Antara Kisah Gang Dolly dan Filosofi "Pi'i de Poeng" di Jalan Tunjungan

Setiap kota besar pasti memiliki jalan utama yang menjadi ikon masing-masing.

Add captionGedung Siola (Kini Museum dan UPTSA Surabaya)
Jogja dengan Malioboronya. Bandung dengan Dagonya. Dan Surabaya tak kalah dengan Tunjungannya. Jalan yang membentang di tengah kota Surabaya ini memang menjadi ikon yang tersemat pada kota pahlawan ini. Aneka kisah sejarah juga terekam di jalan yang kini menjadi daerah emas bagi ekonomi Surabaya.

Tak melulu soal ikon dan jejak sejarah, kini Jalan Tunjungan menjadi bukti bagi peradaban tinggi masyarakat Surabaya. Adalah sang Wali Kota, Tri Rismaharini yang menyulap jalan ini semakin elok dan layak untuk dikunjungi.

Tagline wisata Sparkling Surabaya yang berarti spirit kota ini seperti percikan kembang api bukanlah hanya slogan semata. Jalan Tunjungan menjadi salah satu sumber percikan tersebut yang tak hanya bersinar namun terpancar dan berkobar sebesar kobaran api semangat Arek-arek Suroboyo pada pertempuran 10 November 1945. Semangat ini tak luntur meski dalam situasi apapun termasuk ketika malam menjelang.

Di suatu penghujung pekan, saya berkesempatan mengunjungi kota ini untuk kesekian kalinya. Sedikit waktu luang setelah menghadiri expo wisata dan berburu tiket murah, saya memutuskan ingin melihat jalan ini setelah direstorasi pada malam hari. Sebelumnya, saya pernah merasakan sisa keguyuban orang Surabaya saat pagi hari di jalan ini.

Bermula dari Jalan Genteng Kali, saya disambut gemerlap lampu dari Gedung Siola. Ternyata, gedung ini masih menyimpan tanda-tanda kehidupan. Pandangan saya tertuju pada jejeran benda kono yang ditata rapi sehingga tampak apik dari luar. Saya lantas heran mengapa museum ini belum tutup. Sebelumnya, saya memang mendapat informasi bahwa Gedung Siola kini beralih fungsi sebagai museum. Namun, saya tak menyangka jika jam operasional museum ini hingga malam hari.

Bagian sisi kanan Gedung Siola

Kekagetan saya bertambah ketika masih banyak aktivitas di dalam gedung tersebut. Rupanya, selain sebagai museum, gedung ini juga difungsikan sebagai UPTSA (Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap) Kota Surabaya. Aneka kegiatan administrasi seperti perekaman data e-KTP hingga pembuatan SKCK ada di sini. Tak hanya itu, ada pula tempat semacam layanan psikologi anak terutama untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Beberapa kali saya berpapasan dengan pasangan orang tua yang membawa putra-putrinya seumuran SD untuk mendapat layanan dari pihak yang berkompeten.

Rasa takjub saya semakin besar melihat kenyataan tersebut. Saya lalu membandingkan dengan kota asal saya, Malang. Meski memiliki layanan serupa, tapi cukup sulit dijangkau oleh masyarakat. Belum lagi, seringkali orang tua yang tak sempat betatap muka ketika siang hari dengan sang psikolog. Melalui layanan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), warga Surabaya bisa berkonsultasi seputar anak dan masalah keluarga.

Beberapa sudut kantor UPTSA yang sudah sepi meski masih ada beberapa aktivitas di dalamnya
 Setelah melihat-lihat kantor pelayanan terpadu, langkah kaki saya lantas menuju ruangan koleksi benda-benda bersejarah. Sebenarnya, ruangan ini tak terlalu luas. Namun, saya puas dengan penataannya yang memilah aneka jenis benda peninggalan bersejarah berdasarkan fungsi dan kegunaannya.

Koleksi pertama yang saya lihat adalah segala hal tentang Wali Kota Surabaya dari masa Hindia Belanda, pendudukan Jepang, hingga sekarang. Nah, tentu jika membicarakan para Wali Kota Surabaya, banyak kisah unik di dalamnya.

Salah satunya adalah foto dan profil dua Wali Kota Surabaya yang berasal dari PKI, R. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman. Foto keduanya juga tampak menghiasi ruangan depan museum ini.

Bagaimana pun, mereka adalah bagian dari sejarah dari kota ini dan menjadi saksi pergulatan politik di dalamnya. Bagian dari sejarah kota ini juga termasuk dua musisi yang melegenda bagi bangsa Indonesia, yakni Gombloh dan WR Soepratman. Tentu, kisah kedua musisi ini bisa menjadi kisah sejarah manis bagi Surabaya. Piano dan biola yang mereka gunakan untuk berkarya juga tersimpan di sini.

