Konsep Berpolitik ala Anak Generasi 90an

Anak-anak yang ikut berkampanye pada Pemilu 1992. Saat ini keikutsertaan anak-anak dalam kampanye dilarang. - Sumber: kompas id

Menjadi anak Generasi 90an membuat saya menjadi pelaku sejarah transisi kekuasaan dan kekacauan politik yang sempat terjadi di Indonesia.

Betapa tidak, selama saya hidup hingga sekarang, saya sudah mengalami pergantian kekuasaan sebanyak 5 kali dan tahun depan bakal 6 kali. Bahkan, selama 3 tahun saja, saya sudah melihat dengan mata kepala saya sendiri terjadi tiga kali ganti presiden, tepatnya antara tahun 1998 hingga 2001.

Selama tiga tahun itu, masih ingat dalam benak saya gambar presiden dan wapres dicopot dan diganti. Bahkan, teman saya saat itu bercanda enak ya kalau tiap tahun ganti presiden. Bisa lihat Pak Kebun mencopot dan mengganti wajah baru di depan kelas.

Dengan jatuh bangunnya kekuasaan presiden dalam waktu singkat, maka saya saat itu mengira bahwa berpolitik adalah sesuatu yang mengerikan. Belum lagi, obrolan orang dewasa yang sangat serius membahas politik membuat saya enggan untuk berpolitik jika sudah besar nanti.

Konsep ini semakin tertanam ketika saya pernah ikut kampanye Pemilu 1997. Kampanye pemilu terakhir orde baru tersebut adalah pertama kali saya paham politik dan bagaimana orang berusaha mencapai kekuasaan.

Namanya anak kecil yang tidak pernah absen mengaji, tentu saya menjadi simpatisan PPP. Saya dan teman-teman bermain kampanye-kampanyean menggunakan ikat kepala hijau PPP. Nah, suatu ketika, saya benar-benar melihat dan mengikuti kampanye PPP dari pinggir jalan. Saat ada rombongan simpatisan PPP yang lewat, eh dengan entengnya mereka menyobek bendera Golkar dan PDI yang dipasang di dekat saya.

Kampanye PPP saat pemilu 1997 di Jakarta. Sebagai bocil yang juga simpatisan PPP, kala itu ikut kampanye adalah pesta pora yang menyenangkan.  - Sumber: kompas id

Asli, itu adalah peristiwa sejarah yang saya alami sendiri dan berbekas hingga sekarang. Beberapa hari kemudian, saya juga melihat simpatisan Golkar dan PDI yang juga merobek tanda gambar atau bendera OPP lain yang ada di dekat saya.

Saya punya konsep bahwa berpolitik di Indonesia adalah mengenai relasi kuasa dan fanatik. Artinya, untuk mencapai tujuan yang diinginkan, entah mendapatkan kursi di parlemen atau menjadi kepala ekskutif, semuanya bermuara pada bagaimana mengumpulkan massa dan membangun fanatisme kepada suatu partai politik.

Padahal, menurut saya, berpolitik adalah cara yang bisa digunakan seseorang untuk memberi gagasan kepada khalayak umum bagaiamana sebuah negara atau wilayah ditata. Ibaratnya, ada banyak cara untuk membangun sebuah rumah. Politik adalah cara bagaimana rumah tersebut bisa dibangun dengan baik. Tentu, ada banyak cara dan metode dan itu semua baik selama tidak ada niatan untuk mengurangi bahan dari bangunan rumah tersebut.

Baliho kampanye PDI yang digambar dengan tangan untuk Pemilu 1997.  - Sumber: kompas id

Sayangnya, sebagai generasi 90an yang sejak kecil dicekoki dengan pergolakan politik yang begitu ganas membuat saya apatis. Berbagai janji kampanye yang digaungkan oleh para caleg maupun calon kepala eksekutif seakan hanya utopia. Tidak bermakna dan malah membuat para pemilih menjadi malas menggunakan haknya.

Konsep berpolitik yang saya pegang adalah adanya interaksi antara yang memilih dan yang dipilih. Interaksi ini bukan berupa imbal materi. Bukan berupa pemberian sembako, uang, dan lain sebagainya. Interaksi yang dimaksud adalah hubungan yang erat dengan adu gagasan dan masalah.

