Berjalan Kaki di Bekas Lokalisasi Dolly untuk Melihat Apakah Masih Ada Prostitusi Tersembunyi

Pintu masuk kawasan Putat Jaya, bekas Red Light District paling besar di Surabaya.

Narasi sebagai bekas lokalisasi terbesar di Asia Tenggara membuat nama Gang Dolly dikenal hingga kini.

Nama buruk tetap melekat meski penutupan lokalisasi ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Isu mengenai transaksi seks bawah tanah terutama sejak ekonomi Surabaya dihajar pandemi kerap pula hadir sebagai bumbu yang entah sampai kapan menjadi santapan masyarakat akan keberadaan kampung ini.

Sebelum pandemi, saya sempat berkeinginan untuk berjalan-jalan dan melihat seperti apa sih tempat ini. Dalam narasi berita maupun karya sastra mengenai Gang Dolly, saya selalu mendengar cerita bahwa dulu di sini, para wanita yang akan disewa dipajang terlebih dahulu di ruangan kaca, Nantinya, para pria hidung belang akan memilih dari luar dan memesannya melalui mucikari. Yah seperti memilih kue tart di sebuah toko roti.

Setelah terjadi deal harga antara pria hidung belang dan mucikari, nantinya sang PSK akan dipanggil dan disuruh menemani para pria hidung belang sampai puas sesuai harga yang disepakati. Mucikari pun dapat untung, PSK dapat uang, dan pria hidung belang dapat kepuasan.

Bu Risma yang saat itu menjadi wali kota Surabaya pun menutup lokalisasi yang berada di sekitar Jarak, Putat Jaya, dan Kupang Gunung Timur ini pada 2014. Sejak penutupan itu, tak ada lagi denyut kehidupan transaksi seks secara terang-terangan di sini. Wisata seks yang dulu pernah didengungkan pun kini tak lagi tampak jelas.

Keinginan saya pun baru terlaksana beberapa waktu lalu ketika kasus covid-19 menurun. Saya ingin berjalan santai di suatu akhir pekan di Gang Dolly. Dari penginapan saya di daerah Diponegoro, saya menuju sebuah minimarket di Jalan Jarak.

Jalan Jarak dolly surabaya
Kondisi Jalan Jarak Surabaya

Jalan ini merupakan jalan utama penghubung gang-gang di Gang Dolly. Jalan ini menjadi pintu masuk ke lokalisasi Gang Dolly dari berbagai arah, semisal dari arah Banyu Urip maupun beberapa wilayah lain di Surabaya. Ketika melintas di jalan ini, suasana seperti kampung mahasiswa malah yang pertama kali saya temui.

Laundry, warung lalapan, toko pulsa, hingga rental dan fotokopi begitu ramai menyesaki jalan ini. Diantara sekian usaha yang tumbuh subur di Jalan Jarak ini, usaha laundry adalah yang paling mendominasi. Bahkan, banyak diantara usaha ini yang memiliki harga sangat murah jika dibandingkan usaha laundry kebanyakan.

Laundry Jalan Jarak
Laundry di Jalan Jarak

Ada salah satu laundry di Jalan Jarak yang harga paket cuci keringnya sampai 10.000 per 8 kg. Lah saya hitung hanya sekitar 1000an dong per kilogram. Usaha ini amat ramai didatangi oleh para pelanggan yang melakukan pelayanan secara self service. Artinya, pelanggan akan mendapat koin yang akan digunakan untuk mencuci baju mereka. Bagi saya harga ini sangat murah.

Beberapa warung lalapan juga banyak yang ramai melayani pembeli, baik yang dine in maupun takeaway melalui ojek online. Meski tidak seramai warung lalapan, beberapa warung nasi goreng juga melayani satu dua pembeli. Kalau kata orang Jawa mlintu. Biar tidak banyak, tapi asal ada pembeli.

Sebuah gang di Putat Jaya, Gang inilah yang disebut sebagai Gang Dolly

Dari Jalan Jarak, saya melangkahkan kaki ke Jalan Putat Jaya Gang Lebar. Konon, dahulu di sini juga merupakan salah satu red district paling red alias paling ramai ketika kejayaan Gang Dolly mencapai keemasan. Harga murah dengan kualitas perempuan yang oke punya menjadi cerita yang kerap terdengung saat itu.

Baru melangkahkan kaki beberapa meter, seorang wanita dengan bedak menor tampak melihat saya berjalan. Tatapannya seakan curiga karena saya ketahuan memotret gang tersebut. Saya pun mengucapkan kata permisi yang disambutnya dengan senyuman hangat. 