Koleksi museum ini semakin lengkap dengan aneka koleksi lainnya seperti radio tua, aneka alat kesehatan, alat transportasi, hingga peralatan memasak yang sering digunakan oleh masyarakat Surabaya pada zaman dahulu.
Dua walikota Surabaya dari PKI. Setelah kemenangan mutlak partai ini di Kota Surabaya pada Pemilu 1955 dan Pemilu Daerah 1957, selama kurun 1958 hingga 1965, PKI menjadi penguasa di kota ini
Gombloh, musisi nasional asal Surabaya
Peralatan dapur yang sering digunakan orang Surabaya zaman dulu
Namun, koleksi yang menjadi perhatian saya adalah berbagai lukisan yang menggambarkan kehidupan warga Surabaya. Satu lukisan yang menarik pandangan saya adalah gambaran ketika terjadi penutupan bekas lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Gang Dolly.

Bagi sejarah Kota Surabaya, kisah penutupan lokalisasi maha besar ini adalah peritiwa penting meski masih ada praktik-praktik prostitusi terselubung yang mengiringinya. Lokalisasi yang bisa dikatakan sebagai aib bagi kota ini akhirnya tutup pada pertengahan 2014 lalu.

Lukisan tentang penolakan penutupan Gang Dolly
Tak hanya koleksi lukisan Gang Dolly, lukisan lain yang menggambarkan karakter orang Surabaya yang egaliter dan blak-blakan menjadi magnet tersendiri dari museum ini. Lukisan-lukisan yang biasanya tampak pada mural ini menyiratkan sebuah kebanggaan sebagai warga Surabaya meski sering banyak stigma negatif di dalamnya. Apalagi, kalau bukan cap kasar dan tidak njawani. Stigma yang hampir serupa tersemat bagi saya sebagai orang Malang yang sama-sama merupakan kawasan Arek.

Saya menemukan sebuah pesan tersirat dari kalimat "Pi'i de Poeng". Kalimat ini bisa diartikan dengan "I Don't care" dan "sebodo teuing" yang biasanya diucapkan orang-orang dari kawasan Arek ketika harus sering berhadapan dengan sesuatu yang disebut "basa-basi" dan "pencitraan".

Apapun perkataan orang, yang penting aku sudah berusaha berbuat baik dan berusaha semaksimal mungkin dengan pembawaan yang sudah ada. Pesan ini pula yang coba dihadirkan dalam lukisan lokalisasi gang Dolly yang menyiratkan sejelek apapun stigma bagi mereka dan juga Kota Surabaya yang pasti "the show must go on". Kehidupan harus berjalan terus.Sungguh, saya salut dengan pesan ini yang sayangnya tak banyak orang yang mau melirik lukisan tersebut.

Ketika ada stigma buruk tentang diri kita, segera introspeksi. Perbaiki dan berusaha untuk lebih baik lagi dan tak terus berpikir tentang omongan tersebu.
Kekaguman saya semakin paripurna ketika menuju lantai 2 setelah menaiki ekskalator. Di lantai ini, terdapat taman gantung yang menghubungkan dua sisi Jalan Tunjungan. Bukan pembangunannya yang membuat saya ternganga, namun upaya Bu Risma dan segenap warga Surabaya untuk tetap menjaga kebersihan tempat ini. Tentu, pembangunan mental jauh lebih sulit dibandingkan dengan pembangunan fisik. Selepas memberikan suntikan moral dari filosofi "Pi'i de Poeng", segenap pemerintah Kota Surabaya dan warga mulai menyalurkan semangat tersebut dalam tindakan nyata.

Bukan penjelasan kata-kata untuk membuat sebuah pencitraan hebat sehingga stigma negatif tersebut hilang namun hanya tindakan nyatalah yang bisa menjawab stigma buruk tersebut. Artinya, warga Surabaya mulai belajar ketika ada omongan negatif atau hal buruk datang kepada mereka, bukan ucapan atau klarifikasi yang harus dilakukan.

Tindakan nyata, prestasi, dan dedikasi yang sungguh-sungguh yang akan membuktikan bahwa stigma negatif itu tidaklah benar. Jalan Tunjungan, Siola dengan UPTSA-nya, dan cerita Gang Dolly adalah sebuah pencapaian dari filosofi tersebut.

Suasana Taman Gantung Jalan Tunjungan

Gedung Siola dari atas jembatan gantung

Tunjungan Plaza dengan gemerlap lampunya

Taman Gantung dilihat dari bawah Jalan Tunjungan
Memandang Tunjungan Plaza yang kini telah memiliki 6 buah bagian, saya melihat keramaian lalu lintas Kota Surabaya yang begitu hidup. Kota ini tak akan pernah mati dengan semangat menyala-nyala.

Cuaca panas yang menyerang meski malam telah semakin larut tak menyurutkan saya untuk memandang kota ini dengan segenap gemerlapnya. Namun sayang, ketika pelican crossing yang ada di depan pandangan saya mulai bernyanyi, lamunan saya pun buyar.

