(Cerpen) Sarung Motif Kotak

Ilustrasi. - kliping sastra

“Bu Peni, si Kasman muntah-muntah lagi. Badannya menggigil. Tak bisakah kita bawa ke rumah sakit?”

Suara Bu Pinem menggetarkan lorong kampung malam itu. Ia mondar-mandir sembari membawa kain sarung bermotif kotak hitam kuning. Peluh membasahi dahinya dan ia masih jua merancu diiringi tatapan bingung dari para tetangganya.

“Tenang, Mbakyu. Si Parman sudah memanggil Mbok Sayem. Sebentar lagi dia akan datang. Aku buatkan air hangat untuk Kasman, ya”. Bu Peni yang rumahnya berdempetan dengan Bu Pinem mencoba menenangkan.

“Bagaimana aku bisa tenang, Mbakyu. Anakku sudah sekarat. Sudah kupijat tiga hari pakai sarung ini. Oalah Le, mbok gek ndang waras!”

Kasman masih tergolek di dipan tengah sambil memegangi perutnya yang melilit. Ini hari keempat ia mendapat sakit aneh semacam itu. Setiap malam, ia akan merasa menggigil dan muntah. Tengah malam, ia meminta ibunya menemaninya di dekat kamar mandi. Diare hebat pun terus ia alami sampai pagi menjelang.

Kasman tak sendiri. Ada Bowo, Bambang, dan anak-anak seumurannya yang mengalami sakit serupa. Namun, diantara mereka, Kasmanlah yang paling parah. Tubuhnya sudah lemas dan nafsu makannya perlahan hilang.

“Mbakyu, ambilkan aku minyak kelapa. Aku akan mulai mengurut perutnya,” perintah Mbok Sayem kala ia sudah hadir di rumah Kasman.

Bu Pinem pun segera mengikuti apa yang diperintahkan pemijit itu. Tak lama, perut Kasman pun diurut. Remaja tanggung itu segera berteriak dan menangis keras. Sambil menutupi kaki Kasman dengan sarung motif kotak yang ia bawa, Mbok Sayem dengan telaten melakukan pijitannya.

Ajaib, Kasman pun mulai tertidur. Ia tak lagi muntah dan diare semalam itu. Bu Pinem membiarkan sarung motif kotak itu menutupi tubuh putranya yang mulai besar. Ia melipat sarung yang ia punya dan membawanya ke belakang. Melamun sebentar sambil menatap anaknya dari kejauhan.

“Mbakyu, apa memang syaratnya harus warna merah ya seperti yang dipakai Mbok Sayem. Kulihat tole sudah bisa tidur nyenyak”, suara Bu Peni mendadak membuat lamunan Bu Pinem buyar. Ia teringat suaminya yang meninggal juga sakit dengan gejala yang serupa.

“Entahlah. Barangkali benar demikian. Ini sudah larut malam, Mbakyu apa tidak segera pulang? Saya takut merepotkan, lho.”

”Sebentar lagi Mbakyu. Aku masih kepikiran tole. Ia sudah kuanggap anakku juga”.

Bu Peni baru pulang saat fajar mulai menyingsing, Kasman masih tertidur pulas. Esoknya, anak itu sudah bugar dan bisa makan meski tak selahap biasanya.

Kasman sudah sembuh, tetapi tiba-tiba beberapa remaja lain merasakan sakit yang sama. Mbok Sayem mulai kewalahan menghadapi permintaan pijatan perut kepada anak-anak itu. Tak hanya itu pula, sarung motif kotak yang digunakan sebagai media penyembuhan pun mulai langka. Orang-orang membeli sarung itu sebagai jaga-jaga agar anak mereka tak sakit seperti anak lainnya.

Mereka menggunakannya sebagai selimut tidur karena tak ingin mendapat sakit serupa. Pagebluk itu memang mengerikan. Seorang remaja yang rumahnya di pinggir sungai tiba-tiba mengalami muntah dan diare hebat sepanjang malam. Ia juga sudah diselimuti sarung motif kotak oleh orang tuanya.

Mbok Sayem yang memijatnya pun tak bisa berbuat banyak. Anak itu terus muntah dan diare hingga pagi menjelang. Tepat tengah hari, ia sudah tak bernyawa.

Orang-orang pun mulai bingung kembali. Ada yang mulai menyangsikan fungsi dari sarung kotak itu dan ada pula yang masih percaya bahwa ada sarung dengan motif lain yang sebenarnya bisa menjadi tolak bala dari penyakit tersebut.

“Pagebluk ini sudah tidak terkendali lagi. Anak-anak sudah banyak yang kena. Bisa jadi karena motif sarung tolak balanya beda dengan yang dipakai oleh Mbok Sayem,” kata Simin, seorang pemuda yang berjaga di pos ronda pada suatu malam.

“Ah, mana mungkin. Wong si Solekan yang kemarin dipijat Mbok Sayem juga mati kok. Padahal sarungnya pakai motif yang sama dengan si Kasman itu,” timpal Boim, rekan Simin yang mulai menyangsikan kehebatan sarung motif ini sebagai penolak bala.

