Hadirnya Gawai, Tantangan Terbesar dalam Mendidik Anak



ilustrasi anak main gawai
Ilustrasi anak main gawai. - kemendikbud


Sudah bukan rahasia umum lagi, saat ini penggunaan gawai sangat marak terjadi.

Anak berusia di bawah 3 tahun pun sudah akrab dengan gawai ini. Mereka benar-benar ahli dalam mengoperasikan gawai sampai tak ada barang lain yang bisa mengalihkan perhatian mereka terhadap barang mungil ini. Tak ada gawai tak ada masa tenang anak. Persepsi ini seakan menjadi hal lumrah pada kehidupan masa kini.


Nyatanya, seiring meningkatnya penggunaan gawai pada anak-anak, maka akan timbul banyak dampak negatif bagi mereka. Di sini, saya akan mencoba mengulas beberapa dampak gawai terhadap peserta didik bimbel saya, baik tingkat SD maupun SMP. Pengaruh gawai tidak terlalu signifikan saya temukan pada peserta didik SMA/SMK lantaran mereka telah mengerti tanggung jawab dengan lebih baik walau pengaruh ini sebenarnya juga cukup besar bagi mereka.

Gawai membuat konsentrasi belajar anak menjadi menurun.


Ini sangat saya rasakan ketika mengajar bimbel beberapa waktu terakhir. Dulu, sekutar tahun 2012an, kala gawai belum marak, saya bisa menuntaskan materi pembelajaran – terutama matematika – dengan cukup cepat.

Kini, dalam satu materi pembelajaran, saya harus mengulang hingga lebih dari 3 kali agar sang anak paham meski ia belajar sendiri. Beberapa penelitian mengungkapkan jika sekarang daya konsentrasi anak belajar di kelas menurun dari 30 menit menjadi 10 menit. Artinya, setiap 10 menit sekali, mereka seringkali blank. Bisa jadi, ini akibat dari insecure terhadap gawai yang harus dicek secara berkala. Meski saat bimbel berlangsung penggunaan ponsel dilarang, kecuali bagi siswa kelas 6 dan 9, nyatanya tiap beberapa menit sekali, konsentrasi mereka buyar.

Saya bahkan harus mengelus dada ketika ada siswa kelas 5 yang sangat kesulitan untuk mengingat cara perkalian bersusun. Padahal, jika siswa belajar dengan normal, pada kelas ini ia sudah bisa melakukannya dengan baik. Usut punya usut, ia sudah terpapar gawai lebih dari 3 jam per hari. Sang orang tua pun juga sudah kewalahan untuk mengatasi hal ini.

Tak hanya itu, gawai juga membuat anak lebih berani membantah terhadap orang tua.


Mereka juga bisa beradu argumen dengan orang yang lebih tua lantaran memiliki pemikiran yang dianggap lebih maju atau lebih tahu. Dari mana mereka mengerti itu semua?

Ya dari penggunaan gawai dengan internet di dalamnya. Dulu, sebelum ada gawai, televisi memainkan peran sentral dalam membentuk perilaku anak. Bahkan, ada adagium bahwa anak bisa membantah orang tua ya dari acara sinetron di televisi. Kini, dengan maraknya YouTube yang jauh lebih mengerikan daripada televisi, banyak anak yang sudah bisa beradu argumen dengan orang yang lebiuh tua.

Anak remaja tanggung, sekitar kelas 5-6 SD dan 7-9 SMP adalah tingkatan yang paling membuat saya harus mengelus dada. Dibandingkan siswa tingkat lain, terutama laki-laki, siswa tingkatan ini harus mendapat pengawasan ekstra. Tak lain, pengaruh gawai yang begitu kuat di segala lini kehidupan.

Pengaruh gawai yang begitu kuat itu menyebabkan mereka malas beraktivitas.


Baik belajar, mengaji, bahkan ekstrakurikuler. Saya sampai heran lho dengan anak-anak sekarang yang tidak terlalu bersemangat mengikuti ekskul. Padahal, saat saya sekolah dulu, mengikuti eskul yang diminati. Basket, bulu tangkis, silat, jurnalistik, dan lain sebagainya. Bisa jadi, kegiatan yang masih diminati adalah sepak bola. Itu pun sering terganjal kurangnya lahan dan akhirnya para remaja tanggung ini lebih memilih untuk bergerumbul memainkan gawainya masing-masing.

