Baliho Walikota Malang dan Wakilnya yang Bikin Mual

Ilustrasi - hukum online

Jika sedang berada di jalanan Kota Malang akhir-akhir ini, rasanya saya ingin mual.

Penyebabnya bukan bau jalan yang busuk, tapi banyak spanduk dan baliho walikota dan wakil walikota Malang yang bertebaran di jalan. Spanduk ini bertuliskan usaha untuk menyukseskan gelaran Pekan Olahraga Provinsi Daerah (POPDA) Jawa Timur 2025.

Sebenarnya, tak ada yang salah dengan baliho tersebut. Hanya saja, jumlahnya yang menurut saya terlalu banyak membuat saya jengah. Maksud saya, kenapa harus dipasang di setiap tempat dan seakan-akan wajib untuk dipasang di tempat yang seharusnya steril. Apa sih tujuan pemasangan tersebut selain membangun citra diri?

Ya, bagi saya pemasangan itu tak lebih dari upaya membangun citra diri. Alasannya, saya tidak menemukan informasi lain seputar POPDA di berbagai spanduk yang dipasang. Tak ada informasi pertandingan apa saja yang diperlombakan, di mana venue yang digunakan, dan tentunya bagaimana cara kami sebagai warga Kota Malang bisa mendukung tim dari kota ini.

Hampir semua spanduk berisi dirinya dan wakilnya yang mengepalkan tangan tersenyum seakan menertawakan kami sebagai warga kota yang siap untuk menerima kemacetan parah. Suka atau tidak, gelaran POPDA dengan segala tetek bengeknya ini akan membuat kemacetan luar biasa di jalur protokol. Apesnya, rumah saya hanya berjarak sekitar 2 km dari pusat kota. Bisa dibayangkan kan bagaimana terganggunya aktivitas saya?

Tak ayal, spanduk dan baliho yang sangat banyak tersebut juga membuat banyak warga kota jengah. Mereka seakan muak dengan pemimpinnya yang tak jelas memasang spanduk, sementara gelaran POPDA itu saja rasanya anyep. Warga seakan apatis dan masa bodoh apakah ada POPDA atau enggak. Mereka hanya ingin beraktivitas secara normal tanpa ada gangguan.

Nah, berbicara masalah gangguan, sosok walikota yang menyebut dirinya mbois alias keren itu juga sedang disorot. Tak lain, ia mengubah kebijakan untuk tidak boleh memesan ojek online bagi penumpang bus di sekitar Terminal Arjosari. Mulanya, pihak pemkot memperbolehkan ojol dipesan di dalam terminal. Namun, beberapa hari kemudian, aturan ini diubah.

Penumpang dilarang untuk mengorder ojol di dalam terminal. Sementara, larangan bus untuk menurunkan penumpang di luar terminal yang selama ini menjadi titik jemput ojol pun tetap diberlakukan. Penumpang bus pun - termasuk saya - kelabakan. Kalau tidak boleh turun di luar terminal, lalu penumpang mau naik ojol di mana? Apakah harus naik opang yang harganya tidak wajar? Apakah harus naik angkot yang juga ruwet ngetem dulu selama berjam-jam?

Aturan ini dinilai sangat tidak jelas. Pemkot beralasan untuk mengakomodir sopir angkot dan opang di dalam terminal. Lantas, bagaimana kepentingan penumpang bus yang jumlahnya lebih banyak?

Tak hanya itu, beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah insiden di dalam Terminal Arjosari. Seorang anggota TNI AL dihajar oleh sekelompok preman di sana karena menasehati mereka agar tidak memalak sopir bus yang baru tiba. Kejadian ini viral senusantara dan akhirnya Kota Malang terkenal karena premannya yang menguasai kota. Masyarakat pun lalu melampiaskannya dengan memaki sang walikota.

Akun IG Walikota Malang dan Dishub pun diserbu banyak komentar negatif. Jika komentar biasanya penuh pujian palsu, kini penuh dengan hinaan. Citra positif pun langsung runtuh penuh dengan caci maki. Warga kota sudah muak dan seakan tidak bisa berkata-kata dengan kebijakan aneh tersebut.

Tak sampai di situ, gelaran POPDA yang digelar juga kisruh. Ada beberapa pertandingan yang ricuh seperti pertandingan antara Kota Malang dan Kota Surabaya. Segera saja kejadian ini viral dan makin memperburuk citra Malang dan walikotanya.

Dengan kejadian yang bikin pusing ini, saya masih heran apakah dia memang tidak punya kapabiltas untuk memerintah dan hanya punya modal nampang saja. Jika benar, rasanya saya sangat mual saat melihat balihonya di sepanjang jalan kota.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya