Belajar Mengecek Fakta dan Menangkal Hoaks Seputar Kesehatan dalam Workshop Online "Cek Fakta Kesehatan" bersama Komunitas ISB dan Tim Cek Fakta Tempo


Pandemi covid-19 telah berjalan hampir satu setengah tahun.

Sepanjang waktu itu, kita sudah banyak mendapatkan berbagai informasi seputar wabah ini. Banyak diantara informasi tersebut ternyata belum terbukti kebenarannya. Contohnya, awal-awal pandemi dulu banyak sekali informasi yang saya dapat dari WAG mengenai sinar matahari yang mampu mengobati penyakit ini.

Masalahnya, adanya informasi yang kurang tepat tersebut tidak saja sebatas pada penerimaan oleh seseorang. Yang sering terjadi adalah tindakan lanjut dari informasi tersebut dan penyebaran luas kepada orang lainnya. Akibatnya, muncul berbagai tindakan yang sebetulnya kurang tepat dari informasi palsu atau yang sering disebut hoaks.

Agar lebih bijak dalam mengolah informasi mengenai kesehatan dan terutama seputar covid-19, saya dan beberapa rekan dari Komunitas Indonesian Social Blogpreneur (ISB) mengikuti sesi kelas webinar “Cek Fakta Kesehatan” yang diadakan Tim Cek Fakta Tempo bermitra dengan Facebook pada 18-19 Juni 2021.

Kelas tersebut diisi oleh dua orang pemateri yakni Ika Ningtyas dan Siti Aisah dari Tim Cek Fakta Tempo. Nah sebelum memulai kelas, saya mendapatkan paparan mengenai kanal Cek Fakta Tempo. Kanal ini terdapat pada portal berita Tempo.co yang bertujuan untuk membantu masyarakat luas dalam mengidentifikasi hoaks yang terjadi. Mereka akan memilah berdasarkan fakta dan sumber yang kredibel sehingga masyarakat dapat mengentahui apakah sebuah informasi yang didapatkannya adalah fakta atau hoaks semata.

Mbak Ika Ningtyas dari Tim Cek Fakta Tempo menjelaskan materi
 

Keberadaan kanal Cek Fakta Tempo ini amat penting karena tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk mengecek fakta dari informasi yang telah ia dapatkan. Seperti saya nih, yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengecek fakta atau keaslian sebuah berita secara menyeluruh. Berkat kanal Cek Fakta Tempo, saya bisa membaca kesimpulan dari sebuah informasi yang saya dapatkan disertai dengan paparan infromasi pendukung yang jelas dan terpercaya.

Meski begitu, dengan mengikuti kelas Cek Fakta Kesehatan ini, saya mendapatkan gambaran utuh mengenai proses sebuah informasi dicek lebih lanjut sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat. Contohnya, ketika saya mendapatkan dua buah foto tentang suatu tokoh yang terkenal sedang berada di sebuah rumah sakit, saya pun harus menebak foto mana yang asli.

Saat ini, foto menjadi salah satu sumber hoaks yang paling utama karena mudah sekali dimanipulasi. Meski begitu, jika kita cermat dan teliti, kita bisa membedakan mana yang merupakan foto asli dan mana yang merupakan foto hasil editan.

Internet dan Hoaks

Setelah melihat foto editan itu, saya pun berpikir apakah hoaks baru muncul akhir-akhir ini?

Ternyata tidak. Menurut paparan Mbak Ika, hoaks sudah ada setua zaman manusia. Sejak dulu, ada saja kabar burung atau desas-desus yang disebarkan oleh manusia. Iya sih, sejak kecil dulu ada saja desas-desus yang saya dengar dan belum terbukti kebernarannya. Semisal, hoaks tentang cocokologi Serangan Gedung WTC tahun 2001. Saya juga ingat hoaks tentang This Man – sesosok pria – yang wajahnya kerap mampir dalam mimpi kita. Hoaks yang ternyata akal-akalan sebuah tim marketing dalam mempromosikan produknya.

Sosok hoaks This Man yang muncul pada 2008. - Wikipedia

Nah hoaks semakin berkembang karena penetrasi internet yang semakin cepat. Kecepatan internet dan perkembangan Teknologi Informasi (TI) membuat orang mudah membuat dan menyebarkan informasi. Pengguna internet yang cukup banyak di Indonesia ternyata tidak diimbangi dengan kualitas literasi digital yang baik. Berdasarkan data yang dari Kominfo dan beberapa sumber lain, kualitas literasi digital masyarakat Indonesia berada pada level sedang. Kualitas ini pun tidak merata di berbagai daerah di Indonesia. 

Indeks Literasi Digital Masyarakat Indonesia. - Kemkominfo

Masalah muncul ketika media sosial merupakan sumber informasi utama yang diakses luas oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak menempatkan berita online, situs pemerintah, atau media cetak sebagai sumber informasi utama. Padahal, ketiga portal tersebut kan media yang lebih terpercaya dibandingkan media sosial yang banyak menyebarkan hoaks dari berbagai sumber.

Masalah semakin runyam kala WhatsApp (WA) menjadi media sosial yang paling dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menerima informasi. Makanya, kekuatan “didapat dari grup sebelah” begitu sakti untuk menyebarluaskan informasi hoaks yang belum tentu dipastikan kebenarannya. Salah satu informasi dari WA yang cukup meresahkan adalah seputar sinar matahari tadi dan bawang putih yang dianggap bisa menangkap covid-19 dengan ampuh. 

WhatsApp menjadi media sosial yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia. - Sumber: Kemkominfo


Perjalanan Hoaks di Indonesia

Suka atau tidak, persebaran hoaks di Indonesia mulai masif terjadi saat Pilpres 2014. Saya masih ingat saat itu orang terdekat saya, baik keluarga, teman, atau kolega, saling menyebarluaskan hoaks seputar lawan dari jagoan mereka dalam Pilpres tersebut. Sejak saat itu, berbagai hoaks pun muncul dan silih berganti memenuhi ruang media sosial saya.

Kembali ke literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah, dengan penetrasi internet yang begitu masif, maka menurut beberapa sumber, hampir separuh populasi Indonesia terpapar informasi tanpa literasi. Tidak adanya edukasi yang cepat akan paparan tanpa literasi tersebut semakin membuat masyarakat kita begitu mudah mempercayai sebuah hoaks.

Terlebih, hoaks diproduksi dan disebarkan luas secara sadar oleh beberapa pihak untuk memenangkan pemilu. Akibatnya, polarisasi masyarakat akibat politik semakin tajam. Selain itu, fanatisme yang berlebihan terhadap suatu individu atau kelompok tertentu menyebabkan orang mudah sekali menerima dan menyebarkan hoaks.

Tiga Kategori Hoaks

Hoaks sendiri terbagi atas 3 jenis. Meskipun mirip, ternyata ada perbedaan yang cukup tajam. Saya sendiri kadang sulit membedakan diantara ketiganya. Setelah mendapatkan penjelasan dari Mbak Ika, saya bisa menggarisbawahi oh ternyata ada perbedaan jelas diantara ketiganya.

Pertama adalah malinformasi. Hoaks ini memenggal atau menyebarkan fakta obyektif tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga merugikan pihak lain dalam kondisi tertentu. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah kebocoran data pribadi pada aplikasi pinjaman online. Meskipun benar, ini juga sangat merugikan terutama bagi mereka yang tak ada sangkut pautnya dengan masalah yang dihadapi.

Kedua adalah misinformasi. Hoaks jenis ini nih yang sering terjadi. Seseorang yang mendapatkan informasi belum tahu apakah itu benar atau tidak tetapi sudah yakin bahwa itu penting dan akan menyebarkannya. Contohnya adalah kekuatan “didapatkan dari grup sebelah tadi”.

Yang terakhir dan paling membuat ngeri adalah disinformasi. Pembuat hoaks tahu bahwa informasi yang diciptakannya salah dan sengaja menyebarkannya. 

Bedakan ketiganya ya gaes. - Sumber: Kominfo.