Seorang wanita tampak duduk di sebuah kos di Gang Dolly

Saya menduga, ia adalah seorang – bisa jadi masih atau sudah mantan PSK - yang entah sedang apa. Saya juga ditatap curiga oleh beberapa wanita lain yang sedang bergosip sambil merokok. Lantaran tak bisa mengambil foto atau video dengan leluasa, saya pun sok memberi kabar kepada rekan tempat atau posisi saya. Pura-pura menelepon bahwa saya sedang tersesat dan memotret agar sang teman saya membaca pesan dari saya mengenai lokasi saya. Dengan begini, semoga saja mereka tidak curiga kalau saya sedang kepo mencari konten atau bahkan sedang survei lokasi untuk memesan PSK dan menghubungi mucikari. 

Salon-salon banyak yang berdiri di eks lokalisasi Dolly

Bukan pepesan kosong, sejak penutupan lokalisasi Dolly, praktik sewa PSK pun bergeser. Dari jalur memajang di ruang kaca akuarium menjadi jalur online dengan memajang foto calon PSK. Jika sudah ada deal antara tamu dan mucikari, maka mucikari pun akan mencari tempat untuk melakukan aktivitas seksual. Entah di hotel sekitar Gang Dolly atau kamar-kamar kos yang disewa oleh para PSK sendiri. Semuanya sudah diatur oleh mucikari, baik uang yang diberikan PSK dan uang sewa kamar yang akan digunakan.

Saya memang berhati-hati, tidak asal memotret demi konten dan tentunya menjaga privasi. Bagaimanapun, mereka memiliki hak privasi yang tidak bisa sembarangan diambil untuk keperluan komersial. Meski begitu, saya tetap mengambil gambar yang sekiranya tidak terlalu privasi.

Suasana anak bermain di eks Lokalisasi Dolly. Dulu, cukup banyak anak-anak di daerah ini yang terinfeksi HIV/AIDS. Kini jumlahnya sudah menurun sejak penutupan Dolly.
 

Beberapa tempat yang bagi saya privasi adalah warung kopi yang juga sangat ramai di Gang Dolly ini. Di sini, cukup banyak Bapak-Bapak yang ngopi sambil ber-haha-hihi dengan pemilik warung dan beberapa wanita yang tampil dengan cukup seronok. Saya tidak tahu dan tidak mau berspekulasi jika mereka masih melakukan transaksi seks di tempat itu, Yang jelas, beberapa tempat ngopi yang saya temui sangat ramai dengan suara musik kencang. 

Sebuah panti pijat di Gang Dolly

Perjalanan saya berlanjut hingga berjumpa dengan sebuah masjid besar. Dari masjid ini, saya melihat anak-anak keluar rumah ibadah itu. Mereka baru pulang mengaji. Saya senang melihat pemandangan ini karena rantai kehidupan gelap harus diputus sedari dini dan sejak sekarang. 


Namun, rasa bahagia saya sirna ketika saya menemukan beberapa panti pijat yang masih buka. Panti-panti pijat ini berdiri di sebuah rumah kecil yang sungguh gelap. Entah pijat model apa yang mereka berikan yang jelas saya masih sangsi jika tempat pijat seperti ini hanya melayani pijat refleksi atau pijat biasa. Bukan saya berprasangka buruk tetapi melihat gelagat kurang baik dari beberapa wanita yang duduk sambil merokok di depan rumah panti pijat tersebut, saya hanya bisa berprasangka seperti itu.

Salah satu tanah dan bangunan di Gang Dolly yang kini menjadi aset Pemkot Surabaya

Cukup lelah juga berjalan kaki dari daerah Putat Jaya, Jarak, hingga Kupang Gunung Timur. Saya sampai ngos-ngosan ketika berpindah dari satu gang ke gang lain. Maklum saja, dari total 15 RW di Kelurahan Putat Jaya, 5 diantaranya adalah bekas tempat lokalisasi Dolly-Jarak. Ini artinya, sepertiga dari wilayah Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan Surabaya adalah red district di kota Pahlawan ini.


Di sebuah sudut gang, saya berhenti sejenak dan berjumpa dengan seorang ibu. Dari penampilannya, saya yakin ia bekas atau masih menjadi mucikari.Sang ibu bertanya maksud saya yang segera saya jawab bahwa saya sedang tersesat dan akan ke sebuah minimarket. Saya meneguk minum sejenak dan berbincang mengenai daerah ini. Saya hanya bertanya kalau Malam Minggu seperti ini jalanannya menjadi sangat ramai. Ibu itu hanya tersenyum dan  membalas pertanyaan saya dengan desahan berat.

