![]() |
| Ilustrasi |
Kemarin, saya menemukan sebuah utas di X yang cukup membuat miris dari salah satu Menfess.
Utas tersebut berasal dari salah seorang pria. Dari bahasa yang digunakan, kemungkinan ia berasal dari Malang. Ia bercerita tiba-tiba dihubungi oleh kawan lamanya. Kawan tersebut merupakan kawan lama yang dulu sering bermain gim bersama di warnet.
Lantaran lama tak bersua, mereka pun bercerita keadaan masing-masing. Kawannya tersebut langsung bercerita banyak soal kehidupannya yang getir. Baru saja di-PHK, diputuskan pacar, dan harus menjaga orang tuanya yang sedang sakit.
Ia bercerita panjang lebar mengenai kehidupan pribadinya dengan gamblang. ia juga mengatakan baru kali ini bercerita pada orang lain. Ia mengaku kesulitan untuk bercerita kepada orang lain. Hanya kepada kawannya - sender utas tersebut - ia mau berkeluh kesah.
Sang pemilik utas pun mendengarkan kisahnya. Ia lantas ingin memberi bantuan pekerjaan pada kawannya tersebut. Namun, kawannya menolak. Ia hanya ingin bercerita masalahnya saja, tidak ingin dibantu. Ia juga hanya ingin bernostalgia main gim bersama kawannya tadi karena mereka sudah lama tak melakukannya.
Mereka pun bermain seharian seperti pada masa dulu. Hingga pemilik utas ini pulang karena harus bekerja, kawannya tak segera pulang. Ia tetap di warnet pada keesokan harinya. Saat ditanya apakah kawannya sudah makan, sang kawan tersebut mengatakan belum. Ia pun memesankan nasi goreng dan kawannya sangat lahap memakannya hingga habis dua piring.
Mereka tak bertemu kembali hingga sang sender kaget bahwa kawannya tersebut meninggal bunuh diri beberapa hari kemudian. Ia hanya tak menyangka karena kawannya sempat menuliskan chat joke soal gim yang mereka mainkan. Benar-benar tak menduga temannya mengatakan hal demikian pada akhir hidupnya.
Jujur, saya tak bisa berkata-kata. Ungkapan laki-laki tidak bercerita memang nyata adanya. Namun, ungkapan laki-laki tidak mau terlihat lemah adalah hal yang paling nyata. Dari kisah ini, tampak kawan sang sender amat kesusahan untuk bisa mengungkapkan masalah hidupnya yang amat berat. Support system yang gagal di keluarga dan kekasihnya meruntuhkan tembok pertahanannya.
Meski begitu, ia masih bertahan sekuat tenaga tidak meminta bantuan pada kawannya. Ia hanya ingin ditemani menjelang akhir hidupnya. Ya, hanya ditemani sambil bernostalgia mengenang masa lalu. Mengenang masa saat tak banyak beban hidup seperti saat dewasa. Dengan bernostalgia, rasanya ia sebentar melupakan masalahnya. Simpel dan sederhana, tetapi sayang tidak bisa mencegahnya untuk mengakhiri hidupnya.
Cerita ini memperpanjang kisah bunuh diri yang dilakukan pria akhir-akhir ini. Barangkali, kita masih ingat dengan kasus bunuh diri yang menimpa salah satu mahasiswa Universitas Udayana. Kasus ini menjadi viral nasional karena tak lama setelah kasus tersebut terjadi, muncul tangkapan pesan WA beberapa mahasiswa kampus tersebut yang seakan mengolok-olok kematiannya.
Walau mereka sudah dikecam keras oleh netizen, nyatanya tidak bisa menghilangkan duka keluarga sang mahasiswa. Permintaan maaf mereka pun seakan tak ada artinya. Nyawa sang mahasiswa sudah tidak bisa kembali. Kepergiannya menjadi bukti bahwa laki-laki sangat sulit untuk bercerita pada orang terdekatnya.
Belum lagi, ada sebuah foto lama sang mahasiswa tersebut saat masih SD. Di sana, ia berfoto sambil memegang lengan baju temannya. Entah sebuah kebetulan atau tidak, yang jelas foto ini menjadi tanda bahwa ia sebenarnya butuh teman bicara.
Memang tak mudah menjadi pria. Tak seperti wanita yang bisa curhat dengan temannya, bahkan di tempat umum, pria akan menghindarinya. Mereka akan menutup rapat rahasianya dan mengalihkannya dengan hal lain, terutama hobi.
Kalaupun ada teman yang diajak bercerita, maka pastilah sebagian besar adalah pria.Apesnya, menemukan teman pria yang bisa diajak curhat tidaklah mudah. Saya sendiri merasakannya. Sampai saat ini, saya hanya punya 2 teman pria yang bisa diajak curhat. Salah satunya adalah rekan saya asal Filipina.
Saya tidak tahu mengapa kami bisa cocok. Kalau ada masalah, saya langsung bercerita padanya. Saya percaya dan bisa lepas curhat karena dia tinggal di Filipina dan tidak terkoneksi dengan orang terdekat saya. Jadi ya sangat tidak mungkin untuk bocor dan dia juga bukan tipe yang suka mengumbar aib. Statusnya lebih banyak soal museum.
Ada satu lagi rekan kerja saya di Surabaya yang juga mau mendengar cerita saya. Ia menjadi tempat saya bercerita karena tidak punya media sosial. Ia hanya menggunakan WA dan Telegram untuk berinteraksi dan tidak pernah memasang status. Hidupnya hanya untuk bekerja, mengumpulkan mainan yang jadi hobinya, dan jalan-jalan. Maka, saya pun bisa percaya pada mereka meski mereka berbeda agama dengan saya.
Selain dua orang tadi, saya hanya sekilas menampilkan kisah hidup saya. Yah sekadar menghargai apa yang mereka tanyakan. Selebihnya, tidak akan saya ceritakan banyak. Termasuk, rekan lama saya mulai SD sampai kuliah. Saya tidak mau rahasia saya diketahui banyak orang.
Intinya, terkoneksi dengan beberapa orang saja adalah kunci. Namun, pergi ke profesional juga jadi solusi jika dirasa sudah tidak nyaman. Yang terpenting adalah hidup ini adalah sebuah kenikmatan. Terlebih, bisa bercerita dengan orang yang kita percayai adalah kunci kebahagiaan.
.jpg)