Nah, jika ditinjau dari macam mis-disinformasi sendiri, ada 7 buah jenis konten hoaks yang sering beredar. Dari ketujuh macam mis-disinformasi tersebut, saya paling sering menerima konten menyesatkan. Konten jenis ini biasanya untuk membingkai suatu isu atau menyerang individu dengan memelintir sebuah berita.

Contohnya, sekitar bulan Mei 2020 lalu saya mendapatkan pesan dari WAG bahwa mengkonsumsi makanan dengan derajat alkali (pH tinggi) bisa menghilangkan virus covid-19. Pesan tersebut bermuara kepada salah satu akun FB yang memelintir mengenai derajat alkalinitas yang bisa digunakan virus covid-19 untuk hidup.

Padahal, menurut beberapa penelitian yang sudah teruji kebenarannya, pH tinggi memang akan membuat virus covid-19 tidak mampu bertahan dengan baik. Namun, kita tidak serta merta bisa menanggulanginya dengan makan makanan dengan pH tinggi karena tentu pH di dalam tubuh kita masih berada di kisaran virus covid-19 mampu bertahan baik.

Ada banyak alasan pembuatan konten mis-disinformasi. Alasan yang sering digunakan adalah sebagai bentuk propaganda dan alat politik untuk meraih kekuasaan. Tentu, alasan untuk meraih untung (click bait) juga menjadi salah satu alasan penting. Ada uang ada banyak cara yang dilakukan. Termasuk memproduksi konten hoaks. Bukan begitu teman-teman?

Cara Mengenali Hoaks dan Situs Abal-Abal

Maka dari itu, Mbak Ika dari Cek Fakta Tempo memberikan beberapa cara ampuh untuk mengenali situs abal-abal.

Pertama, cek alamat situnya. Ini menjadi dasar utama saat kita menerima informasi. Hoaks biasanya disebar oleh situs yang memiliki alamat tidak jelas. Menggunakan blogspot misalnya. Eh tapi bukan berarti saya mendeskriditkan teman-teman blogger ya. Ini maksudnya dalam rangka mengecek kebenaran sebuah informasi, kita bisa memulai dari mengecek situsnya. Situs media online yang terpercaya biasanya bisa kita jadikan rujukan. Untuk mengecek alamat situs kita bisa menggunakan alamat seperti domainbigdata.com.

Pengecekan alamat situs menjadi salah satu kunci untuk mengecek keabsahan informasi. Situs yang jelas akan memuat identitas orang-orang di balik situs tersebut secara gamblang.

Kedua, cek ada apa tidak data perusahaan media di Dewan Pers? Kalau ada dan sudah terdaftar di Dewan Pers, maka informasi dari situs tersebut bisa kita yakini kebenarannya. Ibarat kata nih, mereka sudah dapat cap stempel bahwa informasi yang mereka sebarkan sudah terbukti kebenarannya.

Ketiga, cek detail visualnya. Nah ini seperti editan foto tadi apakah ada bagian yang bisa jadi merupakan suntingan dan membuat foto tersebut terlihat aneh. Biasanya, saya mengenali ada tulisan super besar yang menutupi foto tersebut.

Keempat, waspada jika terlalu banyak iklan. Sebenarnya, hampir semua media online juga memuat banyak iklan tetapi penyebar hoaks biasanya mengutamakan jumlah iklan yang banyak daripada isi konten untuk meraih untung. Bagi mereka berlaku hukum: iklan dan pageviews >>>> kualitas dan kebenaran isi konten.

Kelima, yang cukup penting adalah bandingkan dengan ciri-ciri pakem media mainstream. Biasanya, media mainstream memiliki pakem yang khas berupa nama penulis berita di bawah judul. Untuk media abal-abal yang sering memelintir berita, nama tersebut tidak akan ada.

Keenam, cek isi menu about us dari media yang kita baca. Media yang terpercaya akan menampilkan berbagai informasi seputar identitas mereka dengan jelas pada menu ini. Semisal, alamat kantor, para dewan redaksi, dan sebagainya. Sementara, media abal-abal yang kerap melemparkan hoaks tidak akan menampilkannya.

Menu About Us juga menjadi kunci keabsahan situs yang memuat informasi.

Ketujuh, kita patut waspada jika menemukan judul yang sensasional. Judul yang wah dan membuat orang tertarik untuk membaca adalah salah satu tanda bahwa berita tersebut adalah hoaks.

Contohnya: “Corona adalah Bohong, Bukan dari Virus tapi dari Bakteri…..dst”

Ketika kita membacanya, maka rasa bombastis pun muncul. Orang awam yang memiliki literasi digital rendah akan mudah percaya. Terutama, mereka yang belum mampu membedakan antara virus dan bakteri.

Kedelapan, kita bisa mengecek apakah informasi tersebut juga ada pada media mainstream. Jika ada, maka kita harus membaca secara utuh agar tidak terjadi misinformasi. Jika tidak ada, maka kita patut waspada bahwa informasi tersebut adalah hoaks semata.

Nah yang terakhir adalah mengecek kebenaran foto pada google reverse image atau alat pencari keabsahan foto lainnya. Tin eye adalah salah satu contoh tools untuk mencari keabsahan foto yang bisa lebih akurat dibandingkan google reverse image.

Melakukan verifikasi foto dan video

Pada paparan selanjutnya, Mbak Ika mengajarkan kami mengenai cara memverifikasi foto dan video. Dalam melakukan pengecekan foto yang kita dapat, kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut.

Pertama, kita bisa memangkas atau melakukan cropping foto sebelum melakukan pencarian. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan fokus dari bagian foto yang akan kita analisis. Contohnya pada bagian foto yang terlihat ambigu karena merupakan sebuah suntingan.

Kedua, kita harus teliti melakukan pencarian. Alasannya, hasil satu pencarian dengan pencarian seringkali berbeda. Ketelitian yang kita lakukan sangat penting agar tidak menyimpulkan hasil keliru.

Ketiga, kita harus mengutamakan sumber foto pertama tersebut diambil. Sumber foto pertama adalah yang paling absah untuk kita yakini kebenarannya karena berasal dari sumber langsung.

Jika kita ingin mendapatkan hasil yang lebih mantap, kita bisa memasang ekstensi rev eye image search pada mesin pencari kita, semisal Google Chrome. Dengan memasang ekstensi ini, kita bisa melakukan analisis terhadap foto yang kita dapatkan ke beberapa mesin pencari, seperti Google, Bing, Yandex, Tin eye, dan lain sebagainya. Cara ini jauh lebih mudah menurut saya.

Cara menggunakan rev eye image search

Sebenarnya, untuk mendukung analisis menggunakan mesin pencari, kita juga bisa melakukan tanda-tanda atau ciri khusus dalam foto tersebut. Ini bisa kita lakukan jika kita kritis ya. Namun, kalau sebagai warganet yang baik, saat melihat sebuah kejanggalan, kita tentu bertanya-tanya dalam hati. Benar engga sih foto ini diambil di tempat tersebut?

Beberapa tanda tersebut adalah nama gedung, nama jalan, plat nomor kendaraan, huruf penanda bahasa, landmark (tugu) sebuah wilayah, dan bentuk jalan. Dulu, saya pernah mendapat foto yang menampilkan sebuah taman indah yang dinarasikan berada di Sememi Surabaya. Foto tersebut saya dapat dari WAG keluarga yang heboh karena ada taman sebagus itu di Surabaya.

Setelah saya cek beberapa penanda, ternyata ada salah satu tulisan berbahasa Arab. Loh kok ada tulisan berbahasa Arab? Apa iya ada tulisan bahasa Arab di taman itu? Di Surabaya?

Heboh taman yang dikira ada di surabaya. Sumber: Cek Fakta

Ternyata, foto tersebut merujuk pada Taman Dubai Miracle Garden yang berada di Uni Emirate Arab. Saya juga tidak yakin jikalah taman itu ada di Surabaya karena pasti sudah heboh dan disiarkan di media online atau TV.

Bagaimana jika kita ingin memverifikasi video?

Caranya hampir sama. Kita tonton videonya sampai habis dan kita cari di mesin pencari video seperti You Tube. Lalu, kita bisa memfragmentasi gambar dari video tersebut dan melakukan pencarian gambar seperti cara sebelumnya. Mendengarkan suara dalam video juga sangat penting karena bisa menjadi sebuah petunjuk penting. Untuk ekstensi yang bisa kita gunakan adalah InVid yang akan menampilkan sumber dari video yang kita analisis.

