(Malang Dalam Angka) Mergan, "The Land of Traffic Jam"



Kemaceta di wilayah Ranugrati Sawojajar. Wilayah ini juga menyumbang kemacetan parah di Kota Malang. - Surya.

Sebelum saya menganalisis lebih dalam, tulisan ini bermula dari seringnya saya terjebak macet ketika pulang ke Malang.


Terlebih, saat saya melewati Mergan Lori yang merupakan jalan utama menuju rumah saya. Jalan yang begitu sempit dan dilewati aneka macam kendaraan. Sepeda motor, mobil, truk, bus, bahkan mungkin nanti pesawat terbang, semuanya tumpek blek di sana. Semakin hari, rasanya saya semakin pusing dengan kemacetan ini.

Lalu, saya mulai iseng mencari berapa sih jumlah penduduk di tiap daerah di Kota Malang. Memang, secara kasar, saya mendapatkan angka sekitar 800.000 ribu penduduk total di kota ini dengan kepadatan penduduk sekitar 6.000 jiwa per km persegi (maaf laptop saya error mau buat angka hehe).

Namun, saya masih sangsi. Dengan kepadatan sebanyak itu, rasanya kok sudah sangat sesak sekali. Makanya, saya mencoba mencari data mengenai jumlah penduduk tiap kelurahan agar saya bisa menganilisis lebih dalam.

Data dari BPS Kota Malang tahun 2018 pun saya dapatkan. Dari data ini, akhirnya saya mendapatkan jawaban kenapa tempat tinggal saya begitu sesak. Ternyata, kelurahan yang saya tinggali merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak dan kepadatan penduduk terbesar. Artinya, feeling saya tidaklah salah.

Ada lima kecamatan dan 57 kelurahan yang ada di Kota Malang. Diantara puluhan kelurahan itu, Kelurahan Bandungrejosari merupakan kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak yakni sekitar 32.745 jiwa. Di peringkat kedua ada Kelurahan Kotalama dengan jumlah penduduk sekitar 30.782 jiwa, lalu Kelurahan Pandanwangi dengan jumlah penduduk 30.558 jiwa dan diikuti oleh Kelurahan Purwantoro dengan 27.421 jiwa. Sementara, kelurahan tempat tinggal saya, Tanjungrejo, menempati peringkat kelima dengan jumlah penduduk sekitar 26.817 jiwa.

Lima kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kota Malang. - Sumber : BPS Kota Malang 2018.
Walau Bandungrejosari merupakan kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak, namun kelurahan ini bukanlah kelurahan terpadat. Alasannya, wilayah kelurahan ini begitu luas dan terdapat tiga kluster pemukiman penduduk di sana, yakni Kemantren/Klayatan, Janti, dan Kepuh.

Kelurahan dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kotalama dengan kepadatan penduduk sebanyak 35.793 jiwa per km2. Luas wilayah kelurahan ini tak sampai 1 km persegi. Meski begitu, rumah-rumah menyesaki wilayah di bantaran sungai yang membelah kelurahan ini. Oh ya, kelurahan ini sendiri merupakan salah satu perkampungan kuno di Kota Malang yang disebut dengan Kuto Bedah.

Beberapa sumber sejarah mengatakan bahwa dulunya wilayah ini merupakan pusat dari Kerajaan Singosari sebelum dipindahkan ke Kecamatan Singosari sekarang. Jadi, padatnya penduduk di sini bisa jadi disebabkan lantaran telah dihuni sejak dahulu kala. Selain itu, dekatnya keluarahan ini dengan pusat ekonomi, membuat banyak penduduk yang tinggal di sana. Bersama Mergosono yang merupakan kelurahan dengan kepadatan penduduk nomor dua di Kota Malang, Kotalama adalah kelurahan dengan penduduk beretnis Madura dengan jumlah yang signifikan. Kedua kelurahan ini berada di Kecamatan Kedungkandang.

Lima kelurahan terpadat di Kota Malang (angka dalam jiwa per kilometer persegi). - BPS Kota Malang 2018
Sementara, tempat tinggal saya, Kelurahan Tanjungrejo berada di peringkat ketiga sebagai kelurahan terpadat di Kota Malang dengan kepadatan 28.835 jiwa per km persegi. Ada empat kluster permukiman di kelurahan ini, yakni Tanjung, Cangkringan, Mergan, dan Gempol. Dengan kepadatan penduduk sebanyak ini, Tanjungrejo dengan Mergan di dalamnya bahkan lebih padat dari Kota Administasi Jakarta Pusat!

Meskipun tidak apple to apple, Tanjungerjo ternyata lebih padat dibandingkan Jakarta Pusat. Sumber : BPS 2017
Beberapa faktor bisa jadi menjadi pemicu mengapa kelurahan tempat tinggal saya begitu sesak. Pertama, wilayah ini dulunya sebagai jalur kereta api lori yang mengubungkan PG Kebon Agung dengan wilayah utara di Kota Malang. Jalur ini sudah tiada namun kini berubah menjadi Jalan Mergan Lori yang begitu macet. Meksi begitu, rel lori ini masih terlihat jelas lho di beberapa sudut terutama di sekitar perempatan Mergan Lori. Jadi, sejak lama daerah ini sudah menjadi daerah penting penghubung Malang utara dan Malang selatan. Hingga kini, Jalan Mergan Lori masih menjadi favorit pengendara motor jika tidak ingin melawati jalan protokol. Akibatnya ya, macet.

Yang membuat saya males sudah macet eh ditutup untuk nikahan.
Selain itu, wilayah ini juga menjadi pusat keramaian terakhir di Kota Malang sebelum beralih menjadi wilayah pedesaan. Maksudnya, Tanjungrejo adalah pusat ekonomi terdekat bagi wilayah suburban Kota Malang. Meski ada Kelurahan Bandulan dan Mulyorejo di sisi barat kelurahan ini, namun kedunya dipisahkan oleh sebuah sungai besar yang cukup mengerikan jika hujan datang. Apalagi kalau bukan Kali Metro. Jadi, wilayah Tanjungrejo adalah wilayah datar terakhir yang nyaman untuk ditinggali sebelum berganti dengan wilayah tak rata yang berada di kaki Gunung Kawi-Butak.

Pasar Mergan yang berada di wilayah ini juga menjadi pusat ekonomi warga di suburban tersebut. Sebut saja Kucur, Kemulan, dan beberapa desa lain di Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Kadang, saya sampai kaget ketika melihat rekan atau saudara yang tinggal di wilayah tersebut berbelanja dengan jumlah banyak di Pasar Mergan. Menurut mereka, tidak ada pasar atau pusat ekonomi yang lengkap dan dekat selain Pasar Mergan. Jadi, kalau mereka ingin mencari kebutuhan sehari-hari, ya mereka pasti datang ke pasar ini meskipun menurut saya tidak terlalu besar.

Nah, sayangnya, saya tidak mendapatkan solusi nyata dari pemerintah kota atas kemacetan di Mergan ini. Meski, adanya lampu lalu lintas yang dipasang sedikit membantu dibandingkan polisi cepek, tapi tetap saja tiap hari kemacetan tak bisa terelakkan. Mikrolet GML, yang dulu melewati tempat ini kini sangat jarang terlihat. Hampir semua penduduk di Mergan sudah beralih ke kendaraan pribadi. Saya sampai bermimpi andaikan ada jalur LRT yang melewati Mergan ini menuju tempat lainnya di Kota Malang, sungguh saya akan rela menjadi pelopor penggunaannya.

Seorang turis berjalan dari arah Jalan Ijen yang tembus ke Pasar Mergan. Entah dari mana ia bisa sampai di Mergan. Yang jelas, meski macet, Mergan masih layak dikunjungi sebagai destinasi wisata, the land of traffic jam.
Berpindah dari Mergan, satu hal yang menjadi catatan saya adalah wilayah yang ditempati kampus ternama ternyata tidak memiliki jumlah penduduk yang besar. Sumbersari dan Ketawanggede, adalah dua kelurahan itu. Dua kelurahan ini “hanya” memiliki kepadatan penduduk sekitar 13 ribu jiwa per km persegi. Atau hampir separuh dari kepadatan penduduk di Tanjungrejo. Padahal, wilayah ini sungguh macet. Pastinya, kaum mahasiswa yang menghuni kedua wilayah ini menjadi penyumbang kemacetan terbesar lantaran hampir sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi. Alhasil, jika lebaran tiba atau saat mahasiswa sedang libur panjang, dua wilayah ini bagaikan kota hantu.

Persebaran penduduk di Kota Malang tidaklah merata. Ada kelurahan yang memiliki kepadatan penduduk di bawah 5.000 jiwa per km persegi. Semuanya berada di pinggiran Kota Malang dan pernah menjadi bagian dari Kabupaten Malang sebelum wilayah kota ini dimekarkan. Kebanyakan pula berada di Kecamatan Kedungkandang dan berada di perbukitan Buring. Sebut saja Kelurahan Buring, Kedungkandang, Tlogowaru, dan Wonokoyo.

Lima Kelurahan dengan Kepadatan Penduduk Terendah di Kota Malang
Jika mengunjungi wilayah itu, Anda seakan berada di desa karena penduduknya yang begitu jarang. Makanya, kini banyak pengembang perumahan yang menjajakan kavling atau rumah hunian di wilayah tersebut. Dengan embel-embel masih wilayah kota, hunian berbagai kelas pun ditawarkan. Kalau saya ada uang lebih, saya ingin sekali membeli hunian di sana. Saya sudah capek dengan kemacetan di Mergan dan ingin hidup sedikit lebih waras serta bisa menikmati alam. Mengenai fasilitas, di sana sudah terbangun sekolah dan berbagai fasilitas penting lain. Bahkan ada sebuah SD Negeri bertaraf internasional lho di sana.

Itulah sekilas jawaban mengapa wilayah tempat tinggal saya begitu macet. Tidak salah saya jika menjuluki Mergan sebagai The Land of Traffic Jam alias tanah asal muasal macet. Meski begitu, saya masih bersyukur lahir dan besar di sini. Tapi kalau untuk hidup berkelanjutan menata masa depan dan rumah tangga, saya kok pikir-pikir ya.

2 Comments

  1. Itu mah belum seberapa jika dibandingkan dengan kota jakarta, wah bisa stres bertumpuk-tumpuk pula pastinya.

    ReplyDelete
  2. Saya gak bisa bayangin, udah macet tapi malah ada yang ditutup untuk nikahan. 😥

    ReplyDelete
Next Post Previous Post