Semisal, ketika ada calon anggota legislatif menemui pemilih, maka sudah seyogyanya ia memaparkan program kerja jika ia terpilih. Program kerja ini bisa sesuai bidang yang digelutinya. Semisal, jika ia adalah seorang dokter, maka ia bisa memaparkan masalah kesehatan yang ada dan bagaimana ia nanti akan mendorong pemerintah untuk bergerak memperbaiki kesehatan.

Seorang anggota TNI memasang tanda gambar Golkar yang terbuat dari kertas fotokopi. Zaman orde baru TNI/Polri dan PNS wajub memilih Golkar


Semisal ia adalah seorang pengacara atau latar belakangnya di bidang hukum, maka ia bisa memaparkan advokasi yang akan ia jalankan di bidang hukum. Jika ia seorang seniman, maka ia bisa menjelaskan program yang akan dijalankan untuk kemajuan budaya dan wisata.

Tentu, setelah memaparkan programnya, maka calon pemilih berhak untuk bertanya, menyanggah, atau memberi masukan kepada mereka. Selama ini, kampanye yang terjadi adalah kampanye model satu arah. Calon anggota legislatif hanya menjelaskan untuk memilihnya. Para pemilih seakan setuju-setuju saja padahal belum tentu mereka melakukannya. Alhasil, seringkali banyak calon anggota legislatif yang sudah turun ke masyarakat dalam waktu lama akhirnya gagal oleh mereka yang melakukan serangan fajar.

Sebagai generasi milenial, konsep berpolitik yang saya pegang adalah terbuka dan apa adanya. Makanya, dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, kita sebenarnya bisa dengan mudah untuk mencari informasi mengenai para calon anggota legislatif maupun eksekutif.

Tanda gambar tiga peserta pemilu (OPP) yang terpasang di sebuah sudut kota.  - Sumber: kompas id

Ada banyak situs yang memberi informasi mengenai calon yang akan kita pilih. Hanya saja, tidak semua calon bisa dengan lugas memaparkan profil dan program yang mereka usung. Banyak diantaranya yang menutup informasi tersebut. Padahal, sikap terbuka sangat penting dalam berpolitik saat ini. Masyarakat akan semakin yakin jika mereka terbuka dan tidak menutupi apa yang mereka miliki.

Dalam kaitannya dengan politik riang gembira yang diangkap beberapa partai politik, sebenarnya sah-sah saja. Melakukan politik dengan joged sudah dilakukan sejak dulu kala. Meski demikian, jangan sampai joged dan lagu tersebut mengurangi esensi dalam berpolitik. Artinya, jangan sampai masyakarat berfokus pada lagu dan joged saja hingga lupa program yang harus mereka bawa.

Ada salah satu partai politik yang setiap kampanyenya hanya joged dan goyang. Tak ada program nyata yang mereka paparkan dengan jelas. Alhasil, bukannya simpatik, malah banyak masyarakat muak terhadap mereka. Beda dengan ada partai yang sering memamparkan kampanye monologis terkait sebuah isu dari para anggotanya. Walau banyak dari isu tersebut saya tidak setuju dengan pendapat mereka, tetapi saya mengapresiasi partai ini.

Kertas jadwal kampanye Pemilu 1992. Beda dengan sekaramg yang bebas berkampanye lewat media apa saja, zaman orde baru pemilu dilakukan secara terjadwal dan harus dipatuhi.  - Sumber: kompas id

Paling tidak, mereka berani mengangkat isu-isu terkini yang layak untuk diperdebatkan. Namanya demokrasi, tentu ada perbedaan pendapat. Mereka masih membuka komentar dan beberapa anggota partai yang ikut berdiskusi menjawab komentar dari masyakarat umum. Pada tahun 2019, saya memilih partai ini meski untuk pemilu kali ini saya masih berpikir ulang akan memilih partai tersebut lagi arau tidak. Lantaran, saya belum menemukan partai lain yang bisa mmebuka keran diskusi dengan luas seperti itu tetapi manuver politik yang dilakukan partai tersebut akhir-akhir ini membuat saya kecewa.

Hingga saat ini, saya masih terus mengirim DM isu terkini kepada calon anggota legislatif yang akan maju menjadi anggota dewan, mulai dari anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota dan tentunya DPD. Beberapa diantaranya membalas dan banyak yang mengacuhkan pesan saya. Begitulah konsep politik yang saya jalankan saat ini. Kalau Anda sendiri bagaimana?



Post a Comment

Next Post Previous Post