Bahagia Ketika Bisa Sukses Menulis Kritik akan Sebuah Masalah

Definisi bahagia dan sukses bagi setiap orang berbeda-beda.

Ada yang mampu mengejar jabatan yang tinggi, mampu mendapatkan uang yang banyak, atau bahkan telah memiliki prestasi lain. Kadang, banyak orang ingin sekali mencapai bahagia dari standar-standar tersebut. Namun, dengan ditangkapnya pasangan selebritis Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani atas kasus narkoba kemarin membuat saya semain sadar bahwa jabatan, kekayaan, atau prestasi duniawi tidak menjamin kebahagiaan hidup seseorang.

Ya, barangkali bagi sebagian orang akan merasa bahagia di suatu titik tetapi tidak pula lantas menjadi ukuran kebahagiaan bagi banyak orang. Saya lalu berkaca pada diri sendiri sendainya saya memiliki tingkat kekayaan, jabatan, atau apa pun yang dianggap banyak orang sebagai standar kebahagiaan.

Tiba-tiba, saya merasakan was-was yang luar biasa. Bagaimana jika uang saya nanti yang amat banyak itu dirampok? Bagaimana jika jabatan saya yang menyentuh langit menjadikan saya target pembunuhan seperti yang dialami oleh Presiden Haiti beberapa hari lalu. Saya juga tak mau jikalau keahlian saya malah menjadi boomerang bagi saya karena saya sombong dan terbebani.

Maka, saya pun mencoba mencari kira-kira apa yang membuat saya bahagia dan sukses yang tidak dimiliki oleh orang lain. Yang sederhana dan simpel saja. Ternyata, setelah saya merenung, saya pun menyimpulkan bahwa saya bahagia ketika berhasil menulis kritik akan sebuah masalah. Ya, menulis kritik tentang suatu masalah di sekitar saya yang menjadi beban bagi saya pribadi atau pun orang lain.

Ide untuk menuliskan kritik tersebut yang sering muncul tiba-tiba adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada saya. Lalu, agar anugerah tersebut tak sia-sia, maka saya pun sebisa mungkin untuk menuliskannya agar dibaca orang banyak. Terlebih, jika kritik yang saya sampaikan berkenaan dengan hajat hidup orang banyak.

Saya merasa puas jika tulisan saya dibaca oleh banyak orang terutama pihak yang berkepentingan dan menjadi target kritik saya. Terlebih lagi, jika pejabat tersebut menanggapi apa poin-poin yang menjadi kritikan saya sehingga menjadi evaluasi bagi mereka.

Contohnya, ketika kemarin saya merasa sangat tidak nyaman dengan teman-teman yang sedang mem-buzzer informasi seputar vaksinasi. Sebenarnya saya sangat mendukung kegiatan tersebut. Apalagi, kini banyak orang yang termakan hoaks vaksin sehingga menolak dan malah mengajak orang lain untuk tak mau divaksin.

Akan tetapi, ajakan para buzzer tersebut tidak diimbangi dengan informasi yang jelas mengenai tata cara pendaftaran vaksin dan jumlah ketersediaan vaksin di suatu daerah. Yang penting ayo vaksin, ayo vaksin, dan saya siap divaksin. Bagaimana kelanjutannya? Entah.

Klik untuk memperbesar

Lalu, di sisi lain, saya melihat saudara dan rekan di sekitar saya kelimpungan untuk mencari tempat vaksin. Mereka kebanyakan pekerja lepas yang harus berjuang sendiri dalam mendapatkan vaksin. Berbagai layanan pendaftaran vaksin kerap penuh dan saat mereka bertanya kepada pihak yang berwenang seperti Puskesmas atau pun Dinas Kesehatan, jawaban mereka sungguh tak memuaskan. Padahal, mereka sudah meluangkan waktu tidak bekerja dan bahkan ada yang rela datang ke pusat kesehatan selepas subuh.

Maka, dengan segenap daya dan upaya, saya pun menuliskan kritik atas masalah ini di Kompasiana. Saya pun mengirimkannnya kepada Wali Kota, anggota DPRD, dan beberapa pihak lain yang berwenang. Saya juga tak patah semangat untuk menyebar tulisan saya di berbagai media sosial.

Saya sempat mendapat cibiran dan dicap sebagai SJW karena memperkeruh suasana yang sedang genting ini. Cap tersebut malah membuat saya semangat bahkan berlipat ganda. Saya teringat perjuangan beberapa pahlawan nasional yang tak sekadar mendapat cibiran bahkan ancaman pembunuhan.

Puji syukur, suara saya didengar. Seorang angota DPRD Kota Malang yang menangani masalah kesehatan ini mulai serius menangani hal ini. Beberapa poin dari saran dalam tulisan saya akan diteruskan ke Wali Kota sehingga semua warga yang memenuhi syarat akan divaksin. Mereka juga akan mencari cara agar vaksinasi tidak menimbulkan kerumunan. Sungguh, meskipun sepele, bagi saya kesuksesan semacam ini membuat saya bahagia.