Infodemik

Setelah mendapat materi tentang hoaks dan cara menganlisisnya, pada hari kedua saya mendapatkan materi tentang Infodemik dan Cara Cek Fakta Kesehatan dari Mbak Siti Aisah. Infodemik sendiri adalah persebaran informasi yang sangat cepat mengenai sebuah isu. Saking cepatnya persebaran ini, maka kadang menimbulkan kesalahpahaman jika orang yang menerimanya tidak bersikap kritis. Tidak hanya itu, jika arus informasi yang disebarkan salah dan tidak ditangkal dari hulu atau permulaan penyebaran, maka dampaknya akan semakin masif

Infodemik di Indonesia sangat masif karena sebanyak 61,8% orang Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial yang menghabiskan waktu rata-rata 3 jam di media sosial. Iya sih, saat saya pergi ke mana pun, rasanya membuka media sosial menjadi tren yang tidak bisa ditinggalkan.

Dengan masifnya pengggunaan media sosial, maka cukup sulit untuk menemukan sumber panduan yang dapat dipercaya. Apalagi, kembali ke literasi digital masyarakat Indonesia yang rendah, infodemik yang terutama memuat masalah kesehatan amat sulit untuk dibendung mis/disinformasinya.

Apesnya, menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), terjadi peningkatan yang cukup pesat mengenai hoaks kesehatan di Indonesia. Dari 7 % (86 hoaks) pada 2019 meningkat drastis menjadi 56% (519 hoaks) pada 2020. Sungguh, delapan kali peningkatan jumlah hoaks tersebut sangat mengkhawatirkan karena kita  butuh informasi mengenai kesehatan yang kredibel di masa pandemi ini. Bahkan, hingga Maret 2021 ini, Kemkominfo telah mencatat sekitar 1.471 hoaks yang tersebar.

Wow, banyak sekali bukan?

Hoaks yang cukup meresahkan adalah informasi bahwa virus covid-19 sebenarnya tidak ada. Hoaks ini menyebabkan orang abai terhadap protokol kesehatan dan tidak berani pergi ke rumah sakit jika terjadi kegawatdaruratan karena takut di-covid-kan. Lebih parah lagi, hoaks tersebut banyak dipercaya usia muda yakni di bawah 30 tahun yang setiap hari lebih banyak mengakses internet. Mereka sering merasa ketahanan tubuhnya masih kuat sehingga tak mungkin tertular covid-19. Bahkan, beberapa hari lalu saya melihat sebuah video seorang pemuda yang dengan bangganya tidak percaya adanya virus covid-19 dan mengajak orang lain melakukan sama seperti mereka. Mereka juga menantang dengan memegang jenazah pasien covid-19 untuk membuktikan bahwa covid-19 nyata atau tidak.. Miris bukan?

Kemampuan Dasar Cek Fakta Kesehatan

Agar kita bisa mengecek fakta kesehatan, ada beberapa tahapan yang bisa kita lakukan. Salah satu yang utama adalah mengecek keaslian sumbernya. Dari manakah sumber informasi tersebut kita dapatkan?

Satu hal yang paling sulit adalah jika kita mendapatkan sumber tersebut dari WAG. Sungguh, ini sering membuat saya ngilu karena tidak jelas dari mana si penyebar isu tersebut mendapatkan informasi. Makanya, identifikasi lanjutan berupa membaca isinya sampai tuntas, mengidentifikasi penulis, mengecek tanggal, mengecek bukti pendukung lainnya, mengecek bias, dan mengecek organisasi pemeriksa fakta.

Hmm…. Cukup sulit ya…. Bagaimana jika kita tidak memiliki waktu banyak?

Kita cukup mengecek fakta tentang kesehatan dari organisasi pemeriksa fakta. Contohnya adalah Cek Fakta Tempo yang sudah banyak memeriksa fakta kesehatan terutama dalam kaitannya dengan covid-19. Kita bisa membaca kesimpulan dari Tim Cek Fakta Tempo yang sudah melakukan analisis mendalam seputar isu kesehatan yang sedang berkembang. Hasil analisis Cek Fakta Tempo ini bisa kita sebarkan ke WAG terutama keluarga agar mereka bisa mendapatkan informasi yang komperhensif mengenai keabsahan sebuah isu kesehatan.

Ada tiga dasar kemampuan cek fakta yang dipaparkan oleh Mbak Aisah. Kemampuan pertama adalah mengecek fakta dari sumber terpercaya. Dalam memeriksa fakta kesehatan, situs resmi seperti IDI, Kemenkes, WHO, dan lain sebagainya harus kita jadikan rujukan utama.

Selain itu, kita juga bisa membaca jurnal ilmiah mengenai kesehatan yang telah diterbitkan. Jurnal ini amat membantu kita dalam melihat perspektif fakta kesehatan dari sisi ilmiah atau yang telah diteliti secara akademik. Namun, dalam membaca dan memahami jurnal ilmiah ini, kita perlu memerhatikan kemampuan cek fakta yang kedua, yakni perbedaan antara peer review dan peer print.

Peer review adalah jurnal atau hasil penelitian yang sudah dievaluasi oleh para pakar. Jurnal seperti ini menjadi standar utama rujukan untuk mencari fakta. Biasanya, tanda jurnal yang sudah peer review tercantum pada bagian atas dari identitas jurnal tersebut.

Proses peer review. - http://www.ijeijournal.com

Peer print adalah jurnal atau hasil penelitian yang belum dievaluasi secara independen oleh para ahli. Biasanya, ada informasi pengingat mengenai tindakan penelitian lebih lanjut dari jurnal-jurnal peer print ini. Jurnal yang meneliti tentang virus covid-19 sebagian besar adalah peer print karena varian virus ini masih baru dan sebelum 2019 belum banyak peneliti yang melakukan penelitian akan virus ini. Berbeda dengan virus lain semisal virus HIV, cacar, dan lain sebagainya.

Kemampuan terakhir yang cukup penting adalah membedakan studi korelasi dan sebab akibat. Dalam menerima sebuah informasi kesehatan, kita sering bingung apakah suatu variabel pasti mempengaruhi variabel lain atau hanya berhubungan saja.

Studi korelasi mengukur derajat keeratan dari dua variabel, baik yang sudah jelas maupun yang masih diteliti. Sedangkan, studi hubungan sebab akibat menyangkut kausalitas dari satu variabel yang pasti mempengaruhi variabel lainnya.

Contohnya, usia tua dan probabilitas terkena covid-19. Ada informasi bahwa usia tua menyebabkan covid-19. Padahal, yang benar adalah usia tua berhubungan dengan kemudahan seseorang terkena penyakit covid-19 karena daya imunnya yang rendah tetapi tidak mempengaruhi secara langsung. Banyak juga kan orang usia muda yang terkena covid-19 dan meninggal karena cukup parah? Kemampuan ini juga sangat penting untuk kita ketahui lebih dalam.

Setelah mengikuti workshop online bersama tim Cek Fakta Tempo saya memiliki kesimpulan bahwa memang butuh proses yang panjang agar kita bisa mengecek fakta seputar kesehatan. Jika kita memiliki kemampuan ini, maka kita bisa menjadi ujung tombak untuk menangkal hoaks di masyarakat, terutama yang paling dekat pada keluarga dan teman kita.

Tantangannya adalah, ketika suatu fakta sudah diungkap mendalam dari persebaran sebuah hoaks, maka timbul hoaks lain yang semakin liar. Untuk itulah, rekomendasi mencari sumber yang terpercaya, semisal kanal Cek Fakta Tempo adalah solusi jitu. Lantaran Cek Fakta Tempo adalah organisasi pemeriksa fakta kredibel dengan orang yang kompeten di ahlinya sehingga fakta seputar kesehatan bisa kita dapatkan secara komperhensif.

Jadi, saya mengajak tema-teman semua terutama blogger yuk mulai sekarang lebih jeli lagi dalam mengecek fakta informasi sebelum meyakini dan menyebarkannya. Sebagai blogger yang kerap berinteraksi di dunia digital, kita juga bisa berperan dalam "komunitas anti hoaks". 

