Dapat Medali Perak Olimpiade Kimia Tingkat Nasional Itu Rasanya……….


Saya sih yakin bahwa kadang ada satu hal di luar nalar kita yang datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Rezeki, jodoh, maut, dan apapun itu kadang sebagai manusia kita tak akan mampu menjangkaunya. Termasuk, ketika mendapatkan sebuah anugerah tak ternilai.

Dimulai pada musim penghujan pada akhir 2011 kala saya duduk di bangku semester 5 kuliah. Saya yang sudah berada di tempat fotokopi mendadak ditelepon oleh rekan kuliah. Ia meminta saya ke kantor sekretaris jurusan (sekjur) dengan segera. Bu Hayuni – sekjur Kimia Universitas Negeri Malang (UM) kala itu meminta saya untuk datang ke tempatnya. Penting dan tidak bisa ditunda lagi.

Deg. Hati saya kaget. Ada apa ini? Apa gara-gara saya menghapus mata kuliah pilihan sehingga saya dipanggil dan mendapatkan masalah? Saya mulai tak tenang dan memutuskan untuk segera ke kantor Sekjur sambil meninggalkan fotokopian yang akan saya ambil jika urusan selesai.

Saya lantas masuk ke ruang sekjur dan Ibu Sekjur memastikan nama saya benar. Saya pun menjawab dan tanpa basa-basi, sebuah surat tugas untuk berangkat ke Kota Yogyakarta selama 6 hari demi mengikuti Olimpiade Sains Tingkat Nasional pun saya dapat.

Saya masih belum percaya. Kenapa harus saya? Toh nilai saya selama kuliah biasa-biasa saja. Kebetulan, saya dipasangkan dengan seorang rekan yang hampir selalu nilainya A. Saya awalnya akan menolak tapi ya bagaimana lagi, akhirnya saya pun menyanggupi.

Beberapa hari sebelum berangkat, saya tidak bisa tidur. Terlebih, saat itu ponsel saya juga bermasalah yang membuat saya harus mengisi baterainya menggunakan charger kodok. Saya bahkan meminjam dua celana hitam ke sepupu saya karena saya tidak punya yang bagus. Mau beli masih belum punya uang. Akhirnya hari-H pun tiba.

Kami berangkat bersama rekan dari jurusan lain yang masih satu fakultas. Ada fisika, matematika, dan biologi. Rata-rata, mereka yang mewakili jurusan masing-masing sudah tak asing lagi. Wajahnya sering menghiasi majalah dinding fakultas karena prestasi yang mereka torehkan. Entah dalam PKM atau pun berbagai prestasi lain. Mereka juga aktif dalam organisasi kampus. Sementara saya, lebih banyak menorehkan prestasi dalam mendapatkan free pass dari tempat karaoke.

Namun, saya selalu mengingat pesan ibu saya yang saya hubungi 1 jam tanpa putus sebelum berangkat. Beliau masih bekerja di luar kota.
"Ya wis le. Dilakoni wae, jenenge rejeki sopo ngerti. Iku ngunu kampusmu wis njago awakmu. Dadi awakmu kudu semangat”.
(Ya sudah, Nak. Dijalani saja. Namanya rezeki siapa yang tahu. Ini kampusmu sudah berharap padamu. Jadi kamu harus semangat”)

Ya sudah, saya pun bersemangat. Yang penting saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Saya tidak bertujuan menang paling tidak nama saya tidak masuk peringkat akhir dari sekian ratus para peserta. Itu saja.

Kami pun sampai di sebuah hotel di bilangan Suryodiningratan Kota Jogja. Saya menenteng tas bersama rekan satu kampus dan bertemu peserta dari kampus lain. Ini kali pertama saya mengikuti lomba dalam skala besar. Nasional pula.

Semangat yang sempat bergelora akhirnya kembali pupus kala saya melihat para peserta tersebut yang kebanyakan dari kampus top seperti UGM selaku tuan rumah dan ITB. Jangan lupakan juga peserta dari UI, ITS Surabaya, Unair Surabaya, Unhas Makassaar, Universitas Udayana Bali, IPB Bogor, Unsri Palembang, dan beberapa kampus top lain. Mereka tampak serius dengan official tiap jurusan yang begitu siap dengan segala tetek bengeknya. Sementara, kampus saya hanya didampingi Pak Hendro, karyawan Fakultas yang sebentar lagi purna. Menurut kakak tingkat yang dulu ikut ajang ini, memang kampus saya sering menjadi penggembira. Oh baiklah.

Kontingen dari UM Malang.
Singkat cerita, kami dikarantina dulu selama tiga hari. Pada masa karantina, kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar hotel untuk belajar dan belajar. Belajar lagi dan belajar lagi sampai bosan. Kami tidak tahu bagaimana mekanisme lomba nanti apakah ada semacam cerdas cermat atau bagaimana yang jelas kami harus belajar. Titik.

Hari pertama saya langsung down. Bagaimana tidak, soal tahun lalu yang saya pelajari sulitnya minta ampun. Rata-rata soal model stoikiometri (perhitungan reaksi kimia) dengan macam reaksi rantai yang amat banyak. Perut saya langsung mual saking enegnya. Akhirnya saya bilang ke rekan saya yang diunggulkan bahwa saya lebih baik belajar yang bisa masuk ke otak saya saja. Semacam konsep sederhana tetapi lebih mendalam.

Tak terasa hari-H mengerjakan soal pun tiba. Entah ini karena doa ibu atau apa ya, materi yang saya pelajari keluar semua. Ya memang dimodifikasi secara lebih rumit lantaran ini kan babak olimpiade. Ternyata tak ada babak cerdas cermat. Peserta yang mendapat nilai tertinggi akan menjadi pemenang 1 sampai 3. Maka, saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Saya masih ingat beberapa soal yang keluar mengenai tipe-tipe ikatan kimia, beberapa contoh polimer bahan alam, radiokimia yang membahas peluruhan unsur transisi luar, dan tentunya biokimia mengenai virus, bakteri, dan metabolisme. Ini di luar ekspektasi. Materi yang saya pelajari, baik saat masa karantina maupun saat kuliah semester 3 hingga 5 keluar semua.

Di pikiran saya sih jalan-jalan terus hehe
Materi ikatan kimia, yang diajarkan oleh Prof. Effendy, guru besar Kimia Anorganik UM adalah materi yang sering muncul dan nilainya paling tinggi. FYI, ketika kita belajar kimia, maka materi ikatan kimia adalah dasar dari segala materi lainnya. Maka, ketika saya mengikuti mata kuliah ini, saya pun dengan serius menjalankannya.

Waktu mengerjakan soal pun usai. Rekan saya yang tadi panik lantaran ada beberapa konsep dasar yang ia lupa karena terpacu soal yang HOTS. Demikian pula beberapa peserta lain yang ternyata lupa mendalami lagi materi dasar yang dimodifikasi dalam soal tersebut. Walau saya tidak terlalu yakin benar semua, tetapi saya puas. Paling tidak, kalau nanti ada pemeringkatan peserta, saya tidak yang paling bawah. Itu saja menurut saya sudah cukup. Kalau kata peserta Miss Universe, paling tidak saya tidak unplaced lah.

Selepas mengerjakan soal pada pagi dan siangnya, pada sore harinya kami langsung tancap gas menuju Pantai Parangtritis. Gila tancap gas kali ajang ini. Kami juga sempat mampir ke toko oleh-oleh dagadu. Ya standar lah seperti berwisata ke Jogja pada umumnya.

Namun, apa yang membuat pengalaman ini tak terlupakan? Tak lain, para peserta yang ikut masih saja mempeributkan soal yang sudah mereka kerjakan di dalam bus. Ya Tuhan, please, ini waktunya bersenang-senang. Ayolah, hentikan. Dalam hati saya berkata demikian. Saya paling ingat ada peserta dari ITB dan UI yang saling beradu argumen mengenai seberapa efektif pH suatu larutan yang bisa membunuh bakteri dalam kondisi tertentu. Saya jadi ingat virus covid-19 yang sedang mewabah saat ini.

