Mengapa Film Dokumenter Lebih Menarik?



Kredit gambar : https://www.premiumbeat.com


Sebenarnya, saya termasuk orang yang jarang menonton film, baik di bioskop, televisi, ataupun laptop. 


Jikalau menonton, saya hanya melihat sekilas-sekilas dan membaca sinopsisnya saja. Keengganan ini bermula saat saya mulai bekerja penuh dan sangat sedikit memiliki waktu untuk melihat film.

Dulu, saat kuliah, saya memang penggemar utama drama korea. Bahkan, saya rela menghapus sebuah mata kuliah demi menonton drama korea. Demi apa coba? Lalu, ketika SD-SMP, saya juga penggemar telenovela dan film kolosal.

Tidak lagi menonton telenovela dan film kolosal


Salah satu telenovela kesayangan saya, ya pastinya Betty La Fea. Saya malah tertarik dengan tokoh Patricia Fernández, dengan tagline “Pernah kuliah 6 semester di Universitas San Fransisco” dan kibas poninya. Pun demikian dengan Amigos X Siempre, Vivan los Ninos, dan tentunya Esmeralda. Telenovela tersebut masih membekas di hati saya. Dengan tidak adanya telenovela yang menarik lagi di televisi, praktis tayangan inipun tidak pernah lagi saya tonton.


Hal yang sama juga terjadi pada film kolosal lokal. Film yang menghadirkan banyak tokoh ini sebenarnya menarik untuk ditonton. Angling Dharma, Tutur Tinular, dan pastinya Mak Lampir, Misteri Gunung Merapi tidak akan pernah lepas dari ingatan. Untuk film bioskop, saya masih terngiang dengan Gending Sriwijaya yang dimainkan mendiang Julia Perez.

Sayangnya, entah terkena penyakit apa, film kolosal yang tayang di televisi nasional mulai aneh dan tidak masuk akal. Mungkin, Anda masih ingat bagaimana absurdnya kala Nyi Roro Kidul bertemu Joker dan Batman di sebuah serial kolosal yang tayang di televisi kita. Sungguh, itu adalah kebodohan paling mengerikan yang pernah dilakukan oknum sineas Indonesia. Yang membuat pemirsa setia serial semacam ini menjadi antipati terutama setelah melihat rumah produksi bersangkutan menayangkan serial kolosal dalam bentuk yang katanya lebih “kekinian”.

Sebenarnya, saya lebih tertarik dengan film kolosal buatan Filipina. Sama halnya dengan film kolosal Indonesia, rata-rata cerita fantasi yang muncul dari suatu tokoh menjadi titik tumpu. Encantandia, Enteng Kabisote, dan Mulawin vs Ravena adalah beberapa diantaranya yang saya ikuti.

Walau belum sebaik film atau serial dari Hollywood, nyatanya bagi saya ceritanya masih asyik diikuti dan masuk akal. FYI, serial kolosal yang tayang di negeri tersebut malah menjadi ajang adu kuat dua stasiun televisi terbesar, ABS-CBN dan GMA Network. Untuk film Hollywood, tentu Immortal menjadi favorit saya. Peran Henry Cavill dalam film ini begitu apik dalam cerita yang berkisah mengenai perang dalam mitologi Yunani tersebut.


Poster Mulawin vs Ravena
Poster Mulawin vs Ravena. (GMA Network)

Film klasik sulit dicari


Sulitnya mencari film klasik yang masih bisa ditonton membuat film jenis ini juga jarang sekali saya tonton. Kalaupun pernah, paling hanya Psycho yang saya gemari karena ingin mendalami pribadi psikopat dan tentunya serial lima sekawan, yang tayang di televisi Inggris sekitar tahun 1978. Kisah mereka yang pernah saya baca membuat saya tertarik melihat versi televisinya.


Film dokumenter jadi pilihan


Nah, diantara semua jenis film, tentu yang paling menarik perhatian saya adalah film dokumenter. Alasannya, tak lain film ini seperti tulisan feature yang memaparkan sisi lain dari kehidupan manusia. Sisi lain yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang. Terlebih, kebanyakan film dokumenter diambil dari kisah nyata mengenai sebuah peristiwa penting.

Dua film dokumenter yang kisahnya diambil dari tragedi pembunuhan massal pasca peristiwa G30S/PKI, Senyap dan Jagal adalah dua film dokumenter favorit saya. Dengan berbagai kontroversi yang mengiringinya, saya masih memberi apresiasi tinggi kepada dua film tersebut. Paling tidak, ada sisi lain yang coba diangkat oleh sang sutradara yang memberi sebuah pelajaran penting mengenai tragedi berdarah di negeri ini.

Channel Nat Geo dan DW adalah dua jaringan yang menayangkan film dokumenter apik. Second from Disaster dan Air Crash Investigation merupakan dua tayangan dokumenter yang paling saya suka. Keduanya membahas mengenai detik demi detik terjadinya sebuah kecelakaan atau petaka. Jika Second from Disaster membahas bencana secara umum, baik oleh alam maupun manusia, maka Air Crash Investigation lebih mengkhususkan pada kecelakaan pesawat terbang.


runtuhnya sampoong mall
Petikan gambar dari tayangan Second from Disaster mengenai runtuhnya Sampoong Mall Korea pada 1995. Dari tayangan dokumenter ini, dapat diambil pelajaran bahwa kasus korupsi, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur, sangat berakibat fatal. (Nat Geo TV)

Kegemaran saya melihat film dokumenter saat detik-detik petaka tersebut hanya bertujuan agar saya lebih awas ketika berada di manapun, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Tak hanya itu, dengan melihat film-film tersebut, saya semakin percaya akan kuasa Tuhan sebagai penentu hidup manusia. Inilah alasan utama mengapa saya begitu senang melihat film dokumenter. Ada hikmah sederhana namun penting untuk saya ambil pelajarannya.

Nah, selain jenis film-film tersebut, saya juga kerap melihat film pendek, baik yang ditayangkan oleh TVRI maupun yang diunggah oleh channel YouTube tertentu. Melihat film pendek bagi saya lebih praktis. Saya bisa menggunakannya sebagai teman perjalanan ataupun kala menunggu seseorang.

Durasi film yang pendek juga membuat saya seringkali terkejut dengan ide cerita yang mendadak berubah dan cukup membuat saya geleng-geleng kepala. Semisal, saat bagaimana seorang siswa SD bertanggung jawab karena telah menghamili temannya. Adegan yang tak terduga semacam inilah yang membuat saya ketagihan mencari film pendek di berbagai akun YouTube.


film joshua menghamili temannya viddsee
Siswa SD yang "menghamili temannya" dalam sebuah film pendek. (Viddsee.com)

Sejatinya, apapun jenis film yang kita tonton, yang paling penting adalah ada makna yang bisa kita petik di dalamnya. Tak hanya sekadar hiburan semata, selepas melihat film, ada kebaikan yang bisa kita lakukan dan ada keinginan untuk mengubah hidup kita lebih baik lagi. Dan yang pasti, bukan jenis film XXX yang kita tonton. Betul?

7 Comments

  1. Yang gw suka dari film dokumenter itu filmnya terasa nyata, kayak bukan dibuat-buat pake narasi macem sinetron.

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener sih jadi nyata gak kakean drama heuheu

      Delete
  2. Maybe sinetron kolosal di Indonesia sudah mulai kehabisan ide cerita dan nama tokoh

    Plus kalau bersambung-sambung, kadang orang nggak punya kesempatan nonton kan, ditambah lagi channel hannel di Indonesia juga belum maksimal memanfaatkan youtube dan media streaming online untuk penayangan sinetronnya, sehingga kalau bersambung-bersambung pasti orang males nonton wwkkw

    itu diluar graphic 3D recehnya dan munculnya tokoh-tokoh yang nggak masuk akal nya kwkwkwkw

    Semoga deh suatu hari sinetron kolosal di Indonesia bisa berkembang lagi, kayak drama korea

    Kok bisa ya mereka drama sejarahnya keren keren padahal nggak pake animasi grafik 3D segala wkkww

    ReplyDelete
    Replies
    1. graphic recehan itu malah buat ilfel ya wakaka
      jadi gimana gitu
      terus malah ceritanya di luar nalar dan liar akakak

      Delete
  3. film dokumenter tuh kadang bikin kita menyadari kalo kenyataan itu tak seindah fiksi ya, hehehe

    ReplyDelete
  4. But he sites John Bell - who created the renowned Bell Shakespeare Company - as making a particularly large impression on him. Paul recalls: "Watching their productions every year in Canberra, and meeting him and some of the other actors as a teenager was really inspiring for me. I was a drama nerd in its purest form - I used to get their autographs. It was a dream of mine to work for them. دانلود

    ReplyDelete
Next Post Previous Post