Yuk kita tingkatkan literasi digital kita!

26 Comments

  1. Betul mas, apalagi saat ini jika berita itu dalam bentuk tulisan apalagi video mudah sekali sangat viral jika kontennya berisi hal-hal yang negatif dan bisa dijadikan bahan untuk diviralkan maka seketika itu juga konten tersebut viral, tanpa mengetahui efek yang terjadi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mudah sekali dipelintir ya mas
      terutama yang menjurus ke hal negatif

      Delete
  2. Kok miris yaaa. Sudahlah dalam hal membaca aja Indonesia peringkat nyaris terendah, eh ditambah literasi digitalnya juga sama aja rendahnya :(.

    Aku ga pernah mau percaya dengan smua informasi yg asalnya dr grub mas. Mau itu wa kek, FB kek ATO medsos lain. Buatku kalo mau cek informasi terpercaya, ya masuk ke situs resmi, media resmi, line telp resmi yg semuanya udh jelas. Di luar itu, jujurnya aku males bacanya. Apalagi yg klik baik hahahaha. Aku block langsung linknya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya aku juga baru percaya kalau dari sumber resmi ya mbak
      tapi memang sedih sekali melihat literasi digital masyarakat Indonesia yang masih belum baik

      Delete
  3. Belum ada komen, Mas Ikrom. Baru dibaca srparoh. He he ....

    ReplyDelete
  4. wah aku juga suka banget baca tempo mas. kalo semisal ada berita aku biasa crosscheck dulu di tempo atau kalo nggak bbc biar nggak dikira nyebarin berita hoax hehe 😂
    btw perihal berita, kadang suka sedih kalo liat berita viral di indonesia kebanyakan yang rada nggak bener huhu :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tempo memang pas buat cross check berita ya mbak
      kredibilitas mereka sudah tak diragukan lagi

      iya sedih memang lihatnya

      Delete
  5. Hoak memang sekarang makin merajalela apalagi sekarang penyebarannya makin mudah lewat WhatsApp atau sosial media seperti Facebook.

    Tahun 2014 sejak pilpres memang hoax makin menjamur untuk menjatuhkan salah satu calon, banyak foto dan video editan yang beredar.

    Terus tahun kemarin waktu awal korona juga ada isu kalo hape cina bisa menyebar kan virus korona, katanya lewat internet, setdah canggih amat virus korona bisa nyebar pakai internet.😂

    Untungnya di kasih mas Ikrom cara meneliti suatu konten apakah ini hoax atau bukan, makasih ya mas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang sejak Pilpres 2014 hoaks semakin merajalela ya mas
      dan kadang engga masuk akal juga hoaknya tapi banyak juga yang percaya

      makanya kita harus pinter-pinter cross check hoaknys itu ya mas

      Delete
  6. Hoaks memang sesuatu yang mengerikan. Makanya sekarang jika lihat berita saya cuma baca sekilas dan tidak langsung percaya. Apalagi meneruskan pesan dari grup sebelah, ngga perlu deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya terusan dari tetangga sebelah memang bikin bahaya ya mbak

      Delete
  7. Hoaks ini memang marak sekali ya, Mas. Kemarin marak gara-gara pilpres, sekarang marak lagi gara-gara Corona. 🥺

    Kalau yang aku alami, penyebaran hoaks yang masif itu di grup WhatsApp keluarga besar. Dan yang menyebarkan malah para sesepuh. Mau aku bilangin kalau itu hoaks, tapi takut kualat. Gimana dong, Mas Ikrom? 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. mereka penyebar hoaks memang pinter cari timing ya mbak apapun peristiwanya

      kalau aku sih ya share balik link cek fakta dan meminta mereka baca dulu
      kalau udah engga mempan ya udah itu urusan mereka yang penting kita sudah berusaha hehe

      Delete
  8. Saya dong, selalu kelewatan kalau ada yang menarik kek gini hiks.
    Btw, kalau saya, menangkal hoax itu gampang, yaitu... tanya best friend dulu aka google dulu hahaha.

    Terlebih setelah lama malang melintang di dunia online, saya udah sering juga kan liat banyak yang nyebar berita hoax, jadinya apapun beritanya, saya googling dulu, cari berita sumbernya, baru berani share.

    Karena, asal share itu kamseupay aja deh, hahahaha.
    Yuk perangi hoax, biar keren dan ga kamseupay :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener googling dan baca seksama ya mbak
      bener ngga si itu berita?

      hahhahaha iya kamsupay banget ya penyebar hoaks itu

      Delete
  9. Kalau aku sekarang buat meminimalisir kena hoax, aku mengurangi main medsos macam Twitter, FB, IG. Dan kalau mau baca berita, aku langsung ke media terpercaya saja yang aku langganan, seperti koran dan majalah Tempo, Kompasdotid, dan The New York Times.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ngurangi main medsos juga kunci mbak
      langsung ke portal berita yang legit aja ya bacanya

      Delete
  10. Hoaks paling jahat itu yang bilang covid itu konspirasi global. Bisa membunuh banyak orang.

    Kalau terima berita selalu cross check dulu. Nggak percaya sama yg nadanya main di emosi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya makanya banyak orang yang engga aware dan menyepelekan'
      ini yang bikin ngeri ya

      Delete
  11. Aku sebel banget kalau liat temen apa apa share inilah itulah tapi kayak ga dibaca dulu isinya apa...huhu.. makanya aku males direkrut joint grup ini itu soalnya males nanti pasti ada yang bikin thread pro kontra, atau berita berita heboh wkwkkw...soale aku ncen pada dasare males mas...palagi kalau dah nyangkut kasus, oandemi..aduh beritane makin sinpangbsiur sing viral viral kakehan dishare tali rung genah bener ga nyah..

    eh btw aku malah ga ngeh ada tokoh this man kui loh...wah 2008 aku lom gape megang internet kayake kui jaman jaman aku isih cuma ngenet mung ngetik tugas sekolah tok wkkwkwkkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. KZL banget ya mbak nit
      apalagi kalau udah kesebar di banyak orang dan bikin panik

      itu jaman jadul mbak dulu pas awal2 FB hebohnya
      sampe ada juga si serialnya klo ga salah

      Delete
  12. Wag emang paling sering jadi tempat berita hoaks atau misinformasi. Apalagi kalau sudah ketemu para orang tua. Langsung main forward dan percaya dengan informasi yang disampaikan. Arkhirnya yang lebih muda memberitahu ttg informasi sebenarnya.

    Berita hoaks yang sering disampaikan akhirnya terlihat seperti berita benar. Yang akhirnya menyesatkan banyak orang.
    Niat membaca dan literasi digital, netizen sini emang rendah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener mas main FWD dan langsung percaya ya
      kalo diberi tau susah huhu

      makanya harus sering dan pinter memilah berita yang baru kita dapat

      Delete
  13. Aneh emang orang-orang kita tuh.. Lebih percaya hal-hal yang ada di medsos macam tiktok, Ig, WA, FB.. hmmm di tiktok apalagi. Ya Ampunn, sampe cape aku ngereportnya. meskipun belum tentu di respon juga sama pengembangnya..

    Apalagi Ini kan Pandemi ya. Semuanya dibuat konten demi popularitas.. Padahal Keadaan lagi sulit. Tapi mereka berlaga jadi orng yang tahu segalanya.. Well, Pemerintah lagi jor2an usaha ini itu, Resource kan juga terbatas. Seharusnya warganya bisa lebih bekerja sama dalam hal ini. seperti saling peduli sama orang sekitar yang positif. dibantu suplai makanan semisalnya, atau terus ditanya kabarnya bagaimana hari ini..

    ehh ini mah malah digunjingin, dan lain sebagainya... hmmm

    mana ada beberapa orang yang percaya Covid ini settingan lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas mereka lebih bercaya sebaran hoaks dan lain sebagainya dari WA dkk

      makanya kita harus membantu pemerintah juga buat nyadarin mereka yang tersesat
      wkwkwkwk tersesat jare

      Delete
Next Post Previous Post