Dan, saat pengumuman pun tiba. Saya sudah tak bersemangat karena tak berekspektasi lebih dan ingin segera pulang. Masing-masing pemenang pun dimumumkan. Kebetulan, bidang kimia yang saya ikuti mendapat kesempatan paling akhir. Kampus saya tak mendapatkan satu pun medali pada bidang fisika, biologi, dan matematika. Dua medali emas diraih UGM pada bidang matematika dan biogi dan satu medali emas pada bidang fisika diraih ITB. Ya sudah lah, realistis saja.

Giliran bidang kimia pun tiba. Pemenang ketiga dimumkan yang diraih oleh Unair Surabaya. Lalu, pemenang kedua diumumkan dan sang pembawa acara mengulur waktu karena nama kampus pemenangnya adalah Universitas Negeri.

Banyak peserta pun berteriak. Ada yang berteriak Surabaya, Semarang, Sebelas Maret Solo, dan Jakarta. Saya tak ikut berteriak karena hampir semua tim kami sudah pasrah. Namun, saat nama Malang disebutkan, jantung saya berhenti seketika.

Saya langsung melihat rekan saya. Pasti dia pemenangnya. Saya sudah bertepuk tangan untuknya. Dan jantung saya pun kembali serasa mau jatuh saat nama saya malah disebut!

Sontak, teman satu kontingan kampus saya berteriak. Saya mati rasa. Serius, saya mati rasa. Saya mengetik cerita bagian ini masih mati rasa. Saya? Menang olimpiade?

Saya belum yakin lo sampai sekarang kalau pernah menang olimpiade.
Saya pun maju dan berjajar dengan pemenang lain. Dan pemenang pertama kembali diraih oleh UGM yang menjadi juara umum waktu itu. Saya melihat rekan kampus saya masih heboh. Nama UM terus diteriakkan meski mendapat peringkat kedua. Sebuah prestasi tak disangka didapat oleh kampus yang sering dianggap orang berstatus “kelas dua”.

Saya mengerti akhirnya mengapa peraih medali emas atau lainnya dalam kejuaraan sering berkaca-kaca. Saya menahan air mata yang mau jatuh dengan tetap tersenyum seperti Miss Universe. Ah, ini benar-benar di luar eksepektasi. Saya mendapatkan piala, medali, piagam, dan uang kalau tidak salah 3.000.000 rupiah dipotong pajak. Tangan saya masih gemetaran saat seorang petinggi Pemprov DIY menyerahkan medali dan piala. Sayang sekali, momen ini tak terabadikan lantaran filenya hilang bersamaan dengan laptop saya.

Hingga saya pulang, saya masih tak menyangka. Pak Hendro terus menepuk pundak saya karena menurutnya, ini pertama kali dalam 7 tahun terakhir kampus kami berhasil menang olimpiade MIPA. Serius, saya masih belum bisa berkata apa-apa. Bahkan saat di kampus pun, saat saya datang dan disambut heboh oleh pihak jurusan dan fakultas, saya masih belum percaya.

Senang aja ikut olimpiade begini bertemu banyak teman baru.
Inilah pengalaman yang paling berkesan di luar ekspektasi saya. Memberi pelajaran bahwa berstatus tak diunggulkan bukan berarti kita harus patah semangat. Tetap rendah hati, tetap percaya diri, berusaha sebaik-baiknya, dan tak lupa berdoa pada Yang Maha Kuasa adalah resepnya. Juga, restu dari orang tua adalah hal utama.

Saat rekan kontingen lain berbelanja di Malioboro sebelum kami pulang ke Malang, sejenak saya mengabarkan kemenangan tersebut kepada ibu saya.

Dan di situlah air mata saya tumpah.


PS : Saya dulu kurus banget. Serius.

4 Comments

  1. Wahh ini beneren ya di luar ekpektasi..kdg kitapun gak mampu ya mengukur diri hehe

    ReplyDelete
  2. sumpah pas di pengumuman aku merasakan aura kekalahanku saat lomba PKM tapi berujung kemenangan, kalau gak salah juara 2 juga. di semester 4 ke atas mewakili universitas dan bisa jalan-jalan mewakili universitas adalah sebuah kebanggaan tersendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah sru banget mas coba ditulis deh biar enggak lupa keren lo itu

      Delete
Next Post Previous Post