Keduanya bingung. Lalu, Pak Haji Katirin yang datang dan mendengar pembicaraan keduanya menimpali, “Sarung motif apa pun kalau sudah kehendak Gusti Pangeran ya bakal bisa sembuh. Sudah, jangan ikut-ikutan orang-orang itu kalian ini”.

Simin dan Boim pun tersenyum. “Sarungnya buat sembayang Tarawih di langgar saja ya Pak Haji?” kelakar Boim.

“Nah, betul. Habis ini kan puasa.  Gara-gara pagebluk ini, sarung di langgar juga ikutan raib. Bagaimana nanti orang-orang pada Tarawih ini. Makanya kalau ada apa-apa dipikir dulu yang jernih,” Pak Haji Katirin kembali menambahkan.

Lambat laun, anak-anak remaja yang mengalami penyakit ini semakin banyak. Pak Kades yang meminta puskesmas di kecamatan untuk datang pun mulai menenangkan warga lantaran penyakit ini diakibatkan oleh air sumur dan sungai yang tercemar.

Peristiwa itu pernah terjadi beberapa tahun silam. Tapi yang diherankan warga, kenapa kini banyak menyerang remaja tanggung?

Itulah yang masih diperdebatkan. Termasuk, bagi mereka yang anaknya terkena penyakit ini dan belum juga sembuh meski sudah periksa ke puskesmas. Mereka pun masih ada yang mencari Mbok Sayem walau tak sebanyak sebelumnya akibat kematian Solekan tempo hari.

Hingga dua minggu sejak wabah menyerang, sudah lebih dari sepuluh remaja tanggung yang meregang nyawa. Lantaran dirasa tak banyak membantu, orang-orang tak lagi mencari sarung motif kotak itu.

Mereka memilih untuk segera memeriksakan anaknya ke puskesmas agar bisa mendapat perawatan meski harus merogoh kocek besar dan berjalan kaki amat jauh.

Orang-orang mulai bernapas lega. Kala menjelang puasa tiba, wabah itu mulai mereda. Hanya satu dua anak remaja yang masih sakit dan muntah. Mereka pun mulai tenang kembali.

Tetapi pada suatu malam, warga dikejutkan dengan teriakan keras dari seorang janda yang rumahnya tak jauh dari Kasman.

“Ada apa Bu Kasih?” para tetangganya bertanya pada wanita itu.

Sambil berteriak histeris, Bu Kasih menunjukkan anaknya yang mati tergantung oleh sarung motif kotak di kamarnya. Ia yang sudah dua hari sakit dengan gejala yang sedang mewabah tak mampu lagi bertahan. Menyaksikan ibunya bingung dengan apa yang harus dilakukan dan ketiadaan biaya yang mereka hadapi, ia merasa hidupnya harus diakhiri. 

***

9 Comments

  1. Kisah seperti ini kadang dulu ada mas, saat ada pagebluk biasanya orang nyari benda bertuah atau semacamnya, ya kayak sarung kotak ini yang dipercaya bisa menolak bala. Kepercayaan seperti ini biarpun sudah jarang tapi masih ada sekarang di pedesaan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar mas seringkali jadi bahan perdebatan juga ya

      Delete
  2. Serem endingnya. Ide ceritanya suka nih saya.
    Pagebluk memang bisa membuat orang betpikir diluar kenalaran mereka sendiri. Soalnya ketakutannya jadi masal sih ya. Semuaa jadi lebih takut. Sampai sarung pun bisa jasi dianggap penolak bala

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih
      begitulah kala di luar nalar jadinya segalanya dipakai ya mbak

      Delete
  3. motif sarung atau kain kotak? aku kok jadi teringat salah satu daerah yang memanh mensakralkannya ya

    btw endingnya ngenes ya mas, malah ada satu yang bunuh diri karena tak kuasa menahan derita akibat pagebluk

    #deritane wong cilik
    #satir

    nice fiksi mas ikrom, diksi diksine efektif nih, iyalah pak guru gitu loh jadi tata bahasa uda ga diragukan wekekekk

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga bingung mbak hahhaah
      ini maksain tema cerpen di Kompasaian

      iya mbak ini dari beberapa kepercayaan aja

      hahahha sa ae mbak padahal menurutku ini cerpen agak gaje lo hahaha

      Delete
  4. Cerpennya bagus, walau akhirnya bikin miris. Saya mencoba mencerna nama warga yang tidak biasa bagi saya, mungkin karena mereka warga jawa pedesaan. Istilah penyakitnya pun asing bagi saya. Hanya saja saya masih belum ngeh, kenapa yang diserang penyakit ini kebanyakan adalah remaja. Bukannya air sumur dan sungai digunakan oelh semua orang?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih
      memang ini latarnya di pedesaan jawa

      nah itu yang jadi permasalahan cerpen ini

      Delete
  5. Baru tahu kalau sarung bisa dipercaya sebagai penyembuh. Saya enggak tahu ini rujukan di desa mana, tapi setahu saya memang di kampung-kampung jika ada sakit semacam itu bakal dipercaya sebagian warga bahwa bisa ditangkal dengan benda-benda yang menurut mereka magis.

    Bunuh diri pakai sarung, hmm... kayaknya saya belum pernah menemukan kejadian begitu. Kalau di Jakarta mah sarung jelas-jelas buat perang-perangan sehabis Tarawih.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post