Pelican crossing di Jalan Tunjungan yang bisa bernyanyi
Jok dipikir angger podho gelem mlaku
Jok dipikir angger podho gak duwe sangu
Mangan tahu jok dicampur nganggo timun
Malam minggu jok podho digawe nglamun




 

Wis, ojok dipikir.
Ayo mlaku-mlaku nang Tunjungan, Rek!
Ojok nglamun ae, Mblo.


Tulisan ini pertama kali tayang di Kompasiana. Link ada di sini.

28 Comments

  1. Setuju sangat, untuk menghapus stigma negatif emnk tak perlu berkoar-koar, cukup tunjukan hal2 yg positif , #lovesurabaya

    ReplyDelete
  2. Kalau tentang kota Surabaya yang saya ingat adalah sebagai kota pahlawan, menurut sejarah tentang kegigihan para pemuda mempertahankan tanah air Indonesia

    ReplyDelete
  3. saya tertarik dng penampakan poster gombloh, sebab musisi ini terkenal sekali pada waktu saya masih duduk di bangku SD, rata2 setiap hari saya dengerin lagu gombloh yang diputer oleh OM saya.

    Saya baru tahu kalau ternyata si Gombloh ini asalnya dari Surabaya.

    ReplyDelete
  4. Nah,keren nih... bangunan bersejarah difungsikan sebagai kegiatan layanan masyarakat juga sebagai sarana wisata dikelola dengan apik seperti ini.

    Suka banget lihat tampilan gedung Siola ..., kayak bangunan kuno di Eropa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas ini jadi dapat dobel
      saya juga suka banget siola

      Delete
  5. Sungguh luar biasa ya? Tapi sayang, kota lain masih malu-malu untuk menirunya. Mungkin pemimpinya belum siap dicaci maki. Photo tokoh PKI bisa terpajang disana ya? tumben nih tidak mendapatkan perlawanan. Biasanya kalau tokoh politik langsung deh dikubur tanahkan. Tidak perlu dikenang.

    ReplyDelete
  6. Aku suka surabaya. Rapih. Lebih rapih drpd jakarta... uuughhh... pingin pindah ke situ 😑

    ReplyDelete
  7. Kapan ya bisa kesurabaya...Jauh banget dari Bekasi....

    ReplyDelete
  8. Saya sudah beberapa kali ke surabaya, baru tau ada bangunan museum berdesign modern seperti ini.

    ReplyDelete
  9. terakhir ke Surabaya jaman kuliah... Panas hahaha... Tapi pengen main ke sana lagi hehehe.. :D

    ReplyDelete
  10. Keren.. Itu pelayanan satu atapnya dalam satu gedung terdapat berbagai unit pelayanan gitu ya.. Kalo bener sekali jalan bisa dpt bbrp pelayanan.. Ditambah ada spot kece utk melepas penat

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas
      ini pelayanan beberapa macem kayak SKCK, KTp gitu

      Delete
  11. Aku suka banget sama spot dan tempat wisata yang ada disana, sayangnya sampai saat ini belum pernah coba kesana.. Pengen sii main kesana,, subhanallah lukisannya bagus-bagus yaaa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas
      ini pelayanan beberapa macem kayak SKCK, KTp gitu

      Delete
  12. Perlalatan dapur yang sering digunakan orang Surabaya dulu, saya rasa nggak cuma di Surabaya, Mas. Soalnya dirumah dulu sering lihat yang seperti itu, dan tempat masak sekarang dirumah nenek juga masih seperti itu..

    Keren nih, Mas tamannya. Saya melihat dari foto dan sekaligus nonton videonya. Jadi tahu lengkapnya. Kalau ada kesempatan ke Surabaya pengen nyantai di tamannya itu, Mas..

    Kirain sembari ngevlog, Mas..hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya banyak daeeah memang menggunakan perlatan dapur ini mas
      ini buat sampel saja untuk orang Surabaya, kan namanya museum surabaya
      aku gak bisa ngevlog mas
      kan masih pemula hehehe

      Delete
  13. Bulan ini gagal ke Surabaya aku :(
    Btw UPTSA keren bgt sih, di kotaku mana ada begitu. Buka smpe malam pula, pembuatan skck, e ktp di kotaku tutup sesuai dg jam kerja. Fufuffu
    Muralnya keren ih, dlu jaman kuliah aku sempet tertarik bgt ke dolly, ingin bertegur sapa dg "mereka", tp blm kesampaian dolly udah ditutup duluan. Hhh
    Jembatan tamannya kereeen, bu Risma emg mantap nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo ke SBy hub aku mbak
      sapa tau bisa maen, bulan depan aku agak lama stay di sby
      nanti bisa ke gang dolly sama2
      foto2 di sana, hehe

      Delete
  14. Aku belum pernah ke Surabaya. Cuma, semenjak dipegang bu Risma, banyak banget ya perubahan2 positifnya..

    ReplyDelete
Next Post Previous Post