Bukber; Keengganan untuk Berkumpul dengan Banyak Orang

Ilustrasi. CNN Indonesia

Ramadan telah usai.

Dengan usainya Ramadan, maka ada satu tradisi dan kegiatan yang juga tak lagi dijalankan. Tak lain, kegiatan tersebut adalah buka bersama alias bukber. Entah sejak kapan buka bersama ini menjadi tradisi Ramadan, yang jelas keberadaannya seakan menjadi hal yang tak terpisahkan dari kegiatan muslim Indonesia saat puasa.

Saat kecil dulu, saya mengenal bukber hanya pada dua momen. Pertama, bukber di sekolah saat acara Pondok Ramadhan. Saat itu, sekolah saya mengadakan Pondok Ramadan tipe A. Artinya, siswa menginap di sekolah selama 3 hari 2 malam layaknya pondok pesantren.

Tentu, namanya menginap di sekolah, kegiatan sahur dan buka puasa pun dilakukan bersama. Ada wali murid yang bertugas menyiapkan menu sahur dan buka puasa. Mereka juga berkesmepatan berbagi dengan menambah menu di luar yang disepakati. Tentu, buka bersama ini sangat terkenang hingga sekarang.

Kedua, bukber yang saya lakukan adalah di masjid dekat rumah. Setiap malam nuzulul quran, bukber dilakukan dengan menyembelih seekor kambing hasil patungan warga untuk dimasak gulai dan sate. Hingga sekarang, tradisi ini masih dilakukan.

Saya baru mengenal buka bersama saat SMA. Saat itu, ada inisiatif untuk berbuka di rumah salah satu teman. Kami memesan makanan dari luar dan tuan rumah menghidangkan makanan ringan dan menu takjil. Namanya anak SMA, tentu buka bersama banyak dilakukan dengan gurauan. Kegiatan ini pun dilakukan lebih dari sekali karena setiap ganti kelas ada saja kegiatan buukber kelas sebelumnya.

Kegiatan bukber berlanut hingga kuliah. Teman-teman SMA masih mengajak bukber dengan segala keriuhannya. Euforia bukber SMA saat kuliah masih saya rasakan terakhir di semester 4. Selepas itu, taka da lagi ajakan bukber. Bahkan, satu per satu teman mulai hilang entah ke mana.

Pun demikian dengan teman kuliah. Awal-awal lulus, ajakan bukber masih ramai. Saya masih datang dengan senang hati. Hingga pada suatu ketika, ada acara bukber teman kuliah sembari berbagi ke panti asuhan. Mulanya sih banyak yang semangat. Saya pun juga semangat melakukannya.

Namun, saat hari-H, ternyata yang hadir hanya teman-teman yang ada di Malang. Banyak teman yang mendadak membatalkan janji dengan berbagai alasan. Bahkan yang punya ide pun tak datang padahal awalnya ia sangat semangat.

Sejak saat itu, saya jadi malas ikutan bukber. Apalagi, sejak banyak cerita berseliweran soal banyaknya acara bukber berakhir gagal. Tak dihadiri oleh peserta bukber sehingga PIC atau yang mengurus bukber rugi banyak. Rugi materi dan waktu.

Kadang, saya heran dengan orang macam itu. Maksud saya, kok mereka dengan entengnya membatalkan janji yang sudah disepakati. Kalau semisal, ada keperluan yang mendadak sih tak masalah. Seringkali, mereka memang niat untuk tidak datang dan baru mengabarkan saat hari H. Bagi saya sih ini sudah level menyepelekan orang.

Apalagi mereka kadang merasa punya pekerjaan yang bagus dan sibuk sehingga dengan mudahnya meminta teman lain yang memiliki waktu senggang untuk mengurus bukber. Apalagi, jika mereka tak bisa dihubungi saat mendekati waktu berbuka.

Apa yang terjadi pada saya dan teman-teman saat itu masih sekarang saya ingat. Ibu teman saya sampai memasak banyak karena mengira yang datang banyak. Eh ternyata saat jam berbuka yang datang ya itu-itu saja. Akhirnya makanan kami bungkus pulang. Saya masih tak habis pikir dan kasihan dengan ibu teman saya yang sudah meluangkan waktu untuk memasak.

Sejak kejadian itu, saya jadi anti bukber. Saya menolak dengan keras setiap ajakan bukber kecuali dengan teman yang benar-benar dekat dan saya percaya janjinya. Kalau hanya teman yang pernah kenal saat sekolah atau kuliah, maaf enggak dulu. Saya juga ikut bukber hanya pada event berbayar yang memang saya bekerja untuk itu.

Ditambah lagi, muncul sebuah tren sebuah kegiatan pamer lanyard alias identitas pekerjaan saat bukber. Ini apa maksudnya coba? Apalagi jika ditambah tren saya pernah begini saya pernah begitu. Kadang, saat saya terpaksa bukber dengan teman dekat di sebuah makan, rasanya yang bukber di sana sedang presentasi kegemilangan hidup. Kami yang mau tak mau mendengar seakan sedang melihat sebuah fatamorgana.

Iya, sebuah fatamorgana akan esensi dari buka bersama. Di saat buka bersama sebenarnya momen bersama untuk bersyukur atas apa yang sudah kita lakukan selama masa puasa. Momen untuk menyadari bahwa dengan puasa kita belajar untuk hidup sengsara. Maka, saat berbuka adalah saat kita bisa merasakan betapa nikmatnya makanan dan minuman yang kita santap. Seteguk air dan sesuap nasi yang begitu nikmat.

Bukan seonggok lanyard yang tak begitu berguna ketika kita kelaparan. Bukan sepotong cerita kejayaan yang mungkin tak akan berguna jika kita tidak bisa berpuasa. Untuk itulah, esensi berbuka puasa yang hilang saat bukber begitu saya hindari.

Dibandingkan dengan mendengar bualan kejayaan dari rekan, saya malah sering terkesima dengan kerja keras luar biasa para pekerja di restoran. Mulai pelayan, kasir, hingga juru masak. Saya sampai heran apa mereka kuat ya berpuasa dan berbuka dengan waktu molor. Kadang, saya tahu mereka sangat kepayahan demi sesuap nasi dan berbagai ciicilan. Saya kadang kasihan melihat mereka sampai lemas dan mungkin harus mendengar cerita kejayaan dari mereka yang berbuka puasa setiap hari.

Maka, sebagai penutup saya akan hampir selalu menolak kegiatan buka puasa bersa,a kecuali memang saya merasa perlu. Entah untuk event atau berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Kalau hanya kumpul dan haha hihi sambil adu nasib, maaf enggak dulu.  

Post a Comment

Next Post Previous Post