Gemar Naik Transportasi Umum Berkat Prof. Effendy

Prof. Effendy. - https://rumahpengetahuan.web.id/

Ketika membicarakan transportasi umum, saya tidak bisa lepas dari sosok mendiang Prof. Effendy.

Profesor kimia yang menggeluti sintesis senyawa logam mata uang (emas, perak, dan tembaga) ini memang tidak bisa jauh dari transportasi umum. Betapa tidak, di saat banyak dosen mampu menaiki mobil mewah untuk ke kampus, maka Prof. Effendy malah lebih gemar naik angkutan umum.

Kebetulan, beliau adalah dosen yang mengampu beberapa mata kuliah penting saat saya duduk di bangku S-1 dulu. Mulai dari Ikatan Kimia, Kimia Anorganik, Kimia Zat Padat, dan Kimia Anorganik Fisik. Pendek kata, mata kuliah yang diampu oleh Prof. Effendy adalah mata kuliah yang berat. Mata kuliah yang bisa jadi separuh lebih dari mahasiswanya tidak akan bisa lulus.

Pada suatu waktu, saya mengikuti mata kuliah Ikatan Kimia yang saat itu diajarkan pada mahasiswa kimia semester 3. Kami semua sekelas masuk dan tak lama Prof. Effendy masuk dengan keringat yang mengucur cukup deras. Ketika beliau lepas membuka perkuliahan, beliau pun becerita bahwa baru saja berjalan kaki dari Jalan Veteran Malang menuju kampus FMIPA.

Dalam hati saya bertanya, mengapa beliau harus berjalan kaki? Bukankah hampir semua dosen menggunakan mobil mewah untuk pergi ke kampus?

Teryata, pertanyaan saya terjawab ketika beliau bercerita bahwa ia dari rumahnya di Bululawang. Kabupaten Malang dengan naik angkot. Saya dan teman sekelas pun kaget.

Hah? Naik angkot?

Keterkejutan kami memang bukan pepesan kosong. Beliau bercerita bahwa memang sehari-hari menggunakan angkot untuk pergi dan pulang bekerja di kampus. Untuk pergi ke kampus, beliau harus transit alias oper angkot sekali. Pertama, beliau naik angkot dari Bululawang menuju ke Kacuk atau Terminal Hamid Rusdi. Lalu, dari Kacuk beliau harus berganti angkot jurusan GL (Gadang-Landungsari) yang memang melewati gerbang kampus.

Saya masih agak melongo karena saat itu adalah saat terakhir saya menggunakan angkutan umum. Saya memutuskan pensiun naik angkutan umum dan beralih menggunakan motor. Keputusan ini saya ambil karena beberapa kali saya hampir terlambat masuk kampus akibat angkot yang saya tumpangi ngetem cukup lama. Padahal, saya sudah menggunakan angkutan umum sejak masih duduk di bangku SMP.

Saat itu, sebenarnya saya malu pada diri saya sendiri kenapa dosen saya yang rumahnya lebih jauh dari rumah saya dan lebih sepuh dari saya masih setia menggunakan angkot. Beliau pun juga bukan sembarang beliau. Seorang profesor yang sudah cukup lama bergelut di bidang kimia. Sudah mendapatkan banyak penghargaan nasional dan internasional. Sudah menerbitkan puluhan buku dan jurnal berkelas. Lalu, mengapa beliau suka naik angkot?

Ternyata saat jeda mengajar sebentar, beliau mengatakan bahwa dengan naik angkot, beliau bisa meluangkan waktu untuk membaca buku. Kegiatan ini bisa jadi tidak bisa beliau lakukan pada kesempatan lain. Jadi, saat berada di dalam angkot, beliau akan membaca angkot sampai di lokasi tujuan.

Beda halnya dengan saat menyetir mobil, maka beliau akan menghabiskan waktu yang sia-sia dengan kemacetan jalanan. Terlebih, rumah beliau amat jauh dan mungkin membutuhkan waktu sejam lebih untuk menuju kampus. Lantas, mengapa tidak menyewa sopir saja?

Menurut beliau, dengan menyewa sopir, tentu banyak biaya yang dikeluarkan. Selain itu, suasana di dalam transportasi umum yang khas malah membuatnya semangat. Ketika naik transportasi umum, kita akan bertemu dengan banyak orang dengan ceritanya masing-masing. Kita bisa sejajar dengan mereka dan mendapatkan hak yang sama sebagai penumpang.

Sungguh, alasan ini sangat membekas di hati saya. Bagaimana seorang profesor yang mungkin derajatnya cukup tinggi amat merendah untuk naik angkutan umum. Jarang sekali atau bahkan tidak lagi saya temui sosok seperti beliau.

Apa yang dilakukan Prof. Effendy ini juga sekaligus menjadi sebuah ironi bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Betapa tidak, tak banyak kampus yang warganya mau menggunakan transportasi umum untuk kegiatan beraktivitas. Dengan jumlah mahasiswa yang semakin banyak tiap tahun, kebanyakan kampus malah memperluas area parkir untuk mahasiswa dan dosen.

Kala jumlah ruang untuk parkir di kammpus tersebut mulai menyempit disesaki kendaraan bermotor, maka selanjutnya yang dilakukan adalah meninggikan gedung parkir hingga berlapis. Yang penting, semua kendaraan bermotor bisa masuk kampus entah bagaimana ke depannya itu urusan nanti.

Alhasil, ketika masa perkuliahan, jalanan kampus menjadi macet pun dengan polusi yang terjadi. Semakin pekat dan membuat lingkungan tidak sehat. Padahal, salah satu tujuan pendidikan tinggi adalah mampu memecahkan masalah di masyarakat melalui berbagai kegiatan. Kalau dalam kegiatan sehari-hari saja kendaraan pribadi begitu masif digunakan, lantas masalah apa yang bisa dipecahkan?

Argumen itu keluar dari Prof. Effendy ketika beliau bercerita mengenai pentingnya menaiki kendaraan umum dalam beraktivitas. Beliau mengatakan, sebenarnya pihak kampus memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk mengatasi masalah ini. Sayang, hampir semua kampus di Indonesia tidak melakannya.

Sepeninggal beliau, saya pun begitu meresapi peninggalan dari beliau ini selain ilmu kimia yang beliau ajarkan. Sebuah kontradiksi yang saya lihat di berbagai kampus dengan kendaraan pribadi yang memenuhi jalanan. Andai saja banyak dosen memiliki mindset seperti Prof. Effendy, maka lingkungan kampus akan dapat lebih asri tanpa banyak kendaraan berlalu-lalang. Tentu, dengan penambahan fasilitas sepeda kampus untuk menunjang kegiatan dosen dan mahasiswa.

Jika pemikiran ini dimiliki lebih banyak dosen dan civitas akademika, maka mereka dapat mendorong pemerintah untuk menyediakan transportasi umum masuk kampus dan melewati kantong-kantong tempat tinggal mahasiswa. Semoga saja ada dosen-dosen lain yang memiliki pemikiran dan melakukan hal yang sama dengan Prof. Effendy.

1 Comments

  1. jadi berandai-andai lagi nih aku, coba dulu ada angkotan yang masuk ke UB, pasti banyak temen-temen kuliah yang naik angkot.
    tapi zaman aku kuliah dulu, yang bawa kendaraan pribadi aja udah membludak, parkiran aja full terus.
    Sebelum bawa motor ke Malang, aku seringnya kemana-mana ya ngangkot aja, ke pasar besar matahari, ke mall, nonton konser wkwkwk.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post