Balada BRT di Surabaya yang Tidak Bisa Bayar Secara Tunai

Ilusttrasi


Selama 3 tahun terakhir, transportasi di Surabaya mengalami kemajuan yang cukup baik.


Berbagai rute Bus Raya Terpadu (BRT) dibuka, mulai Suroboyo Bus, Trans Semanggi, dan Wira-wiri. Berbagai pembukaan rute tersebut juga membuat banyak masyarakat Surabaya mulai antusias naik transportasi umum. Mereka juga mulai beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

Uniknya, dibandingkan kota lain yang masih menerima pembayaran secara tunai, semua BRT di di Surabaya - kecuali Trans Jatim - hanya bisa melayani pembayaran nontunai. Baik melalui QRIS, kartu tol, atau member Gobis. Kebijakan ini berlaku sejak peluncuran berbagai moda tersebut. Mulanya, Suroboyo Bus hanya menerima pembayaran lewat botol plastik. Kini, metode tersebut sudah mulai ditinggalkan diganti dengan tiga metode pembayaran nontunai.

Sebenarnya, masyarakat Surabaya sudah mulai terbiasa dengan pembayaran nontunai saat naik transportasi umum. Mereka sudah siap dengan ponsel mereka ketika ada armada yang naik untuk melakukan pembayaran dengan QRIS. Mereka juga sudah siap dengan kartu tol yang mereka bawa untuk bisa ditap di mesin pemindai.

Meski demikian, masih banyak masyarakat Surabaya yang belum terbiasa dengan aturan pembayaran nontunai ini. Tidak hanya warga Surabaya, warga dari luar kota yang baru pertama kali naik transportasi BRT di Surabaya juga sering bingung saat ditarik pembayaran oleh kondektur. Mereka tidak memiliki saldo dompet digital dan kartu tol.

Beberapa kondektur yang solutif memberikan solusi agar mereka membayar secara tunai kepada penumpang lain. Nantinya, penumpang lain akan membantu pembayaran secara nontunai. Yah bisa dikatakan nunut membayar.

Saya sendiri beberapa kali diminta untuk membantu pembayaran nontunai. Bahkan. Pernah sekali saat naik Suroboyo Bus, ada rombongan 12 orang yang tidak memiliki saldo dompet digital. Kondektur pun bertanya apakah saya punya saldo sebesar 60 ribuan. Untung saja, saya masih punya cadangan di mobile banking dan membantu pembayaran mereka. Alhasil, hitung-hitung saya tidak perlu ke ATM untuk menarik uang. Simbiosis mutualisme lah.

Berkaca pada pengalaman ini, seringkali timbul pertanyaan. Mengapa BRT di Surabaya tidak menerima pembayaran secara tunai?

Ada seorang kondektur Suroboyo Bus yang pernah bercerita pada saya alasan kebijakan ini. Meski bukan alasan yang tepat, tetapi saya yakin alasan ini masuk akal. Alasan utamanya adalah untuk kepraktisan. Pembayaran nontunai dianggap lebiu praktis karena kondektur tidak perlu menyediakan uang kembalian. Jumlah uang yang terkumpul pun bisa langsung masuk ke rekening Dishub/Pemkot sehingga tidak ada proses lanjut.

Kedua, menurut sang kondektur, kebijakan ini juga bertujuan mencegah tindakan korupsi. Memang kita tidak boleh berprasangka, tetapi jika pembayaran dilakukan secara tunai, celah untuk melakukan tindakan itu tetap ada yang dilakukan oleh beberapa pihak.

Dua alasan ini menjadikan pembayaran BRT di Surabaya hanya bisa dilakukan secara nontunai. Beda halnya dengan beberapa BRT lain seperti Trans Jogja, Trans Semarang, dan Trans Jateng. Kondektur di beberapa BRT tersebut harus menyiapkan uang kembalian kepada penumpang. Bahkan, saya sering melihat kondektur Trans Semarang dan Trans Jateng menukarkan uang recehan sebelum mereka bertugas. Sebuah kegiatan yang juga cukup merepotkan tetapi membuat BRT tersebut tidak eksklusif bagi penumpang yang tidak memiliki opsi pembayaran lain.

Alasan lain yang bisa jadi membuat BRT di Surabaya hanya bisa dilakukan secara nontunai adalah tarif gratis bagi lansia. Mereka hanya perlu menunjukkan KTP kepada kondektur. Jika usia mereka lebih dari 60 tahun, maka mereka tidak perlu bayar. Alasan ini bisa jadi membuat pembayaran nontunai diberlakukan karena sering ada anggapan pembayaran nontunai merepotkan lansia. Wong lansia gratis jadi tak ada masalah toh?

Walau begitu, tentu keberatan mengenai sistem ini juga harus dipertimbangkan. Adanya kondektur yang kurang solutif dengan tidak memperbolehkan penumpang yang tidak bisa bayar secara tunai menjadi masalah sendiri. Bagaimanapun, transportasi umum adalah hak setiap warga. Tidak boleh ada diskriminasi bagi mereka sehingga tidak bisa naik.

Selain mengarahkan agar penumpang lain bisa membantu pembayaran nontunai, sebenarnya pihak pengelola transportasi umum juga harus menyediakan saluran pembayaran nontunai. Misalnya, membuka merchant pembuatan kartu tol di beberapa titik, mulai terminal, halte besar, arau sekolah dan kampus. Jadi, masyarakat yang belum terbiasa melakukan pembayaran nontunai bisa difasilitasi.

Contoh nyatanya adalah apa yang dilakukan oleh Transjakarta. Mereka membuat banyak mesin pencetak Jaklingko di berbagai titik penting. Tujuannya, agar masyarakat yang belum terbiasa untuk membayar secara nontunai bisa naik transportasi umum. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bisa naik transportasi umum.

Pihak pengelola transportasi umum di Surabaya bisa bekerja sama dengan bank/minimarket untuk kegiatan ini. Saya yakin, mereka juga akan senang karena produk mereka juga akan laku. Mereka juga sekalian promosi produk mereka, tentu dengan kerja sama yang jelas. Masyarakat tidak lagi bingung dan bertanya-tanya seperti apa wujud kartu tol karena sudah banyak loket pembuatan yang tersedia.

Jujur, selama ini banyak masyarakat yang belum paham soal kartu tol ini bahkan ada yang beranggapan hanya bisa digunakan untuk membayar kartu tol. Semoga saja, peningkatan soal pembayaran ini bisa dimaksimalkan agar tidak ada lagi kasus calon penumpang yang tidak bisa naik gara-gara metode pembayaran nontunai yang saklek.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya