Jelajah Pusat Ekonomi Stasiun Kota Blitar

Pusat ekonomi Blitar
Pusat Ekonomi Kota Blitar

Sebenarnya, saya bisa langsung menuju Stasiun Blitar dari Alun-Alun Blitar.

Entah, saya masih ingin berkeliling sejenak sebelum check-in ke dalam stasiun. Menurut beberapa sumber, jalan di sekitar Alun-Alun Blitar merupakan kawasan ekonomi dan Pecinan yang cukup ramai. Kawasan seperti ini hampir sering dijumpai di berbagai kota. Malang dan Kediri misalnya yang juga memiliki kawasan yang kerap disebut sebagai denyut ekonomi tersebut.

Kawasan ekonomi Kota Blitar berada di sekitar Jalan Merdeka. Jalan ini membujur ke arah timur dari Alun-Alun dan menjadi tempat berdirinya berbagai tempat usaha ekonomi. Nah, diantara kegiatan ekonomi yang tumbuh dan berkembang di sini, saya paling tertarik dengan penjualan emas kaki lima. Sebenarnya, para penjual emas tersebut juga banyak saya temui di sekitar Pasar Besar Malang.

Pembeli emas dan penukaran uang asing

Walau begitu, ada satu hal unik yang hanya saya dapatkan di sini. Para penjuak emas tersebut tidak saja menjual emas tetapi juga melayani penukaran uang asing. Saat saya bertanya kepada salah satu diantara mereka, ternyata memang benar penukaran uang tersebut bisa mereka layani. Hanya saja, uang asing yang mereka miliki terbatas, semisal Dollar AS, Riyal Arab Saudi, Ringgit Malaysia, dan NTD Taiwan.

Para penjual emas ini juga berderet di depan sebuah toko yang buka. Saya tidak tahu apakah hubungan mereka dengan pemilik toko merupakan simbiosis parasitisme atau komensalime. Yang jelas, para pemilik toko seakan tak peduli dengan kehadiran mereka. Meski, kadang para pembeli cukup kesulitan untuk masuk dan keluar akibat jalan yang sempit.

Di sepanjang Jalan Merdeka ini, juga berdiri beberapa toko ikonik yang sudah terkenal. Salah satunya adalah Toko Roti Orion. Roti semir dan roti montor menjadi idola bagi penikmat toko kue yang juga membuka kafe di dalamnya ini. Ada juga toko batik Bodro yang berada di persimpangan antara Jalan Merdeka dan Jalan Lawu. Toko batik ini juga ikonik lantaran menjual beragam corak batik khas Blitar mulai kemeja hingga kebaya.

Toko Batik Bodro Blitar
Toko Batik Bodro Blitar

Sebenanrya, hampir sama dengan kawasan ekonomi yang berdiri sejak ratusan tahun lalu, banyak toko jadul dan kuno yang masih dibiarkan berdiri. Pemilik bangunan enggan mengubah struktur asli bangunan toko mereka sehingga kejadulannya masih terasa hingga kini.

Saya sangat suka dengan bangunan jadul Toko Besi Ijo yang bediri di persimpangan Jalan Merdeka dengan Jalan Wilis. Toko ini bergaya art deco sederhana. Gaya yang khas pada bangunan kolonial yang dibangun pasca era malaise (depresi besar) sekitar tahun 30an. Meski tidak sebesar gedung bergaya sama di Kota Malang, tetapi toko besi ini menjadi landmark yang bisa disaksikan hingga kini dan menjadi penanda sebuah pusat ekonomi. Penanda jika pusat ekonomi itu akan berdenyut hingga kapan pun walau sedang diterpa pandemi yang mewabah.

Saya membelokkan perjalanan saya ke Jalan Anggrek atau ke arah selatan dari Jalan Merdeka. Jalan ini juga masih menjadi jalan utama denyut ekonomi di Kota Blitar. Toko bahan kebutuhan pokok dan warung lebih banyak mendominasi di jalan ini. Salah satu toko yang menyita perhatian saya adalah Toko Sinar Djaja. Toko ini pun masih mempertahankan fasad bangunan aslinya. Sayang, tak banyak infromasi yang bisa saya dapat dari toko yang bercat biru dan kuning ini.

Toko Sinar Djaja Blitar
Toko Sinar Djaja Blitar
 

Mengingat banyaknya warung makan dan tempat makan di sekitar Jalan Anggrek kini mulai banyak kafe dan warung kopi kekinian yang berdiri. Tentu, suasana jadul yang ditawarkan menjadi daya tarik tersendiri. Namun, saya lebih tertarik untuk menjelajahi denyut ekonomi di sekitar rel kereta api. Tidak dipungkiri, keberadaan rel kereta api dan aktivitas transportasinya juga membuat banyak aktivitas ekonomi yang membanjiri. 