Makanya, saya terus bertekad untuk terus menulis dan menuangkan ide kritik yang terjadi di sekitar saya semampu saya dan seobyektif yang saya bisa. Saya sadar kemampuan dan anugerah ini tidak dimiliki oleh banyak orang.  Inilah yang tetap menjadi bahan bakar jika saya ragu apakah akan menuliskan kritik tersebut atau tidak.

Ketika saya was-was, saya kerap terbayang wajah orang-orang yang membutuhkan bantuan dari tulisan yang keluar dari saya. Beberapa kali saya pernah tidak jadi menulis karena bimbang jikalau tulisan saya akan berdampak pada diri saya. Semisal, saya bisa dijerat dengan UU ITE seperti yang dialami oleh You Tuber Beni Edward karena kerap membuat video yang mengkritik kinerja oknum polisi.

Namun, saya pun kembali memantapkan hati jikalau menurut saya benar dan sudah melalui beberapa kali studi literasi atau cross check di lapangan, maka saya harus segera menerbitkan tulisan saya. Ketika tulisan itu terbit, ada dua perasaan yang saya rasakan. Cemas sekaligus lega.

Rasa lega akan sering mendominasi diri saya karena saya berhasil melawan rasa takut dari dalam diri. Rasa takut pula atas penilaian orang sekitar.

Untuk itu, kini saya sudah abai dan masa bodoh ketika ada omongan bahwa saya harus menulis “yang baik-baik saja” agar nama saya tetap bersih dan klien tidak lari dari saya. Bagi saya, di tengah pandemi semacam ini mempertahankan nama demi cuan bukanlah pilihan bijak. Ketika saya memiliki anugerah untuk bisa menyuarakan apa yang seharusnya saya suarakan tetapi saya malah menutupinya dengan mendengungkan informasi yang berkebalikan, rasanya ada perasaan bersalah yang terus-menerus.

Semisal tentang info vaksin tadi. Bisa saja saya tetap “menjaga nama” dengan mengajak orang vaksin tanpa ampun. Namun, saat saya mati dan ditanya oleh malaikat:

“Kenapa kamu ngajak orang lain vaksin tetapi orang yang kamu ajak kelimpungan mencari vaksin?”

Hayo, saya harus jawab apa pada malaikat?

Terlebih, saya baru membaca informasi bahwa tidak ada data yang sinkron antara penerima vaksin dengan data kependudukan. Makanya, pembukaan vaksinasi beberapa hari ini cukup kacau. Dengan berhasil menyuarakan apa yang saya amati dan rasakan, itu adalah kebahagiaan dan kesuksesan sendiri.

Sekian, dan terima kasih.

7 Comments

  1. Naah ini yg benar. Aku ga pernah keberatan dengan yg namanya kritik, asal disampaikan secara baik dan sopan. Buktinya toh ditanggapi juga dengan orang yg punya wewenang :D. Coba kalo disampaikan dengan kasar, yg ada ga dipeduliin ATO malah kesandung ITE .

    Setuju mas, menyarankan sesuatu yg bagus sah sah aja. Tapi mbok ya kalo bisa komplet infonya yaa :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak asal masih proporsional ya dan kalau memang ada kinerja bagus ya gpp diapresiasi
      tergantung sikon lah

      Delete
  2. Salut buat mas Ikrom yang berani menulis kritik untuk pemerintah. Memang kadang was-was juga menulis tentang kritik, takutnya malah diciduk dan kena pasal UU ITE.

    Berkat kritik mas Ikrom akhirnya ada pejabat DPRD yang mau bergerak menangani masalah vaksin ya.

    Tetap semangat mas, abaikan omongan orang yang tidak suka.😃

    Btw, aku ngomong gini, tapi aku sendiri malah nulis yang bagus-bagus tentang pemerintahan.😂😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya jeratan UU ITE memang ngeri2 sedap ya mas

      wkwkwk ah masa si kayaknya mas agus juga sering ngritik deh

      Delete
    2. Serius masih nulis yang bagus tentang pemerintahan?

      Setelah melihat situasi sekarang, enggak bisa lagi saya melihat hal bagusnya. Sekadar permintaan maaf yang belakangan ini dipuji sama beberapa orang aja, saya masih sangat marah. Saya baru bisa memuji jika permintaan maafnya itu diiringi dengan penanganan yang baik atas persoalan yang sedang dihadapi. Bukan omong kosong belaka.

      Delete
  3. Salut kak Ikrom. Kritik kalau memberi pemecahan dan sopan harusnya bisa diterima dengan baik.

    ReplyDelete
  4. Setuju mas...

    Sepakat aku. Aku termasuk bagian yang pro vaksin,sudah ndftar di faskes pemerintah terdekat...tapi ternyata mekanismenya masih semrawut

    Tak kira akan dapat undgan via SMS kayak guru, PNS yang rombongan awal dulu. Ternyata klo rakyat jelata harus ambil antrian dari pagi buta..ada batas kuota..

    ReplyDelete
Next Post Previous Post