi, hal itu lantas tidak membuat pemberitaan menjadi kering dan hambar. Kebahasaan dan penyajian berita adalah kunci. Itulah alasan mengapa para koresponden "Harian Rakjat" terpacu untuk mengirimkan tulisan yang mengalir, enak dibaca, memiliki karakter yang khas, efektif, namun tidak keluar dari prinsip Marxisme. Tulisan yang panjang dan bertele-tele tidak akan dimuat oleh redaksi. Intinya, gaya tulisan yang sederhana, khas warga, tetapi tetap hidup adalah prioritas.

Prioritas semacam itu sangat penting karena "Harian Rakjat" akan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama kalangan bawah. Kelas buruh dan tani adalah target pasar utama dari harian ini. Bagi kalangan ini, reportase dan opini dengan bahasa yang mudah dimengerti akan lebih mendapat tempat. Jika target pembaca dari kalangan ini bisa dikuasai, maka dengan mudah pembentukan opini kepada masyarakat bisa dilakukan.

Distribusi Konten adalah Kunci

Selain penghimpunan tulisan, distribusi tulisan juga menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dalam keberhasilan sebuah media massa. Jika saat itu telah ada jejaring sosial, tentulah para koresponden akan dengan mudahnya menekan tombol share di dalam ponsel masing-masing. Karena teknologi itu belum ada, maka Njoto di dalam tulisannya di harian ini beberapa hari sebelum Pemilu 1955 memuat tulisan bernada anjuran.

Tulisan itu menginstruksikan agar semua kalangan menyempatkan diri membaca sejenak "Harian Rakjat" di kala senggang. Semisal, sebelum bekerja, saat istirahat, dan sepulang kerja. Atau juga, jika jumlah surat kabar tersebut tidak memadai, salah seorang dari mereka bisa membacakan keras-keras kepada orang di sekitarnya supaya berita dan pesan di dalam harian itu tersampaikan. Maka, konsep "Content is the King, but Distribution si Queen" juga dilakukan.

Nyatanya, meski oplah harian ini juga tak terlalu tinggi, tetapi ketersampaian informasi menjadi kunci dari pemengaruhan opini massa. Tak hanya itu, adanya seranai surat pembaca yang ditampilkan secara berseri, bisa jadi mengukuhkan "Harian Rakjat" sebagai embrio "citizen journalism" di Indonesia.

Testimoni pembaca terutama tentang sebuah berita kerap ditampilkan meski tentu saja tak bisa disamakan dengan kolom komentar di dalam laman sebuah berita online. Yang unik, dari beberapa testimoni mengenai "Harian Rakjat" ini, tergambar bahwa pembacanya tak hanya berasal dari simpatisan PKI, tetapi dari partai lain. Fenomena tersebut merupakan kontradiksi dengan apa yang terjadi sekarang. Kini, banyak pendukung salah satu capres/calon kepala daerah yang alergi dengan pemberitaan dengan sebuah media yang dianggap mendukung calon lawan.

Dengan semangat menempatkan pembaca sebagai subjek, "Harian Rakjat" memang terus menarik banyak pembaca. Hingga kemudian, kejadian di pengujung September lima puluh lima tahun lalu itu membungkam suaranya yang dikenal vokal. Memang itulah sejarah. Meskinya pahit dan kontroversial, tetapi keberadaannya haruslah tetap dipetik sebuah pelajaran.

Salah satunya mengenai peran warga dalam berpartisipasi dalam jurnalisme dan pembentukan opini dari berita hasil produk jurnalisme tersebut. Apalagi, menjelang pilkada yang semakin panas ini, dua hal tersebut sangatlah penting. Bukan jurnalisme yang sekedar sensasi, tetapi sebuah kebenaran yang harus dijunjung tinggi.

 

Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.

 

***

 

Sumber :

Fidausi, F.A. 2017. Njoto, Biografi dan Pemikiran 1951-1965. Tangsel : Marjin Kiri.

10 Comments

  1. bagaimana perasaan dimasa tersebut ya .... indonesia dulu sangatlah berjuang sekarang mempertahankan dengan penuh perjuangan ada yang berjuang adapun yang tidak perlu persatuan

    ReplyDelete
  2. Agak memprihatinkan memang, akibat "tuduhan" yang dialamatkan kepada PKI sebagai dalang tragedi 30 September, membuat kontribusi kader dan afiliasinya terhadap perkembangan negara kita jadi dikecilkan, bahkan dihapuskan.

    Misalnya Njoto ini, saya cuma pernah sekilas saja mendengar perannya dalam dunia jurnalisme. Ternyata ide jurnalisme warga yang ia kembangkan melalui Harian Rakjat sekarang berkembang luas di Indonesia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya mas banyak cerita yang akhirnya tertutup
      tapi kalau membukanya juga masih tabu
      takut kalau dicap PKI
      padahal kan cuma memaparkan saja

      dan njoto ini paling tidak walau ia adalah pihak yang dituduh melakukan kudeta tetapi jejaknya masih bisa dipelajari. salah satunya kegemarannya menulis ini.

      ya ambil yang baik, buang yang buruk aja

      Delete
  3. Peran Njoto memang besar sekali pada PKI tapi namanya kalah tenar dengan DN Aidit ya.

    Ternyata sejak dahulu sudah ada surat kabar yang memuat tulisan dari rakyat banyak yaitu Harian Rakjat. Jadi warga dapat berpartisipasi membuat tulisan tapi sebelumnya disaring terlebih dahulu. Hal yang sekarang ditiru oleh banyak surat kabar ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sebenarnya tiga serangkai , aidit, njoto, dan lukman sama pentingnya mas
      hanya saja karena aidit memegang pucuk ketua, maka ia lebih terkenal

      iya tulisannya disaring dulu sebelum tayang jadi ya engga asal tayang gitu

      Delete
  4. Skrng juga harian rakyat mash ada kan yah? Btw, ini tulisan berbobot banget, kak. Keren bsa angkat tema beginian

    ReplyDelete
    Replies
    1. harian rakyat sudah engga terbit mbak
      kalau engga salah beberapa hari setelah 30 Sepetember masih cetak tapi habis itu udah engga lagi solnya kan pada keciduk para pekerjanya

      terimakasih

      Delete
  5. Terus terang mas.. saya tidak pernah menyadari bahwa ada tokoh lain di balik PKI yang perannya sebenarnya kuat juga yah. Soalnya baru dengar soal Njoto disini.

    Makasih mas sudah menambah pengetahuan saya.. makacih pake bingitz..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya pak ada banyak tokohnya

      wkwkw iya Pak sama smaa makasih kembali sudah mampir

      Delete
Next Post Previous Post