“Ya sekarang gini, Mas. Mau bagaimana lagi”.

Saya mengerti maksud ibu itu. Meski dalam hati ingin mencari lebih tahu lagi tetapi saya takut dengan suaminya yang kurang bersimpatik. Saya pun pamit permisi dan mengatakan teman saya sudah datang. Untuk kesekian kali, saya mendapat tatapan curiga dari warga di sini. Saya paham sekali mereka melakukan hal tersebut. Bukan sebuah hal mudah tinggal di daerah yang sudah mendapat stigma negatif dan kerap dikorek kehidupannya oleh orang dari luar.

Saya akhirnya menyerah untuk meneruskan berjalan kaki. Sebenarnya, saya masih ingin menjelajah lagi dan menuju bekas rumah bordir yang katanya dulu bisa menampung puluhan PSK. Saya hanya berharap jikalau tempat ini memang diniatkan untuk digunakan sebagai usaha halal, semisal usaha kuliner, maka harus ditata lebih baik lagi. Semisal, ada pujasera yang nyaman atau petunjuk tempat-tempat kuliner yang khas. 

Banyak kampung di Gang Dolly yang kini disulap menjadi kampung tematik sesuai jenis usaha yang mereka rintis. Semisal di Gang Batik ini yang berada di Jalan Putat Jaya Gang 4B

Maka, saya hanya bisa mengimbau jika sedang ke Surabaya, mungkin bisa mampir sejenak ke Gang Dolly ini. Melariskan usaha mereka, terutama kuliner adalah salah satu cara kita untuk membantu mereka keluar dari jurang gelap. Dengan melariskan usaha halal mereka, sedikit banyak akan mengurangi kemungkinan mereka kembali di jalan gelap.

Prostitusi memang sulit dihilangkan selama masih ada peradaban. Sejak zaman dahulu, kegiatan prostitusi sudah menjadi cerita turun-temurun. Namun, bukan berarti kita juga memberi mereka dukungan karena bagaimanapun prostitusi membawa banyak sekali dampak negatif seperti penularan penyakit HIV/AIDS, praktik aborsi, berbagai penyakit kelamin, dan tentunya melanggar norma hukum serta agama.

Jadi, apakah Anda tertarik untuk mengunjungi Gang Dolly setelah mendengar cerita saya ini?

25 Comments

  1. Wah terima kasih sekali insightnya bang.. Saya baru kali ini baca detail situasi gang dolly.. Dan daridulu ga pernah tau sama sekali karena letaknya diujung paling barat WIB :))

    ReplyDelete
  2. mas ikrom wes kaya bagian sing nyamar gitu ning film film detektip wekekek

    ternyata red distriknya ada di daerah putat jaya ya mas aku agi ngerti loh...jadi nambahi ilmu pengetahuan area surabaya

    dan ku cukup tercengang londri kiloane murah men ya hahahha 10 ewu 8 kg

    tapi areane mirip daerah nggen sing ono kampus ngono yae ya...soale malah akeh warung makan, laundry, kos kosan dll

    lha mas ikrom ga jadi pijet ndek kono tah wkwkkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkwkwk ala ala detektip

      iya mbak putat dan jarak
      hahahaha iyo jan murah tapi minimal 5 kg lek ga salah

      engga mbak aku wedi engkok digrebek satpol PP malah ruwet hahaha

      Delete
  3. Artikel yang menarik dan menceritakan legenda Lokalisasi terbesar yang ternyata ada yang masih menyimpan jejak jejaknya meski sudah banyak perubahan. Terima kasih sharingnya Mas Ikrom, salam sehat dan selamat beraktifitas

    ReplyDelete
  4. Benar juga ya mas, salah satu sebab mereka jadi psk karena faktor uang. Biarpun tempat usaha gelap itu sekarang sudah ditutup tapi masih bisa transaksi lewat online.

    Salah satu cara memutuskan nya dengan belanja atau makan di tempat usaha mereka sekarang, kalo laris mereka mungkin tidak kembali ke sana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya membantu jualan mereka adalah cara yang tepat kan?

      Delete
  5. Ya Allah.. aku miris baca yg PsK Nenek tua.. semoga lokasi trsebut bisa trs berbenah, seharusna ad pembinaan continue, tdk hanya mmberi uang modal. Jd penasaran aku pgn ke sana jg, thanks for info Kak..

    ReplyDelete
  6. Keren banget mas, baca artikel ini jadi berasa ikutan keliling nyusurin gang dolly, hehehe

    Sepertinya kalau dilenyapkan akan sulit, apalagi sekarang sudah ada banyak aplikasi yang bisa jadi media transaksional tanpa terendus pemerintah, semisal michat.

    Andai pejabat bisa lebih jauh memantau dan kominfo bisa lebih tegas, sepertinya hal-hal ini harusnya bisa lebih diminimalisir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih mas
      bener pejabat terkait kudu lebih aware karena transaksi secara online masih bisa terjadi

      Delete
  7. Tertarik banget... Aku jd pengin kesini kalo ntr udah bisa jalan2. Seneng sih pas tau Bu Risma menutup lokalisasi Dolly ini, walopun aku tahu, prostitusi sampe kapanpun akan selalu ada. Caranya aja yg berubah. Tapi setidaknya, tetep harus ada langkah utk menyulitkan bisnis lendir begini. Makanya aku setuju kalo tempat ini diubah ntah menjadi pusat kuliner ato yg lain. Dengan seneng hati kok aku bakal beli makanan2nya kalo bisa kesana. At least membantu para warganya yg bener2 mau berubah .

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada kuliner nasi goreng enak yang dekat kuburan mbak
      murah juga
      nah iya makanya kita semua kudu juga bantu mereka
      palung enggak beli makanan atau support UMKMnya

      Delete
  8. Wahhh interesting Mas. Dan seru juga bacanya.. 😁 aku cukup penasaran sama Gang Dolly. Blum pernah melihat gangnya pas sebelum ditutup soalnya. Kalau skrang kan udh lebih aktif ya usaha mereka.

    Dan aku kaget ada laundry seharga 1000 per kg di tahun segini.. hebat dan enakk beeud.

    Ntar semisal ada kesempatn buat ke sana. Aku mau ngunjungin Gang dolly buat makan nasi goreng.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya mas bisa dilariskan ya dagangan mereka
      semoga makin berkembang ya...

      Delete
  9. Dulu tempat dolly ini memang bukan main terkenalnya, hampir semua media besar membahasnya, setelah di tutup ternyata tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan psk, tapi tidak tahu juga kalau malam hari, semoga saja semuanya sudah kembali ke jalan yang benar ya mas dan mencari pekerjaan yang halal saja ☺

    ReplyDelete
    Replies
    1. terkenal sampai seluruh manca negara ya mas
      amin semoga saja ya...

      Delete
  10. luas juga areanya... dan keliatan rapi.

    mantap reportasenya .... 👍👍

    ReplyDelete
  11. menarik, ini, tapi praktek spt itu dimana saja ada ya selama permintaan ada

    ReplyDelete
  12. Aku mbayangin...gimana ya klo anak2 tunbuh dengan lingkungan seperti di gang dolly ini. Yang tiap hr diliat perempuan 2 dandanan menor... Laki2 yang nongkrong2...

    Untung sudah di tutup, meskipun aku yakin bbrp cuma sekedar pindah lapak, ganti via medsos... Tapi yang nggak ngerti medsos, minimal bisa insyaf. Kayak nenek2 itu... Harusnya anak SD kan kayak cucunya, wajarnya di momong...malah diberi layanan seks. Ihh, ga bisa bayangin aku. Anak SD wajarnya mah masih nonton upin ipin aja

    ReplyDelete
  13. dari dulu penasaran sama gang dolly, tapi belum kesampaian
    baca post mas ikrom jadi dapat gambaran juga
    aku juga akan berpikiran sama kayak mas ikrom, kalau kesana juga ga semena mena ambil foto, takutnya ya masih ada warga sekitar yang kurang simpatik sama orang asing yang bukan stay disana

    ReplyDelete
  14. Saya sampai baca ulang itu jumlah kilonya. Haha. Setau saya mah paling murah ya 5.000 per kilo. Kalau per kilo seribuan, apa tidak rugi? :(

    Sepertinya itu pijat plus-plus ya, Mas? Walau sebatas dipijat batang perkasanya, atau si pelanggan gantian memijat buah dada, tidak sampai "main", tetap saja menjurus ke sana~ XD

    Saya enggak kepengin pergi ke sana, sih. Tak ada keingintahuan buat lihat langsung. Takutnya nanti malah berempati sama mereka, dan membenarkan bisnis esek-esek.

    ReplyDelete
  15. Salam kenal Mas. Interesting tulisannya. Saya dulu kerja di sebuah yayasan yg melakukan pembinaan di daerah sana. Baca tulisan Mas Ikrom jadi bernostalgia lagi. Terima kasih.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post