Menjadi “Angin”, Bagaimana Saya Mencoba Mengurangi Ego dalam Diri

Ilustrasi. - MIT News


Sering saya jelaskan pada tulisan dan beberapa orang, di usia saya yang semakin tua, saya seakan lebih bahagia jika menjadi angin.

Angin di sini adalah sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bermanfaat bagi banyak orang. Saya sudah seakan tidak ingin terlalu berambisi untuk mencapai ini dan itu meski tentu ada beberapa target yang saya tuju.

Tentu, apa yang saya lakukan ini sangat berkebalikan dengan saya saat usia 20an dulu. Saat saya begitu ingin mencapai segala impian, tenar, punya kekayaan, bisa ke mana-mana, dan lain sebagainya. Sekarang, rasanya kok tidak ada lagi ambisi untuk mengejar itu semua dan hanya ada keinginan untuk bermanfaat dari kegiatan yang saya lakukan.

Makanya, saya konsisten membuat video tutorial naik angkutan umum yang salah satu tujuannya adalah menekan ego dalam diri yang menghambat untuk suskes. Meski jujur, saya tidak terlalu suka menyebut kata sukses karena bagi saya sukses adalah sesuatu hal yang relatif. Namun paling tidak, dalam proses perjalanan saya melakukan hal ini, saya bisa belajar mengendalikan ego dalam diri.

Salah satunya adalah mau menerima kritikan. Dulu, saya susah sekali menerima kritikan. Saya merasa bahwa apa yang saya Yakini benar dan tidak salah. Nah, saat saya membuat konten-konten dengan berbagai prosesnya, ada beberapa orang yang mengkritik mengenai hasil yang sudah saya unggah.

Kalau saya menuruti ego, maka saya akan mengabaikan saran tersebut. Namun, saya mulai menerimanya dengan menonton video saya. Saya memposisikan sebagai orang lain yang melihat video itu. Ternyata, memang ada banyak sekali kelemahan yang ada, terutama mengenai kestabilan gambar.

Perlahan tapi pasti, saya mulai menikmati proses menerima kritik dari orang lain agar bisa lebih baik. Tentu, dalam menerima kritik ini tidak bisa langsung saya terima bergitu saja. Ada proses menyadari dulu sehingga beberapa poin yang dikritik akan bisa saya urai dan bisa saya perbaiki.

Terbukti, ada kenaikan yang bisa saya rasakan. Jika sebelumnya nilai rupiah video saya hanya berkisar 6-7 ribuan per 1000 video yang tayang, kini bisa mencapai 10-11 ribu rupiah. Tentu, kalau saya menurti ego dengan tidak mengindahkan saran dan kritik dari para pemirsa, maka channel saya tidak berkembang. Makanya, mau menerima kritik adalah kunci dalam meraih keberhasilan.

Selanjutnya, ego untuk meraih kepopuleran bisa menjadi penghalang. Dulu, memang ada ambisi kuat untuk bisa meriah follower atau subsricber sebanyak-banyaknya. Rasanya senang kali ya terkenal seperti para gram-gram yang punya pengikut banyak.

Nah, rupanya dengan kepopuleran yang kita raih, ternyata selamanya engga menjamin. Saya sudah membutikan sendiri ketika You Tube saya mulai dikenal. Ketika ada sebuah acara dan saya tergabung dalam WAG, banyak yang sudah mengenali saya karena sering membuat You Tube. Anehnya, saya malah merasa kurang nyaman dikenal seperti itu.

Makanya, saya tetap merasa seperti angin. Tidak terlihat tetapi fokus untuk membuat karya dan mengembangkan diri menjadi lebih baik. Saya sudah tidak peduli lagi dengan namanya jumlah subscriber, follower, atau views yang penting saya bisa terus berkarya agar bermanfaat bagi banyak orang. Dengan cara ini, ego untuk terkenal dan disanjung bisa terkontrol.

Nah yang paling penting adalah saat melihat orang lain sukses. Ego untuk iri dan benci seringkali muncul dan ini manusiawi. Ego ini tidak bisa kita tekan dengan keras karena nanti akan muncul ego yang lebih besar dan malah membuat kita tidak bahagia. Cara yang bisa kita lakukan adalah menyadarinya.

Menyadari mengapa ego tersebut bisa datang. Menyadari bahwa sebagai manusia biasa kita punya kapasitas masing-masing. Tidak semua pencapaian orang bisa kita genggam dengan mudah dengan kondisi kita yang sekarang.

Saya pernah berada dalam sebuah meja bersama keluarga besar. Ada seorang kerabat yang baru diterima jadi PNS. Dalam acara tersebut, kebetulan ia membawa mobil yang baru lengkap dengan isinya.

Kalau saya punya ego iri dan dengki, pasti saya sudah iri kok bisa-bisanya dia sukses dan membawa kekayaannya. Namun, saya merasa beruntung tidak seperti dirinya karena jujur saya tidak tahan bekerja sebagai PNS. Dalam kaitannya kepemilihan mobil, saya juga tidak terlalu suka karena cukup ribet untuk mengurusnya. Belum berbagai pengeluaran yang menyertainya. Saya seakan merasa bahwa ego saya untuk itu hanya sebuah kesia-siaan.

Jadi, betindak sebagai angin yang tidak terlalu menampakkan diri adalah kunci saat ini. Jika angin ingin menjadi besar, maka ia akan merusak. Ia akan menjadi tidak lagi bermanfaat dan membuat orang lain sengsara.

Post a Comment

Next Post Previous Post