Malasnya beraktivitas, membuat mereka juga malas untuk berinteraksi. Dulu, saya dan rekan sebaya begitu akrab bercakap-cakap mengenai hal-hal yang menyenangkan. Berbagai permainan dan obrolan ringan menemani kami kala berkumpul. Kini, meski mereka masih bergerumbul dalam satu grup atau satu lingkar pertemanan, yang mereka lakukan adalah menatap gawai masing-masing. Tak ada interaksi yang begitu akrab selain memperbincangkan gim daring yang mereka mainkan.

Indikasi ini terlihat ketika ada tugas membuat surat dari guru mereka. Saya bisa katakan hampir sebagian besar siswa yang saya ampu kesulitan untuk membuka topik perbincangan yang akan mereka tulis. Ini juga termasuk membuat pidato atau pun drama singkat yang bisa mereka dapatkan dengan mudah.


Implikasinya, kreativitas anak pun mulai menurun.


Diikuti dengan inovasi yang bisa mereka lakukan dan tentunya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Gawai memang membuat hal-hal semacam ini terkikis. Beberapa tahun lalu, saya masih mendapati siswa bimbel saya yang izin untuk mengikuti festival band, tari, atau lomba majalah dinding. Entah kebetulan atau tidak. Beberapa tahun terakhir, saya malah tidak menemukan hal-hal semacam ini.

Anak belum bisa mengelola konflik yang mereka hadapi dengan teman sebaya atau lingkungan sekitar.


Adanya status WA yang bisa mereka gunakan kapan saja bisa menjadi salah satu penyebab konflik itu. Malangnya, dengan membaca status WA teman yang sedang berkonflik, bisa saja muncul mispersepsi antar teman.

Kesalahpahaman ini akan berlanjut di dunia nyata dengan tidak saling sapa atau tegur. Biasanya ini terjadi pada anak perempuan. Saat menjadi guru kelas dulu, berkali-kali saya harus mendamaiakan siswa yang berkonflik lantaran status WA. Benang merah pun saya urai dan awal mula konflik ya dari kesalahpahaman tadi yang berlanjut pada enggannya mereka menurunkan ego untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Padahal, dalam pendidikan, pengelolaan konflik sangat penting karena mereka juga akan menghadapi ini di dunia sehari-hari. Rata-rata, saat ini jika mereka tidak mengindari konflik, mereka malah terus membuat konflik semakin membara dari penggunaan media sosial yang mereka gunakan.

Sebenarnya, masih banyak hal-hal yang menjadi tantangan dalam mendidik anak zaman sekarang di tengah penggunaan gawai yang semakin berkembang. Kalau boleh saran, meski ini sangat sulit sekali, sejak kecil – mulai balita – penggunaan gawai pada anak hendaknya dilakukan secara terbatas. Usia SMA/SMK bagi saya adalah usia yang sudah pantas memegang alat ini. Saya dulu juga baru kelas XI SMA baru memiliki ponsel.

Dibilang ketinggalan zaman memang menjadi hal yang terelakkan. Namun, melihat dampak yang terjadi akibat penggunaan gawai berlebihan pada anak, sudah saatnya hal ini direnungkan dengan bijak.

3 Comments

  1. Duh Mas, semua yang mas sebutkan semua benar. Jangan kata anak2 yang udah tua pun kalau udah mainan ho jadi malas, jadi ga produktif.

    Padahal gadget ini bisa memberikan dampak.positive kalau kita bs memanfaatkannya dengan baik. Sayang, kan?

    Kalau saya mending buat cari duit, hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkkwkw iya mbak saya juga sih eman waktu kalau ngususi gadget huhu

      Delete
  2. keponakan saya gitu tuh bang sama gadget, kata ada lem nya susah banget pisah. Tapi beberapa langkah sudah dipraktekan ke keponakan saya bang biar nggak terlalu bergantung sama gadget.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post