Toko dekat Stasiun Blitar
Banyak toko berdiri di dekat stasiun Blitar
 

Di sekitar Stasiun Blitar berdiri sebuah pasar tradisional bernama Pasa Templek. Pasar ini sempat terbakar dan para pedagangnya sementara berjualan di luar area pasar. Saya mencoba menjelajahi pasar ini yang ternyata cukup lengkap. Tak melulu aneka sayur dan buah, berbagai bumbu olahan dan pernak-pernik untuk membuat kue juga dijual di pasar ini. Pasar ini berderet sepanjang Jalan Kacapiring dan tak sepi pembeli meski hari semakin sore.

Pasar Templek Blitar
Pasar Templek Blitar

Saya berjalan perlahan sembari mendengarkan lagu yang saya putar. Lumayan juga berjalan jauh sambil ditemani musik sehingga tak terasa saya sudah sampai di sebuah landmar yang saya cari selama ini. Apalagi kalau bukan jembatan kereta atau viaduct. Saya selalu penasaran ketika kereta yang saya naiki melewati viaduck ini. Meski lebih mini daripada viaduct yang ada di Malang atau Jogja, tetapi saya masih penasaran kira-kira di manakah viaduct ini berdiri. Akhirnya, pertanyaan saya terjawab ketika saya keluar dari Jalan Kaca Piring menuju Jalan Mastrip yang merupakan jalan utama di sekitar Stasiun Blitar.

Viaduct kereta api Blitar
Viaduct kereta api Blitar

Napas saya mulai tersengal kala kompleks Stasiun Blitar sudah di depan mata. Tak langsung menuju peron, saya memutuskan untuk duduk terlebih dahulu di ruang tunggu stasiun. Ketika masuk area stasiun, beberapa ojek pangkalan tampak menawarkan jasanya kepada para penumpang yang baru turun. Mereka terus ditolak karena para penumpang terus ngacir menuju titik aman untuk penjemputan Grab. 

Bagian samping Stasiun Blitar
Bagian samping Stasiun Blitar
 

Masih ada sekitar setengah jam sebelum kereta api Penataran datang. Saya duduk di dekat seorang Baapk tua yang mengeluh karena kini tes Ge Nose tidak lagi diperkenankan untuk KAJJ. Ia kaget karena harus membayar tes antigen dengan harga yang lebih mahal yakni 45 ribu rupiah. Meski sudah turun hampir separuh dari harga semula, tetap saja menurutnya harga tersebut naik jika dibandingkan tes Ge Nose. Saya pun mendengarkan keluhannya dengan sepenuh hati sekalian menemaninya menunggu KA Mutiara Selatan yang baru tiba pukul 4 sore.

Monumen Perjuangan di dekat Stasiun Blitar
Monumen Perjuangan di dekat Stasiun Blitar

Hingga akhirnya, saya pun memutuskan masuk ke peron stasiun. Kondisi stasiun masih sepi. Jumlah penumpang KA Penataran belum normal. Saking belum normalnya, prama kereta menjajakan pop mie hangat ketika kereta sudah berjalan. Pemandangan yang jarang saya temui kala naik KA lokal sebelumnya.

Stasiun Blitar yang sepi
Stasiun Blitar yang sepi

Saya bisa selojoran karena memang tak banyak penumpang di sana. Meski sederhana, saya puas dengan liburan singkat yang saya lakukan ini.  

 

4 Comments

  1. aku juga seneng merhatikan jalan jalan tertentu mas...pesti aing takperhatikan bangunan bangunan tuane...eh itu ada sik bangunan tokone masih fasad awal rung pernah ganti yo...keren juga..serasa dibawa nostalgia kota di masa lalu

    aku penasaran ambi roti semir dan roti roti yang ada di situ je...juga corak batik khas blitar...kok sampeyan ga mlebu mas wkwkkw, kudune tumbas rotine siji trus dijepret deh wkwkwkkw

    o aku baru tahu ada masa masa sing dijenengi masa depresi yakni tahun 30 an...keren mas reportasenya...ayo keliling lagi kota kota dan cerita suaasanane...wes identik banget kayak modelan ning kompasiana hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak kalau memperhatikan bangunan tua seru ya rasane
      serasa ke mesin waktu
      waktuku ga banyak mbak dan kebetulan pas antre
      mungkin lain kalau pas naik motor atau mobil
      wedi ditinggal kereto wkwk


      Delete
  2. Baca tulisan mas Ikrom ini tentang stasiun kota Blitar dan pasar Templek kok jadi ingat dengan Tegal. Soalnya agak mirip mas, sebelah stasiun Tegal juga ada pasar.😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. tiap kota ada kok mas
      kayak di seurabaya deketnya stasiun apsar turi atau wonokromo ada pasarnya.

      Delete
